Masjid dengan Kategori Mushola

Masjid dengan Kategori Mushola di KOTA YOGYAKARTA

Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian

Tentang KOTA YOGYAKARTA

Kota Yogyakarta (bahasa Jawa: ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ, translit. Ngayogyakarta, pengucapan bahasa Jawa: , atau dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan nama Yogya atau Jogja) adalah ibu kota sekaligus pusat pemerintahan dan perekonomian dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kota ini adalah kota yang mempertahankan konsep tradisional dan budaya Jawa.

Salah satu kemantren di Yogyakarta, yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram antara kurun tahun 1575–1640. Kini, Yogyakarta menjadi tempat tinggal dua penerus Mataram, yakni Sultan Hamengkubuwana dan Adipati Paku Alam, yang berada di Keraton Ngayogyakarta dan Pura Pakualaman.

Nama Yogyakarta berasal dari dua kata, yaitu Ayogya atau Ayodhya yang berarti "kedamaian" (atau tanpa perang, a "tidak", yogya merujuk pada yodya atau yudha, yang berarti "perang"), dan Karta yang berarti "baik". Ayodhya merupakan kota yang bersejarah di India di mana wiracarita Ramayana terjadi. Tapak Keraton Yogyakarta sendiri menurut babad (misalnya Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah dalem yang bernama Dalem Garjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Susuhunan Pakubuwana II menjadi Dalem Ayogya.

Tombak Kyai Wijoyo Mukti merupakan pusaka pemberian Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tombak ini dibuat tahun 1921 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Senjata yang sering dipergunakan para prajurit ini mempunyai panjang 3 meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan dhapur kudhuping gambir ini, landeannya sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu walikun, yakni jenis kayu yang sudah lazim digunakan untuk gagang tombak dan sudah teruji kekerasan dan keliatannya.

Sebelumnya tombak ini disimpan di bangsal Pracimosono dan sebelum diserahkan terlebih dahulu dijamasi oleh KRT. Hastono Negoro, di dalem Yudonegaran. Pemberian nama Wijoyo Mukti baru dilakukan bebarapa hari menjelang upacara penyerahan ke Pemkot Yogyakarta, pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah Kota Yogyakarta tanggal 7 Juni 2000. Upacara penyerahan dilakukan di halaman Balaikota dan pusaka ini dikawal khusus oleh prajurit Kraton ”Bregodo Prajurit Mantrijero”.

Tombak Kyai Wijoyo Mukti melambangkan kondisi Wijoyo Wijayanti. Artinya, kemenangan sejati pada masa depan, di mana seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan kesenangan lahir batin karena tercapainya tingkat kesejahteraan yang benar-benar merata.

Sesuai dengan Keputusan Wali Kotamadya Yogyakarta Nomor 2 tahun 1998, pemerintah kota Yogyakarta menetapkan kelapa gading dan tekukur biasa sebagai flora dan fauna resmi kota Yogyakarta. Penetapan tersebut dilakukan dalam rangka menumbuhkan kebanggaan dan maskot daerah.

Keberadaan pohon kelapa gading begitu melekat pada kehidupan masyarakat kota Yogyakarta. Kelapa gading dikenal sebagai tanaman raja serta mempunyai nilai filosofis dan budaya yang sangat tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, mempunyai makna simbolis dan berguna sebagai obat tradisional.

Burung tekukur (Streptopelia chinensis) adalah jenis burung merpati kecil yang mempunyai paruh, berekor agak panjang, berdarah panas, dan bereproduksi dengan cara bertelur. Burung ini termasuk ke dalam genus streptopelia dari famili Columbidae.

Tekukur yang memiliki suara merdu dan tubuh yang indah diyakini mampu memberikan suasana kedamaian bagi yang mendengar. Tekukur juga menjadi kesayangan para pangeran di lingkungan keraton.

Berdirinya kota Yogyakarta tidak lepas dari Perjanjian Giyanti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel. Perjanjian tersebut berisi tentang pembagian wilayah Kesultanan Mataram, dimana wilayah Mataram bagian timur masih menjadi milik Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang kala itu dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III, dan bagian barat menjadi hak Pangeran Mangkubumi. Wilayah tersebut dibatasi oleh Sungai Opak. Pangeran Mangkubumi pun diakui menjadi Raja pada wilayah tersebut dengan Gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdul Rahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat", sebulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.

Pangeran Mangkubumi memilih wilayah Hutan Beringin (Pabringan), dimana pada wilayah tersebut terdapat sebuah desa bernama Pacethokan dan Pesanggrahan Gerjiwati (Garjitawati) yang dibuat oleh Susuhunan Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi pun mengubah nama wilayah tersebut menjadi Ayodya. Setelah perubahan nama tersebut, Pangeran Mangkubumi segera memerintahkan kepada rakyat untuk membabat hutan tersebut agar dapat didirikan keraton. Calon keraton baru tersebut terletak di suatu kawasan di antara Kali Winongo dan Kali Code. Lokasi tersebut dinilai strategis dari sisi pertanahan dan keamanan. Sebelum pembangunan keraton selesai, pemerintahan sementara dipusatkan di daerah Gamping, tepatnya di Pesanggrahan Ambarketawang.

Pada tanggal 7 Oktober 1756, bangunan keraton selesai dibangun, sekaligus menjadi tanggal pemindahan pusat pemerintahan dari Gamping ke keraton baru, yang kelak bernama Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Peristiwa pemindahan pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta tersebut diperingati sebagai hari ulang tahun Kota Yogyakarta, sampai saat ini.

Hari jadi tersebut diwujudkan pula dengan surya sengkala Dwi Naga Rasa Tunggal, yang memiliki nilai tahun 1756 Masehi. bermakna tentang kesatuan kegotong-royongan, serta kewibawaan, kesaktian, dan kesucian seorang raja atau pemimpin, dan sebagai tolak bala serta keyakinan akan keselamatan, ketenteraman, dan harapan pencapaian kemakmuran sebuah kerajaan yang dibangun, Sengkalan tersebut juga ditandai dengan adanya sengkalan memet berbentuk relief dua ekor ular naga yang kini masih ada di Regol Gadhung Mlathi Keraton Yogyakarta.

