Masjid dengan Kategori Masjid di Mall/Pasar
Masjid dengan Kategori Masjid di Mall/Pasar di KAB. KUNINGAN
Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian
Tentang KAB. KUNINGAN
Kabupaten Kuningan (Aksara Sunda: ᮊᮥᮔᮤᮍᮔ᮪) adalah sebuah wilayah kabupaten yang terletak di bagian ujung timur Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini berada di Kecamatan Kuningan. Kabupaten ini berjarak 140 km dari Kota Bandung, 43 km dari Kota Cirebon, dan 225 km dari DKI Jakarta, kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Cirebon di utara, Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) di selatan, dan Kabupaten Majalengka di barat. Kabupaten ini dikenal karena merupakan merupakan tempat dilaksanakannya Perundingan Linggajati. Di Kecamatan Cigugur, beberapa warga merupakan penganut penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.
Kabupaten Kuningan juga merupakan salah satu pintu gerbang masuk Provinsi Jawa Barat dari sebelah timur, bersama dengan Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cirebon, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran.
Kabupaten Kuningan dikenal dengan julukan sebagai "Kota Kuda". Kuda merupakan ikon dari kabupaten ini dan dianggap merupakan hewan perwujudan dari Si Windu. Kuda gesit tersebut milik keluarga Arya Kamuning, seorang pemimpin wilayah ini pada zaman Kesultanan Cirebon dan Pajang.
Terdapat beberapa hipotesis mengenai asal-usul nama Kuningan. Pertama, menurut sejarawan Edi Suhardi Ekajati, nama "Kuningan" berasal dari nama logam paduan dengan nama yang sama. Kuningan merupakan logam campuran antara tembaga, timah, dan perak, yang kemudian disepuh sehingga mengkilat seperti emas.
Ekajati menyebut bahwa ditemukan patung dan alat keperluan rumah tangga terbuat dari kuningan di Jalaksana, tepatnya di Desa Sangkanherang. Patung itu berasal dari zaman Megalitikum. Patung ini menjadi incaran bagi kaum menak semenjak ditemukan pada tahun 1914 hingga 1950-an.
Ekajati mencocokkan etimologi tersebut dengan dua cerita yang berkaitan dengan bokor kuning. Dalam kisah Ciung Wanara, ada sebuah bokor terbuat dari kuningan. Bokor itu digunakan oleh Raja Galuh untuk menguji seorang pendeta bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Ajar Sukaresi diminta Sang Raja untuk menaksir apakah Permaisurinya hamil atau tidak, dengan memasang bokor kuningan itu di perutnya. Pendeta yang sudah mengetahui rencana jahat sang Raja kemudian menaksir bahwa perut sang Permaisuri telah hamil. Raja pun berhasil mengelabui Pendeta dan sang Pendeta pun dijatuhi hukuman mati. Tak lama kemudian sang Permaisuri pun benar-benar hamil. Dengan gelap mata, Sang Raja ini marah dan menendang bokor kuningan, kuali, dan penjara besi yang berada di dekatnya. Bokor itu pun jatuh di daerah yang bernama Kuningan, sedangkan kuali di Kawali (Kabupaten Ciamis), dan penjara besi bernama Kandangwesi di Garut selatan.
Dalam naskah Babad Cirebon dan juga tradisi lisan masyarakat Kuningan, bokor kuningan digunakan untuk menguji Sunan Gunung Jati, salah seorang wali. Hal yang membedakan adalah waktu dan tempatnya serta tujuan dan akibatnya, tanpa adanya penendangan bokor. Secara latar tempat dan waktunya, Ciung Wanara terjadi pada zaman Hindu-Buddha di wilayah Bojong Galuh, sedangkan Babad Cirebon dan tradisi lisan terjadi pada zaman Islam di wilayah Luragung, 19 km timur Kuningan. Naskah Babad Cirebon dan tradisi lisan menyebutkan bahwa tujuan penggunaan bokor adalah untuk menguji keluhuran ilmu yang dimiliki Sunan Gunung Jati. Putranya kelak dibesarkan oleh Ki Gedeng Luragung, penguasa daerah Luragung, dan kelak setelah dewasa diangkat oleh Sunan Gunung Jati sebagai Adipati Kuningan.
