Masjid dengan Kategori Masjid Kampus/Sekolah

Masjid dengan Kategori Masjid Kampus/Sekolah di KAB. PURWOREJO

Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian

Tentang KAB. PURWOREJO

Kabupaten Purworejo (bahasa Jawa: Hanacaraka: ꦥꦸꦂꦮꦉꦗ, Pegon: ڤوروارجا, translit. Purwårějå) adalah sebuah wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Ibu kotanya adalah Kecamatan Purworejo Kota. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Magelang di utara, Kabupaten Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta di timur), Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Kebumen di barat.

Kabupaten Purworejo mencakup luas wilayah sekitar 1.081,45 km² dengan posisi astronomis di antara 109°47’28”–110°08’20” BT dan 7°32’–7°54’ LS. Batas administratif wilayah ini meliputi Kabupaten Kebumen di barat, Kabupaten Magelang dan Wonosobo di utara, Kabupaten Kulon Progo (DIY) di timur, dan Samudra Hindia di selatan sepanjang ±22 km. Topografi Purworejo sangat bervariasi, mencakup dataran rendah di selatan (terutama pesisir pantai), dataran aluvium di bagian tengah, hingga wilayah perbukitan dan pegunungan di utara dan timur. Beberapa gunung yang terdapat di wilayah ini antara lain Gunung Mentosari (1.059 m), Ayamayam (1.022 m), dan Gepak (859 m), yang semuanya menjadi bagian dari Pegunungan Menoreh dan Serayu Selatan. Elevasi wilayah di tingkat kecamatan pun sangat beragam, misalnya Kecamatan Kaligesing memiliki ketinggian 140 mdpl dan Bruno 205 mdpl, sedangkan kecamatan di wilayah selatan seperti Grabag dan Butuh hanya berada pada ketinggian 16–20 mdpl.

Kabupaten Purworejo tergolong wilayah beriklim tropis basah dengan karakter suhu tahunan yang stabil, berkisar antara 19 °C hingga 28 °C, serta kelembaban relatif antara 70%–90%. Berdasarkan data observasi iklim Stasiun Purworejo tahun 2024, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 654 mm dengan 30 hari hujan, diikuti bulan November sebesar 631 mm. Sebaliknya, bulan-bulan kemarau ekstrem seperti Agustus dan Mei mencatat curah hujan sangat rendah (masing-masing hanya 2 mm dan 10 mm) dengan jumlah hari hujan hanya satu dan dua hari. Siklus ini mencerminkan adanya dua musim yang cukup kontras: musim hujan intens di akhir dan awal tahun serta musim kemarau panjang yang mengakibatkan ancaman gagal tanam, seperti yang terjadi pada tahun 2024 ketika hanya 100 ha sawah berhasil ditanami dari potensi luas 12.000 ha.

Secara geologi, Kabupaten Purworejo merupakan bagian dari Dataran Aluvium Jawa Tengah Selatan yang tersusun atas endapan hasil rombakan batuan gunung api Tersier (Pegunungan Serayu Selatan dan Menoreh) serta Gunung Api Kuarter seperti Gunung Sumbing. Struktur geologi ini menghasilkan formasi kipas aluvium di sisi timur (Kipas Purworejo) dan barat (Kipas Kutoarjo). Bagian tengah wilayah ini terdiri dari endapan aluvium pantai tua yang dilapisi oleh aluvium sungai masa kini, sedangkan bagian selatan merupakan zona aluvium pantai muda yang memiliki potensi besar terhadap pasir besi dan mineral ikutan.

Sistem hidrologi Purworejo ditunjang oleh banyak aliran sungai besar seperti Kali Wawar, Bogowonto, Jali, Gebang, Bedono, hingga Kalimeneng yang berhulu di Pegunungan Serayu Selatan, serta Jebol, Ngemnan, Dulang, dan Kaligesing yang berhulu di Pegunungan Menoreh. Sungai-sungai tersebut berperan penting dalam membentuk bentang dataran dan mendukung cadangan air tanah yang cukup melimpah. Namun, distribusi air mengalami kendala pada musim kemarau, ketika sumur dan saluran irigasi mengering. Untuk itu, pemerintah telah menggulirkan program Perluasan Areal Tanam (PAT), pembangunan sumur bor, pompa air, serta rencana Bendungan Bener guna optimalisasi air hujan.

Prasasti Kayu Ara Hiwang ditemukan di Desa Boro Wetan (Kecamatan Banyuurip), jika dikonversikan dengan kalender Masehi adalah tanggal 5 Oktober 901. Ini menunjukkan telah adanya pemukiman sebelum tanggal itu. Bujangga Manik, dalam petualangannya yang diduga dilakukan pada abad ke-15 juga melewati daerah ini dalam perjalanan pulang dari Bali ke Pakuan. Sampai sekarang, kapan tepatnya tanggal ulang tahun berdirinya Kabupaten Purworejo, masih jadi bahan perdebatan. Ada yang berpatokan pada tanggal prasasti di atas, ada juga yang berpatokan pada diangkatnya bupati Purworejo I pada 30 Juni 1830. Setelah dilakukan pengkajian ulang oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo, ulang tahun Purworejo ditetapkan berpatokan dengan diangkatnya bupati Purworejo. Namun, hal ini masih belum disosialisasikan kembali oleh pemerintah daerah pada masyarakat umum.

Pada masa Kesultanan Mataram hingga abad ke-19 wilayah ini lebih dikenal sebagai Bagelen (dibaca /ba·gə·lɛn/). Saat ini Bagelen malah hanya merupakan kecamatan di kabupaten ini.

Setelah Kadipaten Bagelen diserahkan penguasaannya kepada Hindia Belanda oleh pihak Kesultanan Yogyakarta (akibat Perang Diponegoro), wilayah ini digabung ke dalam Karesidenan Kedu dan menjadi kabupaten. Belanda membangun pemukiman baru yang diberi nama Purworejo sebagai pusat pemerintahan (sampai sekarang) dengan tata kota rancangan insinyur Belanda, meskipun tetap mengambil unsur-unsur tradisi Jawa. Kota baru ini adalah kota tangsi militer, dan sejumlah tentara Belanda asal Pantai Emas (sekarang Ghana), Afrika Barat, yang dikenal sebagai Belanda Hitam dipusatkan pemukimannya di sini. Sejumlah bangunan tua bergaya indisch masih terawat dan digunakan hingga kini, seperti Masjid Jami' Purworejo (tahun 1834), rumah dinas bupati (tahun 1840), dan bangunan yang sekarang dikenal sebagai Gereja GPIB (tahun 1879).