Ketika pemerintah Belanda datang menguasai Nusantara, wilayah Kesultanan Yogyakarta dijadikan keresidenan dengan ibu kota di Kabupaten Kota Kasultanan, maka dibuat kesepakatan birokrasi antara Belanda dengan Keraton. Dari keputusan tersebut, muncul Residen dan Patih untuk menjembatani birokrasi antara pihak Belanda dengan pihak Keraton. Fungsinya adalah sebagaimana kedutaan besar sekarang. Di antara keduanya, perlu menguasai bahasa Jawa dan Belanda.

Danureja I dipilih sebagai Patih pertama untuk tugas di Pemerintahan Hindia-Belanda dan J.M. van Rhijn sebagai Residen pertama untuk Yogyakarta. Posisi Residen disini setara dengan Patih, di mana ia harus mengabdi kepada raja. Residen memiliki loyalitas ganda kepada kompeni dan kepada rajanya, sebagaimana fungsi kerja Patih di Jawa. Residen Yogyakarta bertempat tinggal di Gedung Residen yang terletak di sisi barat Benteng Vredeburg, di mana kini dikenal sebagai Gedung Agung.

Kasultanan Yogyakarta diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda (termasuk pula Kabupaten Kasultanan) sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Pemerintahan tersebut diatur kontrak politik yang dilakukan pada tahun 1877, 1921, dan 1940. Selain itu, wilayah Kasultanan (yang kemudian terbagi menjadi Kasultanan dan Pakualaman pada tahun 1811) juga dimasukkan ke dalam sebuah wilayah otonomi vorstenlanden oleh Hindia Belanda, Bersama dengan Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta.

Tahun 1811, Inggris menaklukkan Hindia Belanda. Di masa ini terjadi peristiwa Geger Sepoy, di mana pasukan Inggris dibantu dengan pasukan Sepoy dari India dan beberapa pasukan dari Mangkunegaran menyerang Keraton. Hasilnya, Pada tahun 1813, wilayah Yogyakarta kembali terpecah. Kali ini, berdiri sebuah kadipaten bernama Kadipaten Pakualaman yang didirikan oleh Pangeran Notokusumo yang diangkat oleh Inggris. Notokusumo sendiri adalah adik dari Sultan Hamengkubuwana II, dan kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Ia mendapatkan tanah dari Kesultanan meliputi sebuah kemantren di dalam kota Yogyakarta, berada di antara Kali Code dan Kali Manunggal. Di tanah tersebut kemudian didirikan istana Pura Pakualaman (sekarang menjadi wilayah kemantren Pakualaman). Inggris juga mengangkat Tan Jin Sing, kapitan Tionghoa yang berasal dari Kedu, sebagai Bupati Nayaka dalam Kabupaten Kota Yogyakarta dengan gelar KRT. Secodiningrat.

Yogyakarta juga menjadi pusat perkembangan kebangkitan nasional. Berlakunya politik etis di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 memunculkan tokoh-tokoh terpelajar yang berpengaruh terhadap pergerakan nasional saat itu. Mereka menjadikan Yogyakarta sebagai basis kegiatan tersebut. Salah satunya dengan diselenggarakannya kongres nasional Boedi Oetomo yang pertama pada tanggal 3-5 Oktober 1908 di gedung sekolah Kweekschool yang terletak di sekitar Jetis (kini menjadi gedung SMA Negeri 11 Yogyakarta). Selain itu, berdiri pula organisasi Muhammadiyah yang dibentuk oleh KH Ahmad Dahlan, penghulu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1912, yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan Islam.

Pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka menempati gedung-gedung pemerintah yang semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas Kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan.

Pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang ditempatkan di Kotabaru dan di Benteng Vredeburg.

Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia pada tahun 1946 hingga 1948, dilatarbelakangi oleh situasi keamanan ibu kota Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) yang memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Alhasil, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara. Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota. Yogyakarta juga menjadi tempat terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949, serangan mempertahankan kemerdekaan yang dipimpin langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat itu.

Pada tahun 1947, terbit Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947 pasal I yang menyatakan status Kota Praja Yogyakarta. Pasal tersebut menyebutkan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tanggal ditetapkannya undang-undang ini diperingati sebagai hari jadi pemerintahan Kota Yogyakarta setiap tahunnya.

Untuk melaksanakan otonomi tersebut, pemerintah mengangkat M. Enoch sebagai wali kota pertama. Pada awalnya, wali kota mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Di era wali kota Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Yogyakarta memiliki Badan Pemerintah Harian dan Badan Legislatif yang bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang, di mana badan tersebut dipimpin pula oleh wali kota. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.

Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang tersebut mengatur pemisahan tugas Kepala Daerah dan DPRD, serta pembentukan Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian. sebutan Kota Praja Yogyakarta diganti dengan Kotamadya Yogyakarta.

pada tahun 1999, terbitlah Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, sebutan untuk Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta, sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Wali kota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.

Letak Kota Yogyakarta dilalui oleh tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Gajahwong dan Sungai Code. Sungai Winongo berada di bagian barat Kota Yogyakarta, sedangkan Sungai Gajahwong berada di bagian timur. Sementara Sungai Code berada di tengah Kota Yogyakarta. Keberadaan Sungai Code membelah Kota Yogyakarta menjadi dua bagian. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur persimpangan Bandung–Semarang–Surabaya–Pacitan. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m dpl.

Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta.

