Jakarta (Kemenag) --- Sempat terjeda pada edisi Lebaran Idulfitri, Kamis, 13 Mei 2021, pembahasan Tangga Ruhani Sufi meraih rida Ilahi kembali hadir. Pembahasan kali ini memasuki Manzilah Al-Wilayah (Perwalian).
Ini merupakan persinggahan tangga ruhani kedelapan bagi kalangan sufi dalam menggapai rida Ilahi, sebagaimaan dijelaskan Abdurrauf Al-Sinkili dalam Tanbih Al-Masyi. Sebagaimana sebelumnya, bahasan ini disajikan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman melalui utasan twitter @ofathurahman dengan #tanggaruhani.
Pertama, al-Lahzh (lirikan). Yakni, kedipan yang menggetarkan, berkat Keagungan yang Dipandang. Ini seperti Musa as yang melirik Cahaya Tuhan dalam gunung. “Al-Lahzh juga berarti memperhatikan segala ketetapan Allah, dan menerimanya. Hati jadi tenang, jiwa tenteram,” terang Oman sebagaimana dikutip Humas dari akun @Ofathurahman dengan beberapa penyesuaian, Senin (17/5/2021).
Tangga Ruhani ke-2 pada Manzilah Al-Wilayah adalah al-Waqt (waktu). Oman menjelaskan bahwa ini adalah kondisi dan situasi yang mengikat. Waktu adalah “majikan” yang harus dipatuhi, tak ada kompromi. Jika tidak dipakai untuk kebaikan, waktu menjerumuskan pada keburukan. Sesuatu pasti bermanfaat kalau ada pada waktu yang tepat.
“Ketiga adalah al-Shafa (bersih). Yakni, terbebasnya hati dari keburukan, yakin dalam kebenaran, tidak ragu menapak al-haq, menanggalkan yang bathil. Hati yang bersih menuntun pada perilaku yang baik, amaliah yang istiqamah, menjadikan Nabi Saw. sebagai teladan,” papar Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Sawangan, Depok ini.
Selanjutnya, lanjut Oman, adalah al-Surur (kegembiraan). Yakni kebahagiaan paripurna. Ini lebih dari sekadar girang (al-farh) yang bersifat duniawi, melainkan kebahagiaan ukhrawi, lebih permanen. “Gembira karena menggapai karuniaNya. Kegembiraan puncak: saat ruh bertemu Tuhannya,” ujarnya.
Kelima, al-Sirr (rahasia). Yakni, tersingkapnya Keindahan dan Kebesaran Allah, hingga mencapai musyahadah (persaksian). “Sirr" adalah bagian terdalam ruh, di luar ruh ada kalbu. Kita menyebutnya, “hati”. Hati yang bersih akan mengetahui rahasia-Nya.
Keenam, al-Nafas (napas). Yakni, melapangkan hati dengan amaliah ruhani. Napas ruhani diperoleh saat jiwa sibuk beribadah. “Napas menjadi saksi kebaikan dan keburukan dalam diri. Setiap tarikan napas adalah berlalunya waktu. Napas tak layak disia-sia,” tutur Oman yang juga mengambu kajian online Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) di chanel youtubenya.
“Ketujuh adalah al-Ghurbah (asing). Yakni memisahkan diri dari keramaian, agar dekat dengan-Nya. Mengasingkan diri bukan secara fisik, melainkan hati dan prilaku tidak ikutan bobrok saat keburukan dianggap biasa. ‘Hiduplah di dunia, seakan engkau orang asing’," sambungnya.
Untuk tangga ruhani kedelapan, Oman menjelaskan bahwa itu adalah al-Gharq. Yakni, tenggelam di kedalaman samudera hakikat dengan sukacita, tenggelam dalam ilmu dan amal, juga tenggelam dalam menaati perintah-Nya. “Ibrahim as tenggelam dalam perintah-Nya, mengorbankan Ismail as, yang ternyata sebuah ujian,” terang Oman.
Kesembilan, al-Ghaybah (ghaib). Yakni, absen tidak mengingat-ingat kebaikan yang dimiliki karena fokus pada hal lain yang lebih hakiki. Ini artinya tidak merasa paling ikhlas, tapi fokus mengharap Ridha-Nya. Tidak merasa paling berilmu, dan tidak merasa paling unggul.
“Terakhir, adalah al-Tamakkun (mantap). Teguh dengan kebenaran yang diyakini, tidak terusik saat ada godaan yang menghampiri,” terang Oman.
“Tamakkun lebih tinggi dari tuma’ninah. ‘Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-Nya) itu membuatmu gelisah’,” tutup Oman mengutip QS. al-Rum: 60.