Kabupaten Purworejo terdiri dari 16 kecamatan, 25 kelurahan, dan 469 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 771.203 jiwa dengan luas wilayah 1.091,49 km² dan sebaran penduduk 706 jiwa/km².

Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian Kabupaten Purworejo, dengan kontribusi sebesar 21,72% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2022. Komoditas andalan meliputi padi, jagung, ubi kayu, serta aneka palawija lain yang tersebar di berbagai kecamatan. Tanaman padi paling banyak ditemukan di Ngombol, Purwodadi, dan Banyuurip, sementara jagung banyak dihasilkan di Kecamatan Bruno, dan ubi kayu di Kecamatan Pituruh. Selain itu, Kabupaten Purworejo dikenal sebagai salah satu sentra produksi empon-empon (rempah tradisional seperti kapulaga, kencur, kunyit, jahe, dan temulawak) di tingkat Jawa Tengah. Tanaman biofarmaka ini, yang menjadi bahan baku utama industri jamu, dibudidayakan luas di Kaligesing, Loano, dan Bener, dan telah menjadi komoditas unggulan yang dipasok ke lebih dari 75 pabrik jamu tradisional di wilayah Jawa Tengah, termasuk di Cilacap.

Namun, dominasi sektor pertanian ini menghadapi sejumlah tantangan besar, terutama soal ketersediaan air irigasi. Meskipun secara teoritis Purworejo punya potensi areal tanam sekitar 12.000 hektare, realisasi di lapangan sangat kecil, hanya sekitar 100 hektare pada Oktober 2024, akibat musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan saluran irigasi dan sumur-sumur pertanian. Selain itu, pada musim hujan awal 2022, petani sempat menghadapi serangan hama tikus yang merusak lahan padi. Pemerintah menanggapi kondisi ini dengan menggelar program perluasan areal tanam (PAT), bantuan sumur bor dan pompa, serta pembangunan Bendungan Bener sebagai penampung air hujan utama. Koordinasi antara Bappeda, Dinas PUPR, dan Balai Wilayah Sungai terus dilakukan guna memperkuat tata kelola sumber daya air yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim dan krisis air.

Di tengah tantangan tersebut, Purworejo justru menyimpan potensi besar dalam pengembangan agroindustri hilir dan komoditas ekspor. Komoditas seperti kapulaga, kopi lokal, dan gula merah dari kelapa di Kecamatan Grabag memiliki nilai jual tinggi, meskipun skala usahanya masih terbatas. Produk olahan lain seperti emping mlinjo dari Grabag dan pisang dari sentra hortikultura di Pituruh — yang menyumbang 40% pasokan pisang di Purworejo — memperkuat basis ekonomi lokal. Untuk meningkatkan daya saing, pemerintah daerah mendorong pelatihan teknis bagi petani, penguatan kemitraan agribisnis, dan perbaikan infrastruktur penunjang seperti irigasi modern dan sistem penyediaan air minum (SPSI). Dengan strategi ini, sektor pertanian yang saat ini menyumbang 2,58% terhadap pertumbuhan ekonomi Purworejo dapat ditingkatkan perannya menjadi motor utama pembangunan wilayah berbasis ketahanan pangan dan agroindustri berkelanjutan.

Kelapa merupakan tanaman perkebunan rakyat sebagai sumber penghasilan kedua setelah padi bagi sebagian besar petani di Kabupaten Purworejo. Komoditas unggulan perkebunan yang lain, yaitu: kopi, karet, kakao, vanili (tanaman tahunan) dan tebu serta nilam (tanaman semusim). Komoditas Tembakau rakyat sebagai usaha tani komersial, juga telah memberi kontribusi kepada pendapatan negara (devisa) dan pendapatan asli daerah (PAD), sehingga pada 2008 dan 2009 Kabupaten Purworejo mendapat Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT). Upaya pemerintah pusat dalam pembangunan perkebunan di daerah, telah merintis pengembangan tanaman jarak pagar yang diharapkan dapat bermanfaat dalam mewujudkan desa mandiri energi sebagai solusi menanggulangi kelangkaan bahan bakar.

Kabupaten Purworejo memiliki potensi peternakan yang kuat, terutama untuk ternak ruminansia kecil seperti kambing dan unggas. Salah satu ciri khasnya adalah keberadaan Kambing Peranakan Etawa (PE) ras Kaligesing, hasil kawin silang antara kambing lokal dan kambing dari India. Ternak ini bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga simbol status sosial lokal, terutama di Kecamatan Kaligesing yang merupakan sentra utamanya.

Secara produksi, kambing PE ini mampu menghasilkan 1–2 liter susu per hari (bahkan hingga 5 liter dengan perawatan optimal), sehingga memiliki potensi ganda: sebagai ternak perah dan penggemukan. Di sisi lain, ternak unggas (khususnya ayam broiler) juga berkembang pesat melalui skema intensif yang dikelola kelompok maupun UKM lokal, seperti Nugroho Farm dengan kelayakan finansial tinggi (NPV ±Rp3,45 miliar, IRR ~35%, B/C 2,18).

Selain kambing dan ayam, ternak sapi potong juga memiliki prospek baik, utamanya di Grabag, Kutoarjo, dan Gebang. Salah satu contoh praktik unggul adalah Marus Farm di Gebang, yang memadukan sistem modern, pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan, dan perawatan standar. Ini menjadikan peternakan sebagai usaha berorientasi industri skala desa.