Sejak awal berdirinya, Yogyakarta telah memiliki penataan kota yang cukup baik. Arah perkembangan kota didasarkan pada Garis Imajiner Yogyakarta, yang membentang dari arah utara menuju ke selatan, satu garis lurus dengan keraton. Disini dibangun beberapa fasilitas umum seperti pasar, kantor pemerintahan, dan perkampungan abdi dalem yang dibedakan menjadi perkampungan jeron beteng (di dalam benteng baluwarti) dan jaba beteng (di luar benteng baluwarti).

Kedatangan Belanda di Yogyakarta turut mewarnai penataan kota. Belanda membangun Benteng Rustenburg di sisi timur laut keraton pada 1767 (kemudian dikenal dengan Benteng Vredeburg), dilanjutkan dengan membangun beberapa fasilitas seperti gedung Nederlandsch-Indische Levensverzekeringen en Lijfrente Maatschappij atau NILLMIJ (kini menjadi gedung Bank BNI), gedung Post, Telegraaf en Telefoonkantoor (kini menjadi Kantor Pos Besar Yogyakarta), gedung De Javasche Bank (kini menjadi gedung Bank Indonesia Yogyakarta), dan Gedung Residen Yogyakarta (kini menjadi Istana Kepresidenan Gedung Agung) di sekitar garis imajiner tersebut.

Belanda juga mengatur beberapa pemukiman untuk masyarakat non-pribumi pada masa itu. Etnis Eropa tinggal di wilayah bernama loji kecil dan Bintaran yang terletak di sebelah timur benteng. Etnis Cina tinggal di kampung Ketandan yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono III. Perkampungan Ketandan terletak di sisi utara Pasar Besar (Pasar Beringharjo). Sedangkan etnis Arab tinggal di kampung Sayidan yang terletak di barat Sungai Code, di dekat Gondomanan. Berkembangnya penduduk etnis Eropa di Yogyakarta membuat Belanda kembali membangun kawasan permukiman Eropa atas izin Sri Sultan Hamengkubuwono VII di timur Sungai Code, dekat Gondolayu. Pembangunan dimulai pada tahun 1917 dan selesai pada tahun 1922, di mana wilayah tersebut diberi nama Nieuwe Wijk. Pembangunan kawasan ini mengusung konsep kota taman (garden city) seperti halnya kawasan Menteng di Jakarta. Pada masa sekarang, kawasan tersebut menjadi wilayah dari kelurahan Kotabaru di kemantren Gondokusuman, serta menjadi kawasan cagar budaya.

Kini, segala perencanaan penataan ruang kota dituangkan dalam Rencana Strategis yang disusun oleh Dinas Pertanahan dan Tata Ruang kota. Biasanya rencana-rencana strategis ini disusun untuk tiga bahkan lima tahun.

Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Meski begitu, Pemerintah kota Yogyakarta tetap membangun beberapa gapura batas kota dan memasang papan penanda batas wilayah kota Yogyakarta di perbatasan. Terdapat dua gapura kota Yogyakarta, yakni di Jalan Magelang (sisi utara) dan Jalan Adisutjipto (sisi timur). Sedangkan di beberapa titik perbatasan dipasang papan penanda bertuliskan "Batas Wilayah Kota Yogyakarta", serta lampu berbentuk wayang dengan tulisan "Jogja Berhati Nyaman".

Kota Yogyakarta memiliki iklim yang sama dengan wilayah lain di Indonesia yaitu beriklim tropis, dengan tipe iklim muson tropis (Am). Angin muson timur–tenggara yang bersifat kering dan dingin menyebabkan musim kemarau di wilayah Kota Yogyakarta dan angin muson ini berlangsung pada periode Mei hingga Oktober. Sementara itu, angin muson barat–barat daya yang bersifat lembap dan membawa banyak uap air menyebabkan musim penghujan di wilayah Kota Yogyakarta dan angin muson ini bertiup pada periode November hingga April. Rata-rata curah hujan di wilayah Kota Yogyakarta adalah ±2012 milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan berkisar antara 100–150 hari hujan per tahunnya. Tingkat kelembapan rata-rata per tahun di wilayah ini adalah ±77%.

Wali Kota Yogyakarta (bahasa Jawa: ꦮꦭꦶꦏꦸꦛꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ, translit. Walikutha Ngayogyakarta) adalah pemimpin tertinggi di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Wali kota Yogyakarta bertanggungjawab kepada Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saat ini, wali kota atau kepala daerah yang menjabat di kota Yogyakarta adalah Singgih Raharjo, yang ditunjuk menjadi pelaksana tugas wali kota Yogyakarta sejak 22 Mei 2023, menggantikan penjabat wali kota sebelumnya, Sumadi. Sedangkan jabatan wakil wali kota dikosongkan hingga Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.

Yogyakarta menjadi salah satu kota pertama di Indonesia yang menyelenggarakan pemilihan umum untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat kotapraja. Pemilihan umum tersebut berlangsung sejak 16 Juli hingga 24 Desember 1951.

Kota Yogyakarta memiliki 14 Kemantren dan 45 Kelurahan. Pada tahun 2017, jumlah penduduk mencapai 410.262 jiwa yang tersebar di wilayah seluas 32,50 km² dengan tingkat kepadatan penduduk 12.623 jiwa/km².

Kota Yogyakarta mengandalkan sektor industri, perdagangan, dan jasa, khususnya dalam bidang pariwisata. Seiring dengan pesatnya perkembangan Kota Yogyakarta, perubahan struktur perekonomian menjadi hal yang alami. Beberapa sektor ekonomi terus meningkat kontribusinya terhadap perekonomian daerah dan sektor-sektor lain terlihat mengalami penurunan kontribusi terhadap perekonomian daerah.

Yogyakarta memiliki beberapa sentra industri menengah, kebanyakan dari mereka memproduksi barang yang masih ada kaitannya dengan kebudayaan Yogyakarta. Seperti industri pembuatan blangkon gaya Yogyakarta di Mantrijeron, industri perak di Kotagede, dan industri batik gaya Yogyakarta di Ngasem. Meski begitu, Yogyakarta juga memiliki sentra industri modern, seperti CV Karya Hidup Sentosa produsen alat-alat pertanian, yang memiliki pabrik di Jalan Magelang, Kelurahan Karangwaru, Kemantren Tegalrejo.