Ada beberapa alternatif lain berkaitan dengan asal-usul nama Kuningan. Kedua, nama Kuningan berasal dari daerah bernama Kajéné yang berarti "sesuatu yang berwarna kuning". Ketiga, Kuningan berasal dari istilah dangiang kuning (sebuah ilmu gaib) yang didapatkan oleh Demunawan, penguasa awal Kuningan pada masa Galuh. Keempat, "Kuningan" berasal dari wuku dan hari raya dengan nama yang sama.
Diperkirakan ± 3.500 tahun sebelum masehi sudah terdapat kehidupan manusia di daerah Kuningan, hal ini berdasarkan pada beberapa peninggalan kehidupan pada zaman prasejarah yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neolitikum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan Megalitikum. Bukti peninggalan tersebut dapat dijumpai di Kampung Cipari Kelurahan Cigugur yaitu dengan ditemukannya peninggalan pra-sejarah pada tahun 1972, berupa alat dari batu obsidian (batu kendan), pecahan-pecahan tembikar, kuburan batu, pekakas dari batu dan keramik. Sehingga diperkirakan pada masa itu terdapat pemukiman manusia yang telah memiliki kebudayaan tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Situs Cipari mengalami dua kali masa pemukiman, yaitu masa akhir Neoletikum dan awal pengenalan bahan perunggu berkisar antara tahun 1000 SM sampai dengan 500 M. Pada waktu itu masyarakat telah mengenal organisasi yang baik serta kepercayaan berupa pemujaan terhadap nenek moyang (animisme dan dinamisme). Selain itu ditemukannya pula peninggalan adat dari batu-batu besar dari zaman megalitikum.
Dalam pandangan Parahyangan disebutkan bahwa ada suatu pemukiman yang mempunyai kekuatan politik penuh seperti halnya sebuah negara, bernama Kuningan. Kerajaan Kuningan tersebut berdiri setelah Seuweukarma dinobatkan sebagai Raja yang kemudian bergelar Rahiyang Tangkuku atau Sang Kuku yang bersemayam di Arile atau Saunggalah. Seuweukarma menganut ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (Ajaran Kitab Suci) serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup). Ekspansi kekuasaan Kuningan pada zaman kekuasaan Seuweukarma menyeberang sampai ke negeri Melayu. Pada saat itu masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram di bawah pimpinan Seuweukarma yang bertakhta sampai berusia lama.
Menurut Parahyangan, bahwa sebelum Sanjaya menguasai Kerajaan Galuh, dia harus mengalahkan dulu Sang Wulan–Sang Tumanggal–dan Sang Pandawa tiga tokoh penguasa di Kuningan (= Triumvirat), yaitu tiga tokoh pemegang kendali pemerintahan di Kuningan sebagaimana konsep Tritangtu dalam konsep pemerintahan tradisional suku Sunda Buhun. Sang Wulan, Tumanggal, dan Pandawa ini menjalankan pemerintahan menurut adat tradisi waktu itu, yang bertindak sebagai Sang Rama, Sang Resi, dan Sang Ratu. Sang Rama bertindak selaku pemegang kepala adat, Sang Resi selaku pemegang kepala agama, dan Sang Ratu kepala pemerintahan. Makanya Kerajaan Kuningan waktu dikendalikan tokoh ‘Triumvirat’ ini berada dalam suasana yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, karena masing-masing dijalankan oleh orang yang ahli di bidangnya. Tata aturan hukum/masalah adat selalu dijalankan dan ditaati, masalah kepercayaan / agama begitu juga pemerintahannya. Semuanya sejalan beriringan selangkah dan seirama.