Secara statistik, Kabupaten Purworejo mencatat populasi ternak yang sangat tinggi. Berdasarkan data tahun 2024, jumlah kambing tercatat sebanyak 284.013 ekor dengan kontribusi terbesar berasal dari Kecamatan Kaligesing (46.030 ekor), diikuti oleh Bruno dan Kemiri. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 281.385 ekor. Domba juga tersebar merata dengan populasi 61.146 ekor, dominan di wilayah Butuh, Pituruh, dan Kaligesing. Sementara itu, populasi sapi potong mencapai 23.234 ekor, dengan Kecamatan Grabag menjadi wilayah tertinggi (4.935 ekor), diikuti Pituruh dan Ngombol. Jenis ternak lain seperti kerbau (1.004 ekor) dan kuda (256 ekor) juga masih dipelihara masyarakat, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil dan biasanya terkait aktivitas pertanian tradisional atau budaya. Untuk ternak unggas, ayam kampung mendominasi dengan populasi lebih dari 4,39 juta ekor, disusul ayam pedaging sebanyak 1,52 juta ekor dan itik sebanyak 68.179 ekor. Persebaran ternak ini menunjukkan bahwa hampir seluruh kecamatan di Purworejo memiliki basis produksi peternakan yang aktif, dengan dominasi tipe komoditas yang disesuaikan dengan kondisi agroekologis setempat, seperti kawasan pegunungan yang lebih cocok untuk kambing dan kawasan dataran rendah untuk unggas dan sapi potong.

Pemerintah Kabupaten Purworejo melalui Dinas Pertanian Pangan Kelautan dan Perikanan (DinPPKP) secara aktif mendorong peningkatan kapasitas peternak melalui berbagai program pelatihan, manajemen risiko, dan integrasi lintas sektor. Pada Mei 2023, DinPPKP menyelenggarakan pelatihan manajemen ternak kambing yang mencakup pemanfaatan bibit unggul, peningkatan produksi pakan, pengendalian penyakit, serta pengolahan limbah menjadi pupuk organik. Selain itu, DinPPKP juga menginisiasi Forum Group Discussion (FGD) untuk menyusun manajemen risiko organisasi yang lebih baik dan terstruktur, guna menghindari gangguan pelayanan publik, mencegah pemborosan anggaran, dan meningkatkan efisiensi pelaksanaan program-program strategis di sektor peternakan. Di tingkat pusat, Komisi IV DPR RI bersama Kementerian Pertanian turut menyelenggarakan pelatihan manajemen beternak kambing di Kabupaten Purworejo, yang mengajarkan peternak cara beternak modern, memahami integrasi kambing dengan sistem pertanian terpadu, serta pemanfaatan program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pelatihan ini juga membuka kesadaran peternak bahwa beternak kambing yang dikelola secara profesional dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar, dengan modal yang relatif kecil, waktu panen lebih cepat, serta pakan dan limbah yang lebih efisien dibanding ternak ruminansia besar.

Peternakan di Kabupaten Purworejo bukan hanya menjadi aktivitas ekonomi, tetapi juga instrumen pemberdayaan sosial yang strategis. Hal ini dibuktikan melalui program Balai Ternak Unggas yang digagas oleh BAZNAS, di mana panen perdana pada awal 2024 berhasil menghasilkan lebih dari 30.000 ayam dan meningkatkan penghasilan peternak mustahik di Purworejo dan Kebumen hingga kisaran Rp4 juta–Rp8 juta per bulan. Program ini menyasar masyarakat dengan kategori ekonomi lemah, namun bersemangat untuk memperbaiki taraf hidup melalui beternak. Dengan pendekatan pendampingan langsung dan kerja sama dengan penyuluh lapangan, Balai Ternak BAZNAS menjadi model kolaborasi yang menggabungkan aspek ekonomi, sosial, dan spiritual sekaligus. Selain berdampak pada peningkatan pendapatan, program ini juga mendorong kemandirian ekonomi dan memperkuat jaringan distribusi pangan lokal. Di sisi lain, dari perspektif ekonomi makro daerah, subsektor peternakan tergolong sektor basis dengan nilai Location Quotient (LQ) sebesar 1,24. Namun, nilai Shift-Share yang negatif (–0,09) menempatkan subsektor ini dalam Kuadran III tipologi Klassen, yang berarti tumbuh cepat tetapi belum kompetitif dibanding wilayah lain. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi terstruktur dari pemerintah daerah, legislatif, lembaga sosial, serta pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing peternakan Purworejo sebagai lokomotif ekonomi desa yang berkelanjutan.

Kabupaten Purworejo memiliki potensi perikanan laut yang cukup signifikan, ditandai oleh garis pantai sepanjang 21,5 kilometer yang membentang di wilayah selatan, mencakup tiga kecamatan utama: Grabag, Butuh, dan Kutoarjo. Ketiga kecamatan ini menjadi pusat kegiatan nelayan lokal yang jumlahnya mencapai 776 orang, dengan didukung oleh 152 kapal nelayan yang aktif beroperasi di perairan lepas pantai. Di daerah ini juga terdapat lima Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berfungsi sebagai pusat distribusi hasil tangkapan harian para nelayan.

Komoditas ikan hasil tangkapan di perairan Purworejo sangat beragam, dengan dominasi jenis bernilai ekonomi tinggi seperti bawal putih, layur, tenggiri, kakap merah, pari, jahan/manyung, dan lobster. Produksi tangkapan laut pada tahun 2021 tercatat mencapai sekitar 76.211 ton, dengan nilai ekonomi mencapai kurang lebih Rp 3,48 miliar. Namun, besarnya potensi ini masih belum dimanfaatkan secara optimal karena kendala cuaca ekstrem dan ombak besar yang sering mengganggu aktivitas penangkapan ikan.

Dalam upaya peningkatan ekonomi nelayan, pemerintah daerah bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menginisiasi pelatihan diversifikasi produk hasil tangkapan laut. Pelatihan ini menyasar kelompok istri nelayan serta ibu-ibu PKK di pesisir, dengan fokus pada pengolahan hasil laut menjadi produk bernilai tambah seperti abon ikan dan pempek. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan dan membuka peluang wirausaha baru di komunitas pesisir

Selain perikanan tangkap, Kabupaten Purworejo juga memiliki potensi besar dalam budidaya air payau, terutama komoditas udang vannamei. Terdapat sekitar 380 petambak udang yang tersebar di sepanjang wilayah pesisir, terutama di kecamatan Grabag, Ngombol, dan Purwodadi, dengan total lahan potensial sekitar 200 hektare. Produksi panen udang pada tahun 2021 mencapai 2.291 ton dengan nilai ekonomi mencengangkan sebesar Rp 152,8 miliar.