Di sektor perdagangan, Yogyakarta memiliki beberapa pasar tradisional yang tersebar di beberapa kemantren, dengan Pasar Beringharjo sebagai pasar terbesar. Beberapa pasar besar lainnya, seperti Pasar Kranggan, Pasar Legi Kotagede, Pasar Sentul, dan Pasar Giwangan. Pasar tradisional di Yogyakarta tidak hanya menjual bahan pokok, melainkan juga menjual beberapa barang bekas atau barang antik. Salah satu pasar barang bekas dan antik di Yogyakarta adalah Pasar Klithikan Pakuncen yang terletak di Kelurahan Pakuncen, Wirobrajan.

Selain itu terdapat pula kawasan-kawasan perdagangan di Kawasan Malioboro dan Jalan Urip Sumoharjo. Sedangkan pasar modern yang berdiri di Kota Yogyakarta antara lain Plaza Malioboro, Galeria Mall, Lippo Plaza Jogja, Ramai Mall, Ramayana, Gardena, Toko Progo, dan Mirota Kampus.

Pesatnya perkembangan pariwisata membuat kota Yogyakarta memiliki banyak hotel, losmen dan home stay. Peningkatan pembangunan hotel di Yogyakarta mulai berlangsung sejak era 2010-an. Biasanya pembangunan hotel di Yogyakarta berfokus di kawasan-kawasan wisata, seperti Malioboro, Pasar Kembang, dan Prawirotaman. Beberapa hotel yang berada di kota Yogyakarta, antara lain Hotel Tentrem Yogyakarta (bintang 5, Jetis), Hotel Meliá Purosani Yogyakarta (bintang 5, Suryatmajan), Hotel Grand Inna Malioboro (bintang 4, Malioboro), Hotel Phoenix Yogyakarta (bintang 4, Jalan Jenderal Sudirman), KHAS Hotel Tugu Yogyakarta (bintang 3, Jalan Pangeran Diponegoro) dan lain sebagainya.

Jumlah penduduk Kota Yogyakarta, berdasar Sensus Penduduk 2010 berjumlah 388.088 jiwa, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang hampir setara. Sementara pada pertengahan tahun 2024, jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 415.021 jiwa.

Jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, kota Yogyakarta menjadi kota terpadat ke-6 di Indonesia, dengan luas wilayah terkecil ke-6, dan populasi terbanyak ke-38 dari 93 kota otonom dan 5 kota administratif di Indonesia.

Kepadatan penduduk tertinggi di kota Yogyakarta terdapat di Kemantren Ngampilan dengan kepadatan 18.729 jiwa/km², sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di Kemantren Umbulharjo dengan kepadatan 8.395 jiwa/km².

Yogyakarta memiliki wilayah penyangga urban bernama Kartamantul, yang merupakan akronim dari Yogyakarta, Sleman, dan Bantul dengan wilayah utama berada di Kapanewon Depok, Mlati, Gamping dan Ngaglik di Kabupaten Sleman dan Kapanewon Sewon, Banguntapan dan Kasihan di Kabupaten Bantul. Dengan luas wilayah 1.114,15 km², wilayah metropolitan Yogyakarta memiliki total jumlah penduduk lebih dari 2.4 juta jiwa.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Surat Keputusan Gubernur No.163/KEP/2017 menyatakan pembentukan sekretariat bersama Kartamantul, dengan tujuan untuk mempermudah sinergi kerjasama antar ketiga wilayah dalam hal sampah, pengolahan limbah, drainase, jalan, transportasi, dan air bersih.

Islam adalah agama mayoritas yang dianut masyarakat Kota Yogyakarta yakni sebanyak 83,71%, dengan jumlah penganut Kristen yang relatif signifikan yakni 15,91% (Katolik 9,68% dan Protestan 6,23%). Sebagian kecil lagi adalah pemeluk agama Buddha yakni 0,26%, kemudian Hindu 0,11% dan Konghucu 0,01%.

Sejak awal berdirinya, Yogyakarta sudah menjadi kota majemuk yang dihuni oleh beberapa etnis dan agama. Tercatat beberapa tempat ibadah yang sudah berdiri sejak dahulu, seperti Masjid Gede Kauman, Masjid Syuhada, Masjid Mataram Kotagede, Gereja HKBP, Gereja Kotabaru, Kelenteng Tjen Ling Kiong, dan Kelenteng Fuk Ling Miau.

Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta.

Menurut Badan Bahasa, bahasa Jawa dialek Jogja-Surakarta merupakan bahasa daerah yang dituturkan mayoritas penduduk Kota Yogyakarta. Menurut Statistik Kebahasaan 2019, bahasa ini menjadi satu-satunya bahasa daerah asli Kota Yogyakarta. Bahasa resmi instansi pemerintahan di Kota Yogyakarta adalah bahasa Indonesia.

Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021 menetapkan Bahasa Jawa menjadi bahasa resmi Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk Kota Yogyakarta.

Kota Yogyakarta menjadi salah satu pusat pelestarian Budaya Jawa, khususnya gaya Yogyakarta. Budaya Jawa gaya Yogyakarta memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan gaya kebudayaan Jawa di daerah lainnya. Hal ini dikarenakan keberadaan Kesultanan Yogyakarta yang memilih untuk mempertahankan budaya Jawa murni yang telah ada sejak masa Kesultanan Mataram pada Perjanjian Jatisari.

Tarian khas Yogyakarta berkembang dari dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman, di mana kedua keraton memiliki beberapa tarian Srimpi dan Bedaya sesuai dengan pakem masing-masing. Salah satu tarian yang dikenal oleh masyarakat adalah tari Beksan Lawung Ageng. Beksan Lawung Ageng adalah salah satu tarian pusaka Keraton Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, dan biasanya dipentaskan pada ritual kenegaraan. Tarian ini menggambarkan adu ketangkasan prajurit bertombak.