Ketika Kuningan diperintah Resiguru Demunawan pun (menantu Sang Pandawa), Kerajaan Kuningan memiliki status sebagai Kerajaan Agama (Hindu). Hal ini tampak dari ajaran-ajaran Resiguru Demunawan yang mengajarkan ilmu Dangiang Kuning–keparamartaan, sehingga Kuningan waktu menjadi sangat terkenal. Dalam naskah carita Parahyangan disebutkan kejayaan Kuningan waktu diperintah Resiguru Demunawan atau dikenal dengan nama lain Sang Seuweukarma (penguasa/pemegang Hukum) atau Sang Ranghyangtang Kuku/Sang Kuku, kebesaran Kuningan melebihi atau sebanding dengan Kerajaan Galuh dan Sunda (Pakuan). Kekuasaannya meliputi Melayu, Tuntang, Balitar, dan sebagainya. Hanya ada 3 nama tokoh raja di Jawa Barat yang berpredikat Rajaresi, arti seorang pemimpin pemerintahan dan sekaligus ahli agama (resi). Mereka itu adalah:
Perkembangan kerajaan Kuningan selanjutnya seakan terputus, dan baru pada 1175 masehi muncul lagi. Kuningan pada waktu itu menganut agama Hindu di bawah pimpinan Rakean Darmariksa dan merupakan daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang terkenal dengan nama Pajajaran. Cirebon juga pada tahun 1389 masehi masuk kekuasaan kerajaan Pajajaran, namun pada abad ke-15 Cirebon sebagai kerajaan Islam menyatakan kemerdekaannya dari Pakuan Pajajaran.
Sejarah Kuningan pada masa Islam tidak lepas dari pengaruh kesultanan Cirebon. Pada tahun 1470 masehi datang ke Cirebon seorang ulama besar agama Islam yaitu Syeh Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah dan ibunya Rara Santang atau Syarifah Modaim putra Prabu Siliwangi. Syarif Hidayatullah adalah murid Sayid Rahmat yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel yang memimpin daerah ampeldenta di Surabaya. Kemudian Syeh Syarif Hidayatullah ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, dan mula-mula tiba di Cirebon yang pada waktu Kepala Pemerintahan Cirebon dipegang oleh Haji Doel Iman. Pada waktu 1479 masehi Haji Doel Iman berkenan menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada Syeh Syarif Hidayatullah setelah menikah dengan putrinya. Karena terdorong oleh hasrat ingin menyebarkan agama Islam, pada tahun 1481 Masehi Syeh Syarif Hidayatullah berangkat ke daerah Luragung, Kuningan yang masuk wilayah Cirebon Selatan yang pada waktu itu dipimpin oleh Ki Gedeng Luragung yang bersaudara dengan Ki Gedeng Kasmaya dari Cirebon, selanjutnya Ki Gedeng Luragung memeluk agama Islam.
Pada waktu Syeh Syarif Hidayatullah di Luragung, Kuningan, datanglah Ratu Ontin Nio istrinya dalam keadaan hamil dari negeri Tiongkok (bergelar: Ratu Rara Sumanding) ke Luragung, Kuningan, dari Ratu Ontin Nio alias Ratu Lara Sumanding lahir seorang putra yang tampan dan gagah yang diberi nama Pangeran Kuningan. setelah dari Luragung, Kuningan, Syeh Syarif Hidayatullah dengan rombongan menuju tempat tinggal Ki Gendeng Kuningan di Winduherang, dan menitipkan Pangeran Kuningan yang masih kecil kepada Ki Gendeng Kuningan agar disusui oleh istri Ki Gendeng Kuningan, karena waktu itu Ki Gendeng Kuningan mempunyai putra yang sebaya dengan Pangeran Kuningan namanya Amung Gegetuning Ati yang oleh Syeh Syarif Hidayatullah diganti namanya menjadi Pangeran Arya Kamuning serta dia memberikan amanat bahwa kelak di mana Pangeran Kuningan sudah dewasa akan dinobatkan menjadi Adipati Kuningan.