Sayangnya, produktivitas tambak udang di Purworejo belum bisa dikatakan optimal. Salah satu tantangan utamanya adalah mayoritas petambak masih menjalankan usaha secara individual, belum tergabung dalam kelompok tani atau koperasi. Akibatnya, mereka kesulitan mengakses berbagai program bantuan dari pemerintah pusat dan daerah, termasuk pelatihan teknis, subsidi pakan, maupun bantuan modal usaha.

Selain dari sisi kelembagaan, tantangan juga datang dari aspek kualitas lingkungan. Studi kualitas air tambak di wilayah Purwodadi menunjukkan bahwa dari 10 parameter standar kualitas air, terdapat empat parameter yang sering tidak memenuhi syarat budidaya, yaitu oksigen terlarut, chemical oxygen demand (COD), nitrit, dan amonia. Variabilitas parameter ini menandakan perlunya pengawasan rutin dan manajemen kualitas air yang lebih ketat, termasuk pemetaan lokasi sumur-sumur tambak.

Guna mengatasi tantangan pembiayaan, pada tahun 2020, Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP) telah menyalurkan pinjaman bergulir senilai Rp 7,6 miliar kepada 14 Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang bergerak di bidang budidaya, terutama untuk udang vannamei di wilayah Jatikontal, Purwodadi. Skema dana bergulir ini menjadi langkah konkret mendorong wirausaha baru berbasis kelautan di wilayah pesisir.

Selain itu, berbagai hibah dari APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten juga telah disalurkan. Bentuk bantuannya antara lain berupa mesin tempel kapal, fish finder, jaring gillnet, paket benih dan pakan ikan (lele, gurame, nila), sistem bioflok, hingga karamba. Hibah ini menyasar baik KUB perikanan tangkap maupun Pokdakan (kelompok pembudidaya ikan) di berbagai kecamatan, dari pesisir hingga perdesaan di pedalaman.

Dari sisi prosedur, pengajuan hibah perlu melalui mekanisme formal berupa proposal yang ditujukan kepada Bupati, kemudian diverifikasi oleh OPD terkait. Kelompok penerima hibah juga wajib memiliki Kartu KUSUKA sebagai identitas resmi pelaku usaha perikanan.

Pemerintah Kabupaten Purworejo, melalui kolaborasi dengan Komisi IV DPR RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, secara aktif menyelenggarakan bimbingan teknis (bimtek) dan pelatihan untuk para pelaku perikanan. Pelatihan ini berlangsung sepanjang 2022 hingga 2023, dengan peserta yang terdiri dari petambak udang, pembudidaya ikan air tawar, petani garam, dan nelayan tangkap.

Topik pelatihan mencakup akses pembiayaan, strategi diversifikasi usaha, teknik pengolahan hasil perikanan, serta pemanfaatan teknologi tepat guna. Salah satu kegiatan yang menonjol adalah pelatihan pengolahan ikan oleh kelompok wanita nelayan, yang tidak hanya memberikan pengetahuan teknis, tapi juga memperkuat solidaritas dan pemberdayaan ekonomi perempuan pesisir.

Peserta pelatihan diajarkan cara membuat olahan abon ikan manyung dan empek-empek dari ikan salem. Kegiatan ini menumbuhkan semangat wirausaha di kalangan perempuan dan memperkuat fondasi ekonomi lokal dari sektor hilir perikanan.

Kabupaten Purworejo menunjukkan komitmen serius dalam pengembangan sektor industri melalui kebijakan ruang yang tertuang dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Daerah (Perda) RTRW Nomor 10 Tahun 2021. Sebanyak 1.250 hektare lahan telah ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri, dengan persebaran utama di wilayah selatan kabupaten, terutama di sekitar Jalan Daendels yang strategis sebagai jalur selatan nasional. Distribusi lahan meliputi: Kecamatan Grabag (498 ha), Ngombol (294 ha), Purwodadi (130 ha), Bayan (150 ha), Kemiri (42 ha), dan Gebang (66 ha). Selain itu, terdapat pula alokasi wilayah pertambangan batuan seluas 96 hektare di Kecamatan Bagelen.

RDTR Perkotaan Purworejo–Kutoarjo, satu-satunya yang telah tersusun hingga saat ini, menetapkan sub-zona Kawasan Peruntukan Industri (KPI) di wilayah padat penduduk dan pusat layanan. Penataan ini mengarah pada sinergi antara industri, perdagangan, pariwisata, dan pertanian dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Sebagian kawasan industri lama—seperti pabrik minyak kelapa dan pengeringan lombok di Kutoarjo yang sudah tidak beroperasi—masih dimasukkan sebagai titik potensial pengembangan dalam peta zonasi RDTR.

Meskipun industri besar mulai tumbuh, lanskap industri Purworejo tetap didominasi oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM), terutama yang berbasis pertanian, kehutanan, dan perikanan. Sentra IKM meliputi:

IKM ini tersebar di hampir seluruh kecamatan dan menyerap ribuan tenaga kerja. Berdasarkan Purworejo Regency in Figures 2025, tercatat 449.811 penduduk usia kerja di atas 15 tahun bekerja aktif, dengan proporsi terbanyak berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai (28,57%), disusul oleh pekerja mandiri (28,74%) dan pelaku usaha mikro dengan tenaga kerja tidak tetap (17,16%).

Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Purworejo menunjukkan tren meningkat, dari Rp 3,64 triliun pada 2020 menjadi Rp 4,97 triliun pada 2024, dengan kontribusi sekitar 20,06% terhadap total PDRB pada tahun terakhir. Ini menjadikannya sektor terbesar kedua setelah pertanian dalam struktur ekonomi daerah.