Batik gaya Yogyakarta memiliki ciri khas pada warna dasaran atau latar belakang putih atau hitam. Batik Yogyakarta juga dapat dilihat dari seret atau bagian putih di pinggir kain batik . Adapun motif batik yang berkembang di Yogyakarta, seperti motif Parang dan Kawung.

Surjan adalah salah satu pakaian adat Yogyakarta yang dikenakan untuk kegiatan sehari-hari. Masyarakat Yogyakarta biasanya melengkapi pakaian Surjan dengan mengenakan penutup kepala yang disebut Blangkon.

Blangkon gaya Yogyakarta memiliki ciri khas berupa mondolan (tonjolan di belakang) yang membulat. Mondolan tersebut pada awalnya adalah rambut masyarakat yang digulung ke dalam, mengingat pada saat itu masyarakat sekitar Keraton Yogyakarta masih memanjangkan rambutnya.

Perayaan dan upacara adat di kota Yogyakarta biasanya diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Beberapa perayaan tersebut antara lain:

Sekaten adalah pergelaran rangkaian kegiatan tahunan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta. Rangkaian perayaan secara resmi berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan Jawa (dapat disetarakan dengan Rabiul Awal penanggalan Hijriah). Biasanya pergelaran ini dimeriahkan dengan pasar malam, dan dimainkannya gamelan pusaka (miyos gongso) di halaman Masjid Agung.

Mubeng Beteng atau Tapa Bisu adalah tradisi yang dilakukan oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta dan masyarakat dalam menyambut tahun baru Hijriyah. Tradisi ini dilakukan dalam bentuk jalan kaki bersama mengitari Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta pada malam hari sambil membisu sebagai sarana merefleksikan diri dalam keheningan.

Tradisi mubeng beteng diilhami dari tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram yang saat itu beribukota di Kotagede membangun benteng mengelilingi kerajaan atau keraton yang kemudian selesai pada tanggal 1 Suro 1580 Masehi. Setelah itu para prajurit rutin mengelilingi benteng untuk menjaga dari ancaman musuh. Setelah dibangunnya parit, tugas berkeliling digantikan oleh abdi dalem agar tidak terkesan seperti militer. Para abdi berkeliling dengan membisu sambil membacakan doa-doa dalam hati agar mereka diberi keselamatan.

Biasanya tradisi ini diawali pada pukul 20.00 dengan serangkaian acara seperti tahlilan, pembagian makanan berkah, tembangan macapat hingga prosesi mubeng beteng dilakukan tepat pukul 00.00 WIB.

Grebeg atau Garebeg merupakan tradisi yang rutin diselenggarakan oleh masyarakat Jawa untuk memperingati peristiwa penting. Dalam acara grebeg, biasanya dilakukan pembagian gunungan sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa.

Di Yogyakarta, grebeg dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam setahun, yakni pada bulan Rabiul Awal (Maulud), Syawal, dan Dzulhijjah (Besar). pembagian gunungan bertempat di tiga titik, seperti Masjid Gedhe Kauman, Kepatihan, dan Pura Pakualaman.

Upacara ini diselenggarakan oleh Kadipaten Pakualaman, yang menandai pergantian penjaga Pura Pakualaman. Pura Pakualaman memiliki dua bregada yang masing-masing saling bergiliran pada hari sabtu kliwon setiap bulannya.

Sebelumnya upacara ini dilakukan tertutup di kalangan intern Pakualaman, namun saat ini Kadipaten Pakualaman membuat upacara tersebut dapat dinikmati oleh kalangan umum dengan tujuan mendekatkan Pura Pakualaman kepada masyarakat.

Yogyakarta memiliki garis imajiner khusus yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Laut Selatan, di mana hubungan antar ketiga tempat tersebut ditandai dengan Tugu Yogyakarta di bagian utara dan Panggung Krapyak di bagian selatan. Garis imajiner ini menjadi ciri khas Kota Yogyakarta dibandingkan wilayah lain, sekaligus menjadi titik awal perkembangan perkotaan Yogyakarta, di mana Keraton membangun beberapa fasilitas fisik di ruas ini seperti Pasar Beringharjo, Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, dan Masjid Gedhe Kauman.

Garis imajiner tersebut dirancang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I ketika membangun Keraton di antara Sungai Code dan Sungai Winongo. Garis imajiner memiliki filosofi tentang hubungan manusia kepada Sang Pencipta. Laut Selatan yang merupakan titik terendah dan Gunung Merapi yang lebih tinggi melambangkan sikap manusia yang semakin dekat dengan Sang Pencipta seiring berjalannya waktu.

Kota Yogyakarta menjadi inspirasi bagi Ismail Marzuki untuk menciptakan lagu Sepasang Mata Bola pada tahun 1946. Lagu tersebut mencitrakan suasana senja di Stasiun Yogyakarta. Ada pula lagu Yogyakarta, lagu yang diciptakan oleh Katon Bagaskara pada tahun 1990 dalam album Kedua. Lagu tersebut mencitrakan suasana Yogyakarta yang hangat dan ramah.

Beberapa film yang mengangkat tema Yogyakarta antara lain Jagad X Code (2009), Sang Pencerah (2010).

Pariwisata merupakan salah satu sektor penting di Kota Yogyakarta. Sejak dahulu, Kota Yogyakarta menjadi salah satu tujuan wisata utama di Indonesia dan menjadi andalan pariwisata Indonesia, bersama dengan Bali. Pada Januari 2022, tercatat 780.000 wisatawan berkunjung ke Kota Yogyakarta.