Setelah Pangeran Kuningandan Pangeran Arya Kamuning tumbuh dewasa, diperkirakan tepatnya pada bulan Muharram tanggal 1 September 1498 Masehi, Pangeran Kuningan dilantik menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Pangeran Arya Adipati Kuningan (Adipati Kuningan) dan dibantu oleh Arya Kamuning. Maka sejak itulah dinyatakan sebagai titik tolak terbentuknya pemerintahan Kuningan yang selanjutnya ditetapkan menjadi tanggal hari jadi Kuningan
Masuknya Agama Islam ke Kuningan tampak dari munculnya tokoh-tokoh pemimpin Kuningan yang berasal atau mempunyai latar belakang agama. Sebut saja Syekh Maulana Akbar saudara kandung Syekh Datuk Kahfi, yang akhirnya menikahkan putranya, bernama Syekh Maulana Arifin saudara sepupu Pangeran Panjunan, dengan Nyai Ratu Selawati penguasa Kuningan waktu itu putri Pangeran Surawisesa cucu Prabu Siliwangi yang juga menantu Prabu Langlangbuana. Hal ini menandai peralihan kekuasaan dari Hindu ke Islam yang memang berjalan dengan damai melalui ikatan perkawinan. Waktu itu di Kuningan muncul pedukuhan-pedukuhan yang bermula dari pembukaan-pembukaan pondok pesantren, seperti Pesantren Sidapurna (menuju kesempurnaan), Syekh Rama Ireng (Balong Darma). Termasuk juga di antaranya pesantren Lengkong oleh Haji Hasan Maulani.
Kuningan menjadi tempat dilaksanakannya Perundingan Linggarjati pada bulan November 1946. Karena tidak memungkinkan perundingan dilakukan di Jakarta maupun di Yogyakarta (ibu kota sementara RI), maka diambil jalan tengah jika perjanjian diadakan di Linggarjati, Kuningan. Hari Minggu pada tanggal 10 November 1946 Lord Killearn tiba di Cirebon. Ia berangkat dari Jakarta menumpang kapal fregat Inggris H.M.S. Veryan Bay. Ia tidak berkeberatan menginap di Hotel Linggarjati yang sekaligus menjadi tempat perundingan.
Delegasi Belanda berangkat dari Jakarta dengan menumpang kapal terbang “Catalina” yang mendarat dan berlabuh di luar Cirebon. Dari “Catalina” mereka pindah ke kapal perang “Banckert” yang kemudian menjadi hotel terapung selama perjanjian berlangsung. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sjahrir menginap di desa Linggasama, sebuah desa dekat Linggarjati. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta sendiri menginap di kediaman Bupati Kuningan. Kedua delegasi mengadakan perundingan pada tanggal 11-12 November 1946 yang ditengahi oleh Lord Kilearn, penengah berkebangsaan Inggris.
Kabupaten Kuningan terletak pada titik koordinat 108°23'–108°47' Bujur Timur dan 6°47'–7°12' Lintang Selatan. Sedangkan ibu kotanya terletak pada titik koordinat 6°45'–7°50' Lintang Selatan dan 105°20'–108°40' Bujur Timur. Bagian timur wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang di bagian barat berupa pegunungan, dengan puncaknya Gunung Ceremai (3.078 m) di perbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Gunung Ceremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat.
Dilihat dari posisi geografisnya terletak di bagian timur Jawa Barat berada pada lintasan jalan regional yang menghubungkan Kota Cirebon dengan wilayah Priangan Timur dan sebagai jalan alternatif jalur tengah yang menghubungkan Bandung-Majalengka dengan Jawa Tengah.
Permukaan tanah Kabupaten Kuningan relatif datar dengan variasi berbukit-bukit terutama Kuningan bagian Barat dan bagian Selatan yang mempunyai ketinggian berkisar 700 meter di atas permukaan laut, sampai ke dataran yang agak rendah seperti wilayah Kuningan bagian Timur dengan ketinggian antara 120 meter sampai dengan 222 meter di atas permukaan laut.
Ketinggian di suatu tempat mempunyai pengaruh terhadap suhu udara, oleh sebab itu ketinggian merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pola penggunaan lahan untuk pertanian, karena setiap jenis tanaman menghendaki suhu tertentu sesuai dengan karakteristik tanaman yang bersangkutan.
Kemiringan tanah yang dimiliki Kabupaten Kuningan terdiri dari : dataran rendah, dataran tinggi, perbukitan, lereng, lembah dan pegunungan. Karakter tersebut memiliki bentang alam yang cukup indah dan udara yang sejuk, sangat potensial bagi pengembangan pariwisata.
Sebagian besar tekstur tanah termasuk kedalaman tekstur sedang dan sebagian kecil termasuk tekstur halus. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap tingkat kepekaan yang rendah dan sebagian kecil sangat tinggi terhadap erosi.