UMKM adalah tulang punggung ekonomi Purworejo, dengan jumlah sekitar 33.532 usaha mikro-kecil menengah (2025) yang tersebar di 16 kecamatan. Sektor ini menyerap tenaga kerja lokal dan menjadi motor ekonomi pedesaan. Pemerintah daerah aktif memfasilitasi peningkatan kelas UMKM: di antaranya menyelenggarakan Purworejo Expo (setiap peringatan hari jadi) sebagai ajang promosi produk lokal. Contohnya, Purworejo Expo 2023 (Februari) diikuti 160 stand UMKM dari berbagai kecamatan, termasuk kelompok “Tumpeng Sewu” di Butuh yang memamerkan pangan tradisional unik seperti dawet hitam. Selain itu, Dinas Koperasi dan UKM mendorong kemitraan dengan ritel modern. Pada 16 Juni 2025, Pemkab bersama Alfamart mengadakan pelatihan ritel bagi 100 pelaku UMKM (termasuk penyandang disabilitas) untuk masuk toko swalayan nasional. Pj. Sekda menekankan agar UMKM memperbaiki kemasan dan kualitas produk agar siap bersaing di pasar modern. Meskipun ada dukungan promosi (Purworejo Investment Center misalnya menampilkan katalog usaha lokal), tantangan UMKM antara lain modal terbatas, akses pembiayaan, serta pemasaran yang belum merata. Data Badan Ekonomi Kreatif lokal menunjukkan hanya sebagian kecil UMKM yang sudah go-digital atau bergabung di e-commerce. Oleh sebab itu, pelatihan literasi digital dan pembentukan ekosistem usaha (inkubator, BUMDES produktif) masih diperlukan untuk mengakselerasi pertumbuhan UMKM.

Demi menarik investasi, Pemkab Purworejo aktif membuka diri dengan insentif. Pada Desember 2024, digelar Purworejo Investment and Business Forum dan diresmikan Purworejo Investment Center, forum temu investor dari berbagai sektor. Bupati menyatakan Purworejo memiliki kawasan strategis: seperti Kawasan Perkotaan Purworejo–Kutoarjo, Kawasan Bruno (kayu manis/baduy), Kawasan Grabag (perbatasan), wilayah pertanian Kemiri-Pituruh, area sekitar Bendungan Bener, hingga daerah peruntukan industri di Purwodadi-Ngombol-Grabag. Perda No.7/2023 tentang insentif investasi telah disusun untuk kemudahan perizinan, sehingga proses bisnis lebih cepat. Selain itu, ada fasilitasi perizinan berbasis OSS risk-based. Contohnya, di bidang pariwisata, investor diberi ruang dalam pengembangan hilir kopi Bagelen dan ekowisata Seplawan. Pemerintah juga membantu investor mengatasi kendala izin atau tenaga kerja melalui satu pintu di DPMPTSP

Pemerintah daerah merencanakan dan melaksanakan beberapa proyek strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pada APBD 2025 dianggarkan lima proyek utama (melalui DAK dan APBD) yang tertera dalam Keputusan Bupati 2025: pembangunan Hotel Tahap III & penyempurnaan Gedung Ganesha Convention Hall (±Rp6,6 miliar) untuk mendukung MICE pariwisata, peningkatan dua ruas jalan kabupaten (Kalimeneng–Purbayan dan Tursino–Dilem, masing-masing sekitar Rp5–5,7 miliar) untuk memperlancar logistik, proyek PJU/jalan umum Rp5,7 miliar, serta renovasi Labkesda (laboratorium kesehatan daerah) senilai Rp4,96 miliar untuk meningkatkan layanan kesehatan. Dana kegiatan ini mulai masuk proses lelang awal 2025, menandakan komitmen percepatan pembangunan infrastruktur penunjang. Proyek semacam ini diproyeksikan mendukung penyerapan investasi (hotel/convention hall) dan membuka lapangan kerja (konstruksi.com">Konstruksi dan pasca-operasional) di sektor formal.

Pertumbuhan ekonomi Purworejo setelah pandemi relatif positif. Laju PDRB kabupaten tahun 2022 tercatat 5,36% (yoy), lebih tinggi dari 3,31% (2021) karena pemulihan produksi pertanian dan konstruksi.com">Konstruksi. Dengan bertambahnya sektor perdagangan, industri pengolahan dan konstruksi.com">Konstruksi, kesempatan kerja juga meningkat. Tercatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) Purworejo hanya 4,45% pada 2022 salah satu yang terendah di kawasan Kedu. Dari sisi kesejahteraan, peningkatan ini mulai menekan kemiskinan: angka 11,53% penduduk miskin pada 2022, meski masih lebih tinggi dibanding kabupaten tetangga seperti Temanggung. Program padat karya, bantuan modal UKM, dan pendampingan usaha diharapkan memperbaiki mata pencaharian rumah tangga miskin. Misalnya, pelatihan disabilitas (motor roda tiga) dan bantuan ternak meningkatkan pendapatan golongan paling rentan. UMKM yang naik kelas (akses ke Alfamart) juga menciptakan pekerjaan baru. Secara subyektif, indikator kepuasan masyarakat beberapa tahun terakhir sedikit meningkat (survey DPMPTSP menunjukkan naik sekitar 5 poin IPM). Namun, disparitas upah masih ada, dengan rata-rata gaji buruh di pertanian lebih rendah daripada kota. Oleh karena itu, beberapa narasumber menyarankan peningkatan investasi non-pertanian (pariwisata, manufaktur) agar lapangan kerja bertambah beragam, sehingga menurunkan angka pengangguran mutlak.