Posisi Kota Yogyakarta sebagai ibu kota Kesultanan Yogyakarta menjadikan kota ini memiliki banyak tempat bersejarah yang menjadi objek wisata seperti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Taman Sari, Malioboro, Alun-alun Selatan, Situs Warungboto, Pura Pakualaman, Benteng Vredeburg, Kawasan Kotabaru, Keraton Kotagede dan lain sebagainya. Yogyakarta juga memiliki beberapa objek wisata edukasi, seperti Taman Pintar, Museum Sonobudoyo, Museum Biologi, Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman, Museum Perjuangan, dan lain sebagainya.

Yogyakarta juga memiliki kebun binatang bernama Kebun Binatang Gembira Loka, yang menjadi sentra wisata edukasi keanekaragaman hayati. Kebun binatang ini memiliki beberapa jenis hewan dan tumbuhan dari berbagai belahan dunia.

Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pariwisata juga memberdayakan beberapa kampung wisata di setiap kemantren di wilayah Kota Yogyakarta. Bahkan, tiap kampung wisata memiliki identitas yang berbeda-beda, seperti kampung wisata di Kelurahan Tahunan yang berfokus kepada wisata industri kreatif, kampung wisata Dipowinatan yang berfokus kepada wisata kebudayaan, dan kampung wisata Kauman yang berfokus pada wisata religi dan sejarah.

Sebagai kota pariwisata dan kebudayaan, Yogyakarta memiliki banyak pergelaran festival guna menarik wisatawan, sekaligus menjadi agenda rutin setiap tahunnya. Pergelaran yang rutin digelar di Kota Yogyakarta, seperti :

Pasar Kangen Yogyakarta adalah agenda rutin tahunan yang digelar oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival ini diselenggarakan sejak tahun 2007 yang dikemas dengan nuansa klasik tempo dahulu.

Jogja Night Carnival merupakan agenda rutin tahunan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun Kota Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober. Biasanya pergelaran ini menyajikan aksi karnaval jalanan yang menampilkan tokoh-tokoh wayang dikombinasikan dengan lakon pewayangan dibalut dalam seni koreografi, busana serta musik kontemporer.

Pergelaran selasa wagen rutin diselenggarakan setiap hari selasa wage dalam penanggalan Jawa di kawasan Malioboro, di mana kawasan Malioboro dijadikan sebagai kawasan bebas kendaraan bermotor mulai dari jam 06.00 pagi hingga jam 21.00 malam. Selama waktu tersebut, diselenggarakan beberapa pementasan kebudayaan Yogyakarta. Dalam mitos Jawa, selasa wage adalah hari di mana manusia beristirahat dari aktivitas sehari-hari. Selasa wage juga menjadi hari Wiyos Dalem atau hari kelahiran Sultan Hamengkubuwana X, raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini.

Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Juni atau Juli setiap tahunnya. Festival ini diselenggarakan sejak tahun 1989, dan melibatkan seluruh kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk kota Yogyakarta.

Di kota Yogyakarta, acara berpusat di Benteng Vredeburg, Jalan Malioboro, Taman Budaya Yogyakarta, Monumen Serangan Umum 1 Maret dan kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

Festival Kotagede rutin diselenggarakan sejak tahun 1999, dan diadakan untuk pengembangan seni budaya, peningkatan ekonomi masyarakat setempat, dan peningkatan pariwisata yang ada di daerah Kotagede. Festival ini diadakan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan melibatkan dua wilayah yang termasuk dalam kawasan cagar budaya Kotagede, yakni Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.

Yogyakarta juga memiliki beberapa kawasan khusus untuk wisata pejalan kaki. Penataan kawasan wisata khusus pejalan kaki dimulai di jalan Malioboro pada tahun 2016 hingga 2018, kemudian dilanjutkan dengan penataan kawasan khusus pejalan kaki di sekitar Kotabaru dan Jalan Jenderal Sudirman pada 2019 hingga 2021.

Yogyakarta dijuluki sebagai kota perjuangan, karena beberapa peristiwa perjuangan pergerakan nasional Indonesia terjadi di kota ini, seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Pertempuran Kotabaru.

Hampir 20% penduduk produktif kota Yogyakarta adalah pelajar, dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini juga diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Gudeg adalah makanan khas berbahan nangka muda dari Kota Yogyakarta. Gudeg asli Yogyakarta memiliki citarasa khas berupa rasa manis dan bertekstur kering.

Yogyakarta dijuluki kota wisata karena tingginya angka jumlah wisatawan dari tahun ke tahun, serta memiliki banyak tempat wisata menarik dari sisi sejarah, budaya, dan pendidikan.

Kota Yogyakarta dikenal dengan biaya hidupnya yang murah dibandingkan dengan kota lain di Indonesia.

Berhati Nyaman adalah slogan resmi Kota Yogyakarta, yang berasal dari akronim kata BERsih, seHAT, Indah dan NYAMAN.

Kota Yogyakarta juga terkenal dengan wisata malam angkringan dan kedai kopi, tercatat ribuan kedai kopi ada di kota ini, jumlahnya paling padat se-Indonesia, valuasi nya pun mencapai ratusan milyar per tahun.

Masyarakat Yogyakarta memiliki tradisi pawon anget, yang secara harfiah berarti “dapur hangat”. Filosofi dari tradisi tersebut adalah, kebersamaan di rumah menikmati apa yang ada amat diutamakan. Seorang istri dan ibu tertuntut untuk memasak lebih dari satu menu demi dapat berhimpunnya seluruh anggota keluarga di meja makan.