Tingkat kepekaan terhadap erosi disebabkan ketidaksesuaian antara penggunaan tanah dengan kemampuannya sehingga berakibat rusaknya proses fisika, kimia dan biologi tanah tersebut. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap besar kecilnya intensitas tingkat kepekatan terhadap terhadap erosi adalah faktor : lereng, sistem penggarapan, pengolahan tanah, jenis tanah dan persentase penutup tanah.
Berdasarkan penelitian tanah tinjau Kabupaten Kuningan memiliki 7 (tujuh) golongan tanah yaitu : Andosol, Alluvial, Podzolik, Gromosol, Mediteran, Latosol dan Regosol.
Dalam sejarah, Bupati Kuningan sudah ada sejak dibentuknya Kabupaten Kuningan pada 1 September 1498 pada saat masuknya Islam ke Kuningan. Pada zaman hindu, pemegang jabatan pertama Raja Kuningan adalah Seuweukarma, dan pada zaman islam pemegang pertama jabatan kepala pemerintahan adalah Sang Adipati Kuningan. Namun di sini hanya dicantumkan sebagian dari Daftar Bupati Kuningan, terhitung sejak zaman penjajahan Belanda.
Kabupaten Kuningan memiliki 32 kecamatan, 15 kelurahan, dan 361 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduk mencapai 1.132.610 jiwa dengan luas wilayah 1.110,56 km² dan sebaran penduduk 1.020 jiwa/km².
Kabupaten Kuningan menunjukkan kemajuan signifikan dalam penerapan tata kelola pemerintahan berbasis digital melalui peningkatan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Skor indeks SPBE Kabupaten Kuningan meningkat dari 2,24 pada tahun 2021 (predikat "Cukup") menjadi 2,88 pada tahun 2022 (peringkat ke-9 se-Jawa Barat), dan mencapai 3,39 pada tahun 2023 dengan predikat nasional "Baik". Capaian ini didorong oleh peluncuran aplikasi strategis seperti Linggarjati, ApPem, dan Koceax, serta penguatan integrasi sistem melalui SPLP, SSO, dan Web-API. Upaya ini sejalan dengan kebijakan nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE, yang bertujuan mendorong birokrasi yang efektif, efisien, dan transparan.
Selain aspek teknis, komitmen kolektif dari seluruh perangkat daerah turut berperan dalam capaian tersebut. Pemerintah Kabupaten Kuningan melibatkan berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD), mulai dari penyusunan kebijakan hingga pelaksanaan SPBE dan Smart City. Pelatihan, pendampingan, dan sinergi lintas sektor, termasuk dengan pihak swasta seperti PT Axios Mega Kreatif, turut mendukung agenda transformasi digital. Melalui langkah ini, Pemerintah Daerah berupaya memastikan seluruh proses birokrasi berjalan terpadu dengan partisipasi publik yang luas serta penggunaan data dan teknologi yang akurat dan terintegrasi.
Pemerintah Kabupaten Kuningan meraih predikat “Informatif” dari Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat atas kinerja layanan informasi publik. Penghargaan ini diberikan setelah melalui proses monitoring dan evaluasi menggunakan sistem elektronik (e-monev), yang mengukur tingkat keterbukaan informasi pada badan publik. Status “Informatif” merupakan capaian tertinggi dalam klasifikasi ini, dan Kabupaten Kuningan menjadi salah satu dari 13 kabupaten/kota di Jawa Barat yang berhasil meraih penghargaan tersebut. Hal ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan prinsip keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Secara struktural, layanan informasi publik dikelola oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Utama yang berada di bawah koordinasi Dinas Komunikasi dan Informatika. PPID Pelaksana di setiap SKPD juga turut mengelola dan menyediakan informasi sesuai regulasi yang berlaku. Penguatan kapasitas kelembagaan dilakukan secara berkelanjutan melalui pelatihan dan pembinaan, termasuk dalam hal penyusunan standar layanan informasi, pengelolaan website, serta integrasi dengan sistem pengaduan masyarakat seperti SP4N-LAPOR!. Inovasi ini diharapkan mampu mendorong transparansi dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemerintahan.