Sektor pariwisata Kabupaten Purworejo mendapat perhatian khusus sebagai salah satu pendorong ekonomi daerah. Upaya integrasi wisata dengan kawasan Borobudur menjadi langkah strategis melalui kerja sama antara pemerintah provinsi dan Badan Otorita Borobudur. Tujuannya adalah agar wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur dapat diarahkan ke destinasi di wilayah Purworejo-Kebumen sebagai satu paket tur. Salah satu destinasi unggulan adalah Goa Seplawan di Kecamatan Kaligesing, yang dikenal memiliki formasi stalaktit dan stalakmit yang indah serta pemandangan alam sekitar yang masih asri. Goa ini juga memiliki nilai tambah dari hasil perkebunan durian dan ternak kambing etawa, yang menjadi ciri khas wilayah tersebut. Untuk mendukung pengembangan destinasi ini, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengucurkan dana sebesar Rp1,93 miliar pada tahun 2024 untuk pembangunan fasilitas penunjang seperti amenitas dan atraksi. Pemerintah daerah juga telah menandatangani komitmen bersama untuk optimalisasi potensi Goa Seplawan sebagai destinasi pariwisata strategis.

Selain Goa Seplawan, kawasan pegunungan Menoreh, khususnya Desa Wisata Pituruh dan Kemiri, sedang dikembangkan sebagai destinasi agrowisata dan ekowisata. Di Desa Kemiri, wisata kopi menjadi daya tarik utama, sementara di wilayah Bangunrejo telah dibuka jalur trekking menuju Gunung Gajah dan Kulon. Atraksi budaya juga turut memperkuat sektor pariwisata Purworejo, seperti Kirab Hari Jadi Purworejo dan keberadaan kerajinan batik khas Bagelen. Di sisi lain, pesisir selatan Purworejo juga memiliki potensi besar dengan pantai-pantai seperti Pantai Ketawang, Pantai Keburuhan (Pasir Puncu), dan Pantai Jatimalang yang menawarkan panorama laut terbuka. Potensi alam lainnya berupa gua-gua seperti Gua Selokarang dan Sendang Sono, yang memiliki nilai spiritual dan dipercaya masyarakat sebagai tempat mempertahankan keremajaan. Terdapat pula air terjun Curug Muncar di Kecamatan Bruno yang memiliki ketinggian sekitar 40 meter dan menyajikan panorama alam pegunungan yang masih alami.

Namun demikian, pengembangan sektor pariwisata Purworejo masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah aksesibilitas yang kurang memadai, terutama ke objek-objek wisata yang berada di wilayah terpencil dan pegunungan, seperti Gua Pencu di Desa Ngandagan yang bersejarah namun kini terbengkalai akibat kurangnya perhatian dari aparatur desa. Fasilitas penginapan juga masih terbatas, sehingga belum sepenuhnya mendukung kebutuhan wisatawan luar daerah. Di sisi promosi, strategi digital masih perlu diperkuat agar potensi wisata Purworejo lebih dikenal secara luas, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di tengah upaya pengembangan geopark di wilayah Gunung Sewu yang telah ditetapkan UNESCO di Kabupaten Kebumen, terdapat peluang efek spill-over ke wilayah karst dan ekowisata Purworejo yang masih berada dalam satu lanskap geologi yang sama. Integrasi pengembangan fisik, budaya, dan digital menjadi kunci untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai pilar ekonomi daerah yang berkelanjutan.

Di samping itu, terdapat juga air terjun "Curug Muncar" dengan ketinggian ± 40m yang terletak di kecamatan Bruno dengan panorama alam yang masih alami. Gua pencu di desa Ngandagan merupakan bentuk benteng seperti gua pada zaman Hindia Belanda, dan pada masa itu gua pencu pernah didatangi oleh Presiden Sukarno, tetapi sekarang sudah tidak terawat karena kurang pedulinya aparatur pemerintahan desa.

Di Kabupaten Purworejo terdapat museum bernama Museum Tosan Aji. Selain itu terdapat objek wisata berikut:

Infrastruktur transportasi menjadi fokus utama. Banyak proyek jalan kabupaten yang dibangun atau ditingkatkan. Misalnya, APBD 2025 mengalokasikan Rp5–6 miliar untuk peningkatan ruas jalan penting (Kalimeneng–Purbayan dan Tursino–Dilem). Pemeliharaan rutin melibatkan Dinas PUPR dan TNI/Polri (TMMD), seperti pembukaan jalan desa dan perbaikan akses ke pasar. Dinas PUPR menargetkan penyelesaian puluhan kilometer jalan desa dan empat jembatan baru dalam tahun berjalan (meski DAK 2024 terbatas). Pemerintah juga bekerjasama dengan Kementerian PUPR: misalnya perbaikan dua segmen Jalan Nasional III Purworejo direncanakan tahun berjalan untuk mengurangi kemacetan arus lintas. Sebelumnya, Presiden Jokowi telah mengkritisi beberapa proyek strategis daerah yang mangkrak (tinjauan KPK 2023), sehingga Pemkab lebih ketat pengawasan. Secara keseluruhan, peningkatan jalan dan jembatan ini diharapkan memperlancar distribusi barang (agrokomoditas ke pasar) dan konektivitas antar wilayah, serta mendorong wisatawan dan investor ke wilayah Purworejo.

Akses air bersih masih menjadi agenda penting. Pemkab bersama Bappeda dan Kementerian PUPR mengusulkan percepatan penyediaan sistem penyediaan air minum (SPAM) perkotaan Keburejo (Cebongan–Kebumen–Purworejo) pada 2024, dengan rencana tambah 3.910 sambungan rumah (50 liter/detik). Usulan ini telah diverifikasi pusat, menunjukkan komitmen memperluas cakupan air minum. Di tingkat desa, program Pamsimas dan CLTS (Community-Led Total Sanitation) digalakkan untuk menyediakan jamban dan sumur bor di komunitas menengah ke bawah. Pembangunan irigasi juga menjadi fokus pasca-kekeringan 2024; selain rencana Bendungan Bener, Pemkab menyiapkan pompa air minipetani dan kolam tadah hujan desa (melalui dana desa). Untuk sanitasi, kebijakan peduli sampah juga terlihat dengan pemasangan sarana MCK umum di pusat kecamatan. Upaya warga lokal termasuk pembentukan sistem pamiyat (pamsimas desa) dan bank sampah di beberapa desa. Meski belum tuntas, indikator dasar (cakupan air layak) sedikit meningkat: dari 75% jiwa mendapat air bersih layak (2020) menjadi ~80% (2023) menurut satu data BPS daerah.

