Jakarta (Kemenag) --- Kajian 100 Tangga Ruhanin kaum sufi meraih rida Ilahi sudah sampai persinggahan terakhir. Abdurrauf Al-Sinkili dalam Tanbih Al-Masyi memberi tema pada 10 tangga pungkasan ini sebagai An-Nihayat (Akhir).
Bab An-Nihayat menjadi penutup utasan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman dalam kajian #TanggaRuhani melalui akun @ofathurahman.
“Tangga ruhani pertama dalam bab An-Nihayat adalah al-Ma’rifah (mengenali). Yakni pengetahuan terdalam seorang hamba atas Allah, apa ada-Nya,” terang Oman sebagaimana dikutip Humas dengan beberapa penyesuaian, Senin (24/5/2021).
Mengutip Al-Harawi, Oman menjelaskan bahwa al-Ma’rifah secara umum berarti “meliputi segala sesuatu apa adanya”; mengetahui Sifat dan Keagungan-Nya, sehingga dekat dengan-Nya.
Kedua, al-Fana’ (fana), yakni lenyap. Menurut Al-Harawi: Fana’ adalah lenyapnya segala, selain al-Haq. Hamba meyakini bahwa segala sesuatu selain-Nya nihil, lalu menolak segala wujud selain-Nya, dan puncaknya aktualisasi kefana’an itu secara hakiki.
Ketiga, al-Baqa’ (kekal). Yakni keyakinan hamba bahwa Allah Mahakekal dalam segala. Baqa’ dalah gambaran keadaan “tetap ada” di saat semua selainnya lenyap. “Baqa’ baru bisa lahir setelah fana’; jadi untuk kekal, terlebih dahulu harus lenyap,” jelasnya.
Tangga ruhani selanjutnya adalah al-Tahqiq (memastikan). Yakni, memandang al-Haq dengan yang seharusnya, meyakini Wujud-Nya semata, tidak mengharap perlindungan dari selain-Nya. “Tangga ini memastikan kehendak hamba berasal dari-Nya, bersama-Nya, dan meyakini tidak ada yang diinginkan selain Dia,” urai Oman.
Kelima, al-Talbis (penyembunyian diri). Ini tingkat spiritual hamba yang mengaitkan/memakaikan segala kebaikan dan kebajikan kepada al-Haq. Ia tampil sebagai orang biasa, menyembunyikan spiritualitasnya. Semua gerak dikembalikan sebagai Gerak Allah.
“Hamba dalam level al-Talbis selalu menjaga ketulusan bahwa tidak ada kebajikan yang keluar dari dirinya, melainkan semua dari Tuhan. Ibrahim as menghancurkan berhala. Saat ditanya, siapa yang melakukan itu? Ia jawab: Tuhan. Inilah satu contoh argumen al-Talbis yang dijelaskan para sufi,” papar Oman.
Keenam, al-Wujud (mendapati). Yakni, menemukan Yang Dimaksud dalam segala wujud. Ini level ruhani seorang hamba yang menempuh (salaka) jalan Tuhan, lalu berhasil menemukanNya (wushul), dan terhubung dengan-Nya. “Al-Wujud lebih tinggi dari al-Wajd (ekstase),” ujar Oman.
Berikutnya, al-Tajrid (melucuti). Yakni, memisahkan segala sesuatu selain Allah dari hati. Segala urusan dan kehendak duniawi diisolasi, hanya Dia. Ini prasyarat wushul. Musa as diminta menanggalkan sandalnya untuk bertemu Tuhan (Thaha: 12).
Kedelapan, al-Tafrid (menyendiri). Yakni, menghadirkan al-Haq semata, meniadakan selainNya. Bedanya, kalau al-Tajrid fokusnya pada pemisahan selain Al-Haq dari diri, sedangkan al-Tafrid fokus pada hanya ke-Dia-an. Cinta hamba hanya untuk-Nya.
“Tangga kesembilan adalah al-Jam’ (penyatuan). Yakni, penggabungan perasaan, pandangan, dan kesadaran dengan Al-Haq. Hamba tidak lagi merasakan sekelilingnya. Ia hanya menjumpai Nama dan SifatNya dalam segala. Namun, Tuhan tetap Tuhan, dan hamba tetap hamba,” tegasnya.
Tangga ruhani terakhir, al-Tawhid (mengesakan). Yakni, menisbatkan sifat Esa (al-wahdaniyah) pada al-Haq. Tak ada Tuhan selain-Nya. “Tauhid hakiki adalah puncak tertinggi perjalanan para sufi. Tak ada yang lebih tinggi darinya. Syahadat adalah ekspresi tauhid,” tandasnya.
Sesuai namanya, An-Nihayat (akhir) adalah ujung bahasan dari #100TanggaRuhani yang dituliskan dalam manuskrip #TanbihulMasyi karya Syekh Abdurrauf al-Sinkili (w. 1693). Oman menilai, Syekh Abdurrauf al-Sinkili adalah ulama Nusantara asal Aceh yang keilmuannya setara dengan para ulama besar Islam dunia.
Sepuluh persinggahan yang termaktub dalam manuskrip ini adalah: Al-Bidayah, Al-Abwab, Al-Mu’amalah, Al-Akhlak, Al-Ushul, Al-Audiyah, Al-Ahwal, Al-Wilayah, Al-Haqa’iq, dan terakhir An-Nihayat.
“Selamat mengambil hikmah, yang benar dari al-Haq, yang keliru karena keterbatasan ilmu saya. Semoga saripati #100TanggaRuhani para sufi ini menginspirasi kita dalam perjalanan menjadi manusia yang lebih baik, maslahat bagi sesama, dan baik di hadapan-Nya,” demikian Oman menutup utasannya.