Pemerintah Kabupaten Kuningan mendorong tata kelola pemerintahan desa yang transparan dan akuntabel melalui fasilitasi penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) serta penerapan transaksi non-tunai. Langkah ini dilaksanakan dengan memberikan pendampingan intensif kepada para kepala desa dan perangkatnya, agar memahami secara utuh peraturan perundangan, termasuk Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 13 Tahun 2023. Regulasi tersebut mewajibkan pemerintah desa untuk mengalokasikan dana desa pada program prioritas seperti penanganan kemiskinan ekstrem, ketahanan pangan, penanggulangan stunting, dan penguatan BUMDes.
Penggunaan transaksi non-tunai di tingkat desa menjadi bagian dari agenda digitalisasi pengelolaan keuangan daerah. Dengan sistem ini, Pemerintah Kabupaten Kuningan berharap dapat mengurangi risiko kebocoran anggaran, meningkatkan akuntabilitas fiskal, dan mempercepat implementasi elektronifikasi transaksi pemerintahan desa. Selain memberikan manfaat praktis, pendekatan ini juga merupakan bentuk adaptasi terhadap perkembangan teknologi digital serta upaya untuk menjaga integritas tata kelola pemerintahan di tingkat lokal secara berkelanjutan.
Pelaksanaan reformasi birokrasi di Kabupaten Kuningan terus ditingkatkan melalui penguatan strategi pelaksanaan Reformasi Birokrasi (RB) dan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Kegiatan pelatihan dan sosialisasi yang diikuti oleh 110 pejabat dari seluruh OPD bertujuan untuk meningkatkan kualitas aparatur, memperbaiki budaya kerja, serta mendorong inovasi layanan publik. Pemerintah Kabupaten Kuningan menekankan pentingnya integritas, produktivitas, dan pelayanan prima sebagai prinsip dasar dalam menjalankan roda pemerintahan.
Bupati Kuningan menyatakan bahwa keberhasilan reformasi birokrasi menuntut komitmen kuat dari pimpinan daerah dan seluruh aparatur pemerintah. Implementasi reformasi bukan hanya berorientasi pada efisiensi kelembagaan, tetapi juga pada penciptaan pelayanan publik yang akuntabel, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan pendekatan ini, diharapkan tata kelola pemerintahan daerah semakin adaptif terhadap perubahan dan mampu menghadirkan layanan publik yang bermutu tinggi.
Mall Pelayanan Publik (MPP) Grha Linggarjati merupakan salah satu wujud transformasi layanan publik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan. Diresmikan pada tahun 2022, MPP ini menjadi pusat layanan administrasi yang menyediakan 95 jenis layanan dari 16 instansi, termasuk layanan kependudukan, perizinan, dan pelayanan sosial. Dengan luas bangunan 1.080 meter persegi dan fasilitas penunjang seperti ruang laktasi, toilet disabilitas, dan ruang konsultasi, MPP ini dirancang untuk menghadirkan pengalaman layanan yang nyaman, inklusif, dan terintegrasi bagi masyarakat.
Pendirian MPP ini merupakan bagian dari kebijakan nasional untuk mendorong penyederhanaan birokrasi serta meningkatkan daya saing daerah melalui kemudahan akses layanan. Kehadiran MPP juga diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan investasi dan membuka peluang kolaborasi lintas sektor. Komitmen ini diperkuat melalui penandatanganan komitmen penyelenggaraan MPP oleh kepala daerah, serta dukungan penuh dari Kementerian PANRB dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Pemerintah Kabupaten Kuningan meluncurkan layanan pengaduan masyarakat bernama Lapor Kuningan Melesat sebagai upaya untuk memperkuat akuntabilitas publik dan responsivitas terhadap permasalahan warga. Layanan ini memungkinkan masyarakat menyampaikan keluhan dan aspirasi melalui WhatsApp dan platform digital lainnya, yang kemudian dikelola oleh Dinas Komunikasi dan Informatika melalui Command Center. Prosedur pengaduan mencakup verifikasi data, klasifikasi laporan, hingga pengalihan ke OPD terkait untuk ditindaklanjuti.