Tradisi ini merupakan perlawanan halus Sultan Hamengkubuwana I terhadap VOC setelah Perjanjian Giyanti. Dari tradisi pawon anget inilah, muncul beberapa kuliner khas Yogyakarta yang ada hingga saat ini. Salah satu kuliner yang sudah akrab di masyarakat umum adalah Gudeg, sajian dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Gudeg biasanya dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tempe, tahu dan sambal goreng krecek. Di Kota Yogyakarta, gudeg dapat dijumpai di setiap sudut kota. Salah satu sentra kuliner gudeg di Yogyakarta adalah Jalan Wijilan, yang masih berada di dalam komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ada pula Brongkos, makanan berupa sayur kuah hitam berkat keluak yang berisi daging sapi, kacang beras (tolo), tahu, dan tempe, dan Bakpia, kue yang dibuat dari gulungan tepung panggang dengan berbagai isi. Di Kota Yogyakarta, sentra kuliner bakpia terletak di wilayah pasar Pathuk dan Jalan KS Tubun, Kemantren Ngampilan.

Makanan khas Kota Yogyakarta yang lainnya, seperti Nasi kucing (nasi porsi kecil dengan sambal, ikan, dan tempe, lalu dibungkus daun pisang), Sate Kere (sate yang dibuat dari gajih sapi), dan lain sebagainya.

Sementara minuman yang berasal dari Yogyakarta antara lain Kopi Joss (kopi hitam yang dicampur dengan arang), Wedang Ronde (minuman yang disajikan dengan bola-bola dari tepung ketan), dan lain sebagainya.

Angkringan adalah sebuah gerobak dorong untuk menjual berbagai macam makanan dan minuman dengan harga yang sangat terjangkau.

Di Kota Yogyakarta, angkringan dapat ditemui dengan mudah. Biasanya pedagang angkringan akan membuka dagangannya pada sore hari, dan tutup menjelang dini hari.

Kota Yogyakarta sangat strategis karena merupakan pertemuan antara jalur tengah–selatan Jawa dan Semarang–Yogyakarta. Oleh karena itu, angkutan di Yogyakarta cukup memadai untuk memudahkan mobilitas antara kota-kota tersebut. Kota ini mudah dicapai oleh transportasi darat dan udara, sedangkan karena lokasinya yang cukup jauh dari laut (27–30 KM) menyebabkan tiadanya transportasi air di kota ini.

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang tidak mengenal istilah angkutan kota (seperti angkot dengan armada minibus). Transportasi darat di dalam Yogyakarta dilayani oleh sejumlah bus kota. Kota Yogyakarta dahulu memiliki sejumlah jalur bus yang dioperasikan oleh koperasi masing-masing (antara lain Aspada, Kobutri, Kopata dan Puskopkar) yang melayani rute-rute tertentu.

Saat ini keberadaan bus kota di Yogyakarta semakin terbatas, hal tersebut dikarenakan terdapat beberapa permasalahan dalam operasional bus tersebut. Selain itu, diluncurkannya Trans Jogja yang lebih cepat dan nyaman juga menjadi titik awal dari pembatasan bus-bus tersebut.

Sejak Maret 2008, sistem transportasi bus yang baru, bernama Trans Jogja hadir melayani sebagai transportasi massal yang cepat, aman dan nyaman. Trans Jogja merupakan bus 3/4 yang melayani berbagai kawasan di Kota, Sleman dan sebagian Bantul. Hingga saat ini (Tahun 2024), telah ada 22 (dua puluh dua) trayek yang melayani berbagai sarana vital di Yogyakarta, yaitu:

Ada pula tiga jaringan trayek yang dikelola oleh kolaborasi PT Anindya Mitra Internasional dan PT Jogja Tugu Trans bersama dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia melalui jaringan Teman Bus, yaitu:

Trans Jogja sangat diminati selain karena aman dan nyaman, tarif yang saat ini diterapkan juga terjangkau, yaitu Rp 3.600,- untuk sekali jalan, dengan dua sistem tiket: sekali jalan dan berlangganan. Bagi tiket berlangganan, dikenakan tarif tetap Rp 50,- untuk pelajar dan potongan 15% untuk umum.

Taksi mudah dijumpai di berbagai ruas jalan di Yogyakarta, terutama di ruas protokol dan kawasan pusat ekonomi dan wisata. Ada berbagai perusahaan taksi yang melayani angkutan ini, dari yang berupa sedan hingga minibus.

Meski populasinya kian menyusut, becak masih dijadikan alat transportasi andalan di Yogyakarta. Kebanyakan dari mereka dapat ditemui di pusat kota dan kawasan-kawasan wisata.

Saat ini mayoritas becak di Yogyakarta merupakan becak bermesin atau biasa disebut dengan "bentor" oleh masyarakat sekitar. Meski begitu masih terdapat pula beberapa becak kayuh khas Yogyakarta.

Andong adalah salah satu transportasi tradisional beroda empat yang ditarik oleh kuda. Di masa Sultan Hamengkubuwono VII, andong menjadi kendaraan prestisius di mana hanya kalangan elite dan kerabat keraton saja yang boleh menaiki kendaraan ini. Namun pada masa Sultan Hamengkubuwono VIII, andong mulai digunakan oleh masyarakat umum.

Di masa kini, keberadaan andong dapat ditemui di kawasan-kawasan wisata seperti Malioboro, Keraton Yogyakarta, atau Pasar Ngasem. Keunikan andong Yogyakarta adalah sang kusir yang menggunakan pakaian adat jawa.

Bus antarkota tersedia dari dan ke semua kota di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, datang dan berangkat dari Terminal Bus Tipe A Giwangan, yang berada di Jalan Imogiri Timur, Giwangan, berada di tepi Jalan Lingkar Luar Selatan Yogyakarta, di batas wilayah antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul.