Purworejo mengambil langkah modernisasi layanan publik. Pemerintah daerah telah merancang Mal Pelayanan Publik (MPP) Digital sejak 2023. Setelah penetapan oleh MenPANRB, Pemkab siap mengintegrasikan layanan online dengan single sign-on. Sederet aplikasi telah disiapkan: tahap awal mencakup Dinas Kependudukan & Catatan Sipil (layanan akta, KTP) dan Dinas Kesehatan (izin praktek medis) secara daring. Sistem MPP Digital ini memungkinkan warga mengurus izin dan dokumen dengan satu akun, sekali unggah berkas, tanpa antre panjang. Selain itu, Samsat Purworejo meluncurkan layanan e-Pajak Kendaraan Bermotor melalui media sosial resmi dan aplikasi online (e-SAMSAT) sehingga wajib pajak dapat membayar dari mana saja. Di sektor pendidikan, LPSE–dinas e-learning untuk guru dan siswa menyesuaikan kebutuhan era pandemi. Komunikasi publik dioptimalkan lewat unggahan resmi di Instagram @DiskominfoPurworejo, Twitter Pemda, dan kanal Youtube Pemkab. Walhasil, catatan rapat perizinan elektronik (OSS) terus naik dan keluhan warga melalui aplikasi ‘Aduan Porjo’ berkurang, menandakan peningkatan kepuasan publik terhadap kemudahan administrasi

Pemda menyusun revitalisasi fasilitas umum. Terminal Tipe A Purworejo, misalnya, telah diresmikan Presiden Jokowi pada 2 Januari 2024. Terminal seluas 12.315 m² dengan konsep mixed-use ini menelan biaya Rp35 miliar (SBSN) dan dilengkapi sentra UMKM, pusat kuliner, dan ruang serba guna. Terminal baru ini ditujukan untuk menarik minat naik bus antarkota, sekaligus menjadi lokasi pameran kerajinan (kerjasama Dekranas) dan kegiatan budaya masyarakat. Untuk pasar tradisional, proyek peningkatan dilakukan secara bertahap. Contohnya, Pasar Winong (Kemiri) yang telah lama direncanakan direhabilitasi tahun 2025, dengan anggaran sekitar Rp4,2 miliar. Tahun 2024 pemerintah membangun pasar darurat di Winong agar pedagang tetap berjualan selama renovasi. Di banyak pasar desa lainnya, dana perubahan APBD 2024 dialokasikan untuk perbaikan kecil: paving di pasar Mundusari (Rp200 juta), rehabilitasi kios Pasar Soko Bagelen (Rp181 juta), dan penambahan fasilitas mushola serta penerangan di Pasar Purworejo (rencana 2025). Purworejo, menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) mini di sejumlah kecamatan (misal Taman Sidandang di Kutoarjo). Terminal bus lokal juga diperbaharui dengan fasilitas parkir luas dan halte bersih. Semua ini memperbaiki kualitas pelayanan publik dan mendukung perekonomian lokal melalui konektivitas dan ruang sosial baru.

Pembangunan fasilitas sosial terus berlanjut. Selain RSUD Tjitrowardojo yang menambah bangsal baru, Purworejo juga mengembangan fasilitas kesehatan primer. Contohnya, di Kemiri tahun 2024 dibangun UPT laboratorium kesehatan daerah (Labkesda) dengan peralatan lengkap. Gedung-gedung sekolah dibangun atau direnovasi: tahun 2022 diresmikan gedung baru SMPN 8 Purworejo (Graha Ki Hajar Dewantara) hasil swadaya orang tua murid dan alumni senilai ~Rp730 juta. Selain itu, SD dan SMP negeri lainnya mendapat ruang kelas tambahan serta ruang komputer. Pemerintah merencanakan pembangunan Puskesmas rawat inap di Samigaluh dan terminal kecamatan di wilayah selatan (Ngombol) tahun 2024–2025. Ruang Terbuka Hijau (RTH) juga ditambah, terutama di pusat kota Purworejo dan Kutoarjo (Taman Pemda). Revitalisasi kantor layanan publik (kecamatan) mempercepat pelayanan administratif. Secara umum, integrasi fasilitas sosial ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup warga – misalnya, pendidikan yang lebih baik, kesehatan yang lebih cepat aksesnya, dan ruang terbuka hijau yang mendukung gaya hidup sehat.

Kabupaten Purworejo memiliki posisi strategis di jalur selatan Pulau Jawa yang menghubungkan Yogyakarta, Magelang, hingga Bandung dan Jakarta melalui Purwokerto–Cirebon. Wilayah ini dilintasi jalur nasional dan jalur provinsi utama, termasuk jalan legendaris Daendels di sisi selatan. Berdasarkan data 2024, total panjang jalan di Purworejo mencapai 897,59 km, terdiri dari 37,12 km jalan negara, 102,68 km jalan provinsi, dan 757,79 km jalan kabupaten. Sebagian besar permukaan jalan telah beraspal (835,76 km), meski masih ada bagian dengan permukaan tanah (31,37 km) dan jalan rusak berat (113,99 km). Perbaikan dan revitalisasi infrastruktur jalan terus dilakukan untuk mendukung kelancaran mobilitas warga dan konektivitas antar wilayah.

Dari sisi transportasi rel, stasiun utama adalah Stasiun Kutoarjo, yang merupakan stasiun kelas A modern dengan tujuh jalur, melayani kereta antarkota seperti Taksaka, Argo, dan sebagainya. Di samping itu, layanan commuter Prambanan Express (Prameks) menghubungkan Yogyakarta–Kutoarjo, dengan pemberhentian di Stasiun Wojo dan Jenar. Reaktivasi jalur Kutoarjo–Purworejo sejak Juni 2023 juga menghidupkan kembali Stasiun Purworejo (kelas II), yang sempat mati sejak 2010. Untuk mengakomodasi peningkatan mobilitas penumpang, pemerintah daerah memperkuat moda lanjutan seperti ojek online, taksi daring, dan angkutan perdesaan (angkudes). Tercatat ada 648 unit angkudes dengan 64 trayek aktif, meskipun distribusinya masih terkonsentrasi dan belum menjangkau wilayah pelosok secara merata .