Program ini terintegrasi dengan berbagai inisiatif nasional dan lokal, seperti kolaborasi dengan Kementerian Sosial dalam menangani masalah sosial berbasis teknologi, termasuk isu stunting dan pemberdayaan masyarakat. Inovasi ini tidak hanya mempercepat penyelesaian masalah, tetapi juga memperkuat hubungan antara pemerintah dan masyarakat, dengan menjadikan transparansi serta kolaborasi sebagai pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Upaya pemerintah daerah dalam mengembangkan sistem berbasis data diwujudkan melalui peluncuran aplikasi Si BaDU miRakyat, yang berfungsi sebagai bank data pelaku UMKM di Kabupaten Kuningan. Aplikasi ini dirancang untuk menyimpan data real-time dari lebih dari 35.000 pelaku usaha mikro dan kecil, serta mendukung pengambilan kebijakan berbasis data oleh Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan. Inisiatif ini juga memfasilitasi integrasi antarinstansi serta penyediaan data untuk penyaluran bantuan seperti BPUM.
Dalam kerangka pembangunan berbasis inklusi, keberadaan sistem data ini juga memperkuat konektivitas digital para pelaku UMKM dengan pasar daring. Pemerintah Daerah menekankan pentingnya inovasi dan pemanfaatan teknologi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal serta pengurangan kemiskinan. Dengan menyediakan ruang informasi dan pemberdayaan melalui teknologi, Kuningan menargetkan ekonomi kerakyatan yang tangguh dan berdaya saing tinggi di tengah dinamika global.
Jumlah penduduk Kabupaten Kuningan pada tahun 2024 tercatat sebanyak 1.213.927 jiwa, terdiri dari 614.594 laki-laki (50,63%) dan 599.333 perempuan (49,37%). Dengan luas wilayah sebesar 1.194,09 km², maka kepadatan penduduk rata-rata mencapai 1.017 jiwa per km². Kecamatan dengan kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Kuningan (3.903 jiwa/km²), yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, sementara Kecamatan Cilebak menempati posisi terendah dengan hanya 271 jiwa/km². Laju pertumbuhan penduduk Kuningan dari tahun 2020 hingga 2024 berada pada angka 1,04% per tahun, yang menandakan peningkatan populasi yang relatif stabil dan moderat.
Struktur umur penduduk Kabupaten Kuningan menunjukkan dominasi usia produktif. Kelompok usia 15–64 tahun mencapai sekitar 68,28% dari total populasi, mencerminkan potensi tenaga kerja yang besar dan kondisi bonus demografi yang masih dapat dioptimalkan. Sementara itu, kelompok usia 0–14 tahun mencakup sekitar 22,13%, dan usia lanjut (65 tahun ke atas) sekitar 5,85%. Rasio jenis kelamin di kabupaten ini adalah 102,55 pada tahun 2024, yang berarti terdapat sekitar 103 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Distribusi ini relatif seimbang dan mencerminkan stabilitas struktur dasar demografis, dengan peluang pengembangan kebijakan yang inklusif terhadap gender dan lintas usia.
Dilihat berdasarkan persebarannya, 32 kecamatan di Kabupaten Kuningan menunjukkan variasi signifikan dalam jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan. Beberapa kecamatan seperti Ciawigebang, Kuningan, dan Cidahu memiliki jumlah penduduk yang padat serta laju pertumbuhan yang cukup tinggi, menandakan adanya konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi di wilayah tersebut. Sebaliknya, daerah seperti Selajambe dan Subang mengalami pertumbuhan yang sangat lambat, bahkan stagnan atau menurun, yang menunjukkan tantangan dalam pembangunan dan penyediaan layanan dasar. Ketimpangan distribusi ini perlu menjadi perhatian dalam perencanaan pembangunan wilayah agar tidak terjadi pemusatan penduduk secara berlebihan di satu wilayah dan stagnasi di wilayah lain.