Kota Yogyakarta merupakan pusat dari Daerah Operasi VI Yogyakarta, wilayah kerja PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang menaungi perkeretaapian di Daerah Istimewa Yogyakarta, Solo Raya, dan sebagian Purworejo. Kota Yogyakarta dilewati oleh jalur kereta api Kutoarjo–Purwosari–Solo Balapan/lintas selatan dan tengah Jawa. Jalur kereta api yang melewati Kota Yogyakarta telah terelektrifikasi listrik aliran atas sebesar 1.500 V DC, mulai dari Stasiun Yogyakarta hingga Stasiun Palur. Layanan kereta api antarkota maupun aglomerasi di kota ini melayani berbagai tujuan di Pulau Jawa yang menghubungkan Yogyakarta dengan Bandung, Surabaya, serta Malang di jalur selatan Jawa, sedangkan jalur tengah Jawa menghubungkan Yogyakarta dengan Cirebon, Jakarta, dan kereta api aglomerasi yang menghubungkan Yogyakarta dengan berbagai kota di Jawa Tengah. Terdapat sebanyak kurang lebih 33 kereta api antarkota dan aglomerasi yang melintasi Kota Yogyakarta (dengan sebanyak 112 dari total jadwal perjalanan perharinya).

Terdapat 2 stasiun besar di Kota Yogyakarta, yaitu Stasiun Yogyakarta (dikenal sebagai Stasiun Tugu) di Kemantren Gedongtengen merupakan stasiun utama di Daerah Istimewa Yogyakarta, melayani kereta api antarkota lintas selatan beserta tengah Jawa serta aglomerasi di Jawa Tengah–DIY seperti kelas eksekutif dan campuran; sedangkan Stasiun Lempuyangan di Kemantren Danurejan melayani sebagian kereta api antarkota campuran beserta kereta api ekonomi di jalur selatan dan tengah Jawa. Tersedia layanan kereta api lokal yang menghubungkan Kutoarjo dengan Yogyakarta, nama kereta api tersebut bernama Commuter Line Prambanan Ekspres serta untuk penghubung Solo Raya dengan Yogyakarta tersedia Commuter Line Yogyakarta, layanan KRL komuter menggantikan KA Prameks relasi Yogyakarta-Solo Balapan dan dikelola oleh KAI Commuter. Selain itu, tersedia pula KA Bandara YIA, layanan kereta api bagi masyarakat yang ingin bepergian menuju Bandar Udara Internasional Yogyakarta, dengan tujuan akhir Stasiun Yogyakarta International Airport.

Yogyakarta juga memiliki beberapa jalur kereta api menuju Stasiun Palbapang, Stasiun Pundong dan Stasiun Magelang Kota bersambung ke Stasiun Ambarawa yang sudah dinonaktifan sejak dekade 1970-an. Salah satu peninggalan jalur kereta api nonaktif di kota Yogyakarta yang masih bisa disaksikan hingga saat ini adalah Stasiun Ngabean yang terletak di komplek Taman Parkir Wisata Ngabean.

Transportasi udara dari dan ke seluruh wilayah DI Yogyakarta sekarang utamanya dilayani oleh Bandara Internasional Yogyakarta atau Yogyakarta International Airport (YIA) terletak di kapanéwon Temon, kabupaten Kulon Progo. Bandara ini merupakan pintu gerbang utama bagi wilayah udara Daerah Istimewa Yogyakarta yang melayani penerbangan domestik maupun internasional menuju Kota Yogyakarta.

Sedangkan Bandara Adisutjipto yang terletak di Kalurahan Maguwoharjo, Kapanéwon Depok, Kabupaten Sleman masih difungsikan untuk penerbangan jarak pendek menuju Halim Perdana Kusuma Jakarta, Husein Sastranegara Bandung, dan Juanda Surabaya.

Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada tahun ajaran 2022/2023 mencatat 109.217 siswa dan 840 sekolah di Yogyakarta, dengan perincian 210 KB, 221 TK dan RA, 165 SD dan MI, 58 SMP dan MTs, 42 SMA dan MA, 30 SMK, 9 SLB, 36 TPA, 18 PKBM, 182 SPS, serta 1 Sanggar Kegiatan Belajar.

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar. selain itu, 45 dari 137 perguruan tinggi di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di kota ini. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta yang secara administratif berada di wilayah Sleman dan Bantul.

Beberapa perguruan tinggi lainnya seperti Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Universitas Janabadra, Universitas Teknologi Yogyakarta, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Universitas Widya Mataram, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Sanata Dharma, Universitas Terbuka, Institut Sains & Teknologi AKPRIND, Politeknik LPP Yogyakarta, Akademi Keperawatan Bethesda Yogyakarta, Akademi Angkatan Udara, dan lainnya.

Yogyakarta memiliki beberapa fasilitas penunjang dalam bidang keolahragaan. Stadion Kridosono merupakan stadion tertua di kota Yogyakarta yang dibangun pada masa kolonial, bersama dengan Kotabaru. Selain stadion Kridosono, terdapat pula Stadion Mandala Krida yang kini menjadi stadion utama. Stadion ini digunakan untuk menggelar pertandingan sepak bola pada umumnya, serta beberapa acara seperti drag race dan Sholat Ied. Stadion Mandala Krida memiliki fasilitas yang cukup lengkap setelah renovasi besar-besaran pada 2013 hingga 2019, di mana terdapat penambahan sejumlah fasilitas di komplek stadion, antara lain untuk olahraga panjat tebing, bola voli pasir, sepatu roda, tenis lapangan, balap motor, dan panahan.

Tak jauh dari stadion Mandala Krida, tepat di bagian tenggara stadion terdapat GOR Among Rogo, gedung olahraga serbaguna yang sering pula digunakan untuk beberapa kejuaraan olahraga basket dan bulu tangkis.

Yogyakarta menjadi cikal bakal Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, organisasi keolahragaan yang mengelola sepak bola di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh Soeratin Sosrosoegondo pada tanggal 19 April 1930 dengan nama awal Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia, di sebuah bangunan yang kini menjadi Monumen Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.

PSIM Yogyakarta didirikan pada 5 September 1929. Nama "Mataram" digunakan karena Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan kesultanan Mataram (keraton Ngayogyakarta Hadiningrat).

PSIM menjadikan Stadion Mandala Krida sebagai kandang utama. Saat ini, PSIM bertanding di Liga 2 Indonesia bagian tengah.

Berita dari Masjid

Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.