Di sisi lain, moda Bus Rapid Transit (BRT) Trans Jateng hadir sejak 2023 menghubungkan Kutoarjo–Borobudur–Magelang dengan enam rit per hari dan tarif terjangkau. Selain itu, Purworejo memiliki Terminal Bus Tipe A yang sedang direvitalisasi menjadi kawasan transit-oriented development (TOD), lengkap dengan fasilitas UMKM, kuliner, dan ruang publik. Terminal ini mampu menampung hingga 1.200 penumpang dan melayani sekitar 128 bus per hari. Terminal lain yang aktif termasuk Terminal Purwodadi (Tipe C) untuk angkudes wilayah selatan dan Terminal Nampurejo yang melayani bus antarkota menuju Yogyakarta, Semarang, Cilacap, dan Wonosobo.

Purworejo memiliki 11 rumah sakit umum, 27 puskesmas, dan ratusan poskesdes (2023). Sejak pandemi COVID-19, layanan kesehatan wajib beradaptasi. Pada 2021 Pemkab menerapkan vaksinasi door-to-door untuk meningkatkan cakupan vaksinasi hingga 70% agar status PPKM turun ke level 1. Upaya ini melibatkan kader kesehatan dan perangkat desa untuk menjangkau warga rentan. Pasca-pandemi, pemerintah gencar normalisasi layanan puskesmas dan rumah sakit, seperti menambah bangsal di RSUD dr. Tjitrowardojo. Pada 2025 RSUD utama mengalami ~90% okupansi, sehingga dibuka Bangsal Anggrek (9 ruang, 21 tempat tidur) untuk kelas III dan I serta ruang isolasi baru. Lonjakan pasien 30–38% dari 2023 ke 2024 mendorong penambahan ini. Dengan bertambahnya fasilitas (Puskesmas kecamatan hingga klinik desa), Purworejo berusaha memperbaiki akses dan menekan antrian pasien. Namun, tantangan seperti kekurangan dokter spesialis masih ada di beberapa Puskesmas, memicu kebutuhan peningkatan SDM kesehatan. Selain itu, masalah kesehatan masyarakat seperti stunting dan gizi perlu intervensi lintas sektor (pendidikan gizi di sekolah dan posyandu).

Purworejo memiliki kesenian yang khas, yaitu dolalak, tarian tradisional diiringi musik perkusi tradisional seperti: Bedug, rebana, kendang.

Satu kelompok penari terdiri dari 12 orang penari, dimana satu kelompok terdiri dari satu jenis gender saja (seluruhnya pria, atau seluruhnya wanita). Kostum mereka terdiri dari: Topi pet (seperti petugas stasiun kereta), rompi hitam, celana hitam, kacamata hitam, dan berkaos kaki tanpa sepatu (karena menarinya di atas tikar). Biasanya para penari dibacakan mantra hingga menari dalam kondisi trance (biasanya diminta untuk makan padi, tebu, kelapa) kesenian ini sering disebut juga dengan nama Dolalak

Dzikir Saman mengadopsi kesenian tradisional aceh dan bernuansa islami, dengan penari yang terdiri dari 20 pria memakai busana muslim dan bersarung, nama Dzikir Saman diambil dari kata samaniyah (arab, artinya: sembilan), yang dimaksudkan sembilan adegan dzikir. diiringi musik perkusi islami ditambah kibord dan gitar. pada jeda tiap adegan disisipi musik-musik yang direquest oleh penonton)

Tari dolalak merupakan tarian khas daerah Purworejo. Tari ini merupakan percampuran antar budaya Jawa dan budaya barat. Pada masa penjajahan Belanda, para serdadu Belanda sering menari-nari dengan menggunakan seragam militernya dan diiringi dengan nyanyian yang berisi sindiran sehingga merupakan pantun. Kata dolalak sebenarnya berasal dari notasi Do La La yang merupakan bagian dari notasi do re mi fa so la si do yang kemudian berkembang dalam logat Jawa menjadi Dolalak yang sampai sekarang ini tarian ini menjadi Dolalak.

Tundan Obor: setiap musim penghujan, saat hujan rintik, pada senja hari (surup), terdengar suara bergemuruh seperti kentongan ditabuh di sepanjang kali Jali, dimana akan ditemukan beberapa barisan obor yang melayang sepanjang sungai Jali, dari Gunung Sumbing hingga ke pantai, sampai saat ini beberapa warga masyarakat masih meyakini hal ini (dan beberapa mengaku masih menyaksikan). Sebagai bagian dari daerah pesisir Pantai Selatan, legenda Nyi Roro Kidul juga beredar luas di kalangan penduduk.

Pendidikan di Purworejo masih menghadapi masalah akses dan mutu. Menurut Pemkab, belum semua siswa mencapai standar minimal literasi dan numerasi, serta kualitas guru yang merata perlu ditingkatkan. Pada 2022 pemerintah meluncurkan program “Guru Meguru” (mengajar) yang mengalokasikan anggaran ~Rp350 juta/tahun untuk pelatihan 1.500 guru, bertujuan membentuk ekosistem pendidikan unggul dan karakter anak . Upaya lain adalah perluasan beasiswa daerah dan program Sekolah Penggerak agar transformasi sekolah lebih merata. Misalnya, Dinas Pendidikan melibatkan warga dan tenaga pendidik untuk menanggulangi 6.805 anak usia 7–18 tahun yang tidak sekolah (2019) . Di Purworejo Expo 2023, tercatat 160 stand UMKM selama pameran pendidikan dan ekonomi, sebagai upaya integrasi pendidikan vokasi dengan pelatihan kewirausahaan anak . Langkah-langkah ini berhasil menggerakkan IPM daerah, terbukti naik dari 72,50 (2019) menjadi 72,98 (2021). Namun masih terdapat kesenjangan akses: sekolah di desa-desa terpencil kekurangan guru dan fasilitas, sementara daerah perkotaan lebih mudah menjangkau pendidikan berkualitas.

Berita dari Masjid

Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.