Kabupaten Kuningan didominasi oleh penduduk dari suku Sunda. Pada Sensus Penduduk Indonesia 2000, orang Sunda di kabupaten Kuningan sebanyak 950.162 jiwa atau 96,50 % dari total penduduk 984.598 jiwa. Sebagian kecil lagi adalah orang Jawa, Cirebon, Minangkabau, Batak, Betawi, dan suku lainnya. Berikut adalah besaran penduduk Kabupaten Kuningan berdasarkan suku bangsa sesuai data Sensus Penduduk tahun 2000;
Tingkat partisipasi pendidikan di Kabupaten Kuningan menunjukkan dinamika menarik. Pada 2024, Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk SD mencapai 102,72%, sedangkan APM-nya sebesar 98,52%—indikator bahwa hampir seluruh anak usia sekolah dasar sudah terakomodasi. Namun, meskipun APK SMP naik dari 85,94% (2023) menjadi 90,03% (2024), APM justru turun dari 83,64% menjadi 81,30%. Untuk jenjang SMA, APK mengalami lonjakan cukup besar dari 77,88% ke 85,86%, meski APM hanya naik tipis dari 64,01% ke 65,55%. Angka ini menunjukkan bahwa masih banyak siswa belum tepat waktu dalam melanjutkan ke jenjang berikutnya, atau terpaksa putus sekolah.
Situasi ini diperkuat oleh data lapangan yang menyebutkan bahwa sekitar 6.000 anak tidak melanjutkan sekolah dari SMP ke jenjang SLTA. Ini memperkuat kebutuhan intervensi kebijakan berbasis data. Pemerintah Kabupaten melalui Rapat Kerja Akselerasi 2025 mencoba menjawab tantangan ini dengan menjadikan Kuningan sebagai “Kabupaten Pendidikan”, berfokus pada perluasan akses dan pemerataan kualitas pendidikan. Kebijakan tersebut menandai pergeseran dari pendekatan administratif ke arah strategi kolaboratif berbasis masyarakat, di mana peran keluarga dan lingkungan sosial sama pentingnya dengan lembaga sekolah formal.
Rata-rata lama sekolah (RLS) di Kabupaten Kuningan hanya 7,9 tahun per 2024, setara dengan kelas 8 SMP. Angka ini tertinggal dari target nasional 12 tahun dan masih menunjukkan tantangan struktural dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun. Menurut Disdikbud, penyebab rendahnya RLS antara lain adalah drop-out (DO), lulus tidak melanjutkan (LTM), dan anak tidak sekolah (ATS). Upaya pendataan siswa-siswi kelas 9 yang tidak melanjutkan ke SMA pun digencarkan, mengingat segmen ini menjadi titik rawan stagnasi pendidikan.
Menariknya, pendekatan yang digunakan tidak hanya fokus ke siswa, tapi juga menyasar orang tua sebagai pengambil keputusan pendidikan. Melalui dialog komunitas dan pendekatan berbasis keluarga, pemerintah mencoba menumbuhkan motivasi dan kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi. Dalam konteks ini, bantuan seperti BOS dan PIP tidak cukup tanpa kesadaran partisipatif.
Kabupaten Kuningan memiliki 2.276 sekolah dari berbagai jenjang, dengan proporsi akreditasi cukup baik: 13% terakreditasi A, 46% B, dan 13% C—dan tidak ada sekolah yang belum terakreditasi secara formal. Namun demikian, tantangan terbesar justru terletak pada sebaran kualitas tenaga pendidik. Hanya 55–57% guru SD dan SMP yang tercatat sebagai guru profesional, meskipun untuk kepala sekolah sudah mencapai 95% di SD dan 71% di SMP.
Fakta ini menunjukkan bahwa upaya perbaikan mutu pendidikan perlu disertai dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di tingkat pengajar. Program unggulan seperti Rumah Guru dalam inisiatif “Sekolahku Keren” menjadi langkah awal yang potensial. Program ini bukan hanya pelatihan teknis, tetapi juga membentuk karakter dan integritas guru sebagai teladan. Dengan pembinaan berkelanjutan dan pelatihan berbasis akhlak, diharapkan kualitas pembelajaran tidak hanya berbasis kognitif, tetapi juga menyentuh sisi afektif dan nilai-nilai lokal.
Program “Sekolahku Keren” yang diluncurkan pada Maret 2025 menjadi momentum penting transformasi pendidikan di Kuningan. Lima program utama—rehabilitasi ruang kelas, penyambutan pagi, pelatihan guru, muatan lokal, dan English Day—menjadi pendekatan holistik untuk membangun ekosistem belajar yang inspiratif dan inklusif. Inisiatif seperti Pagi Ikut Cerahku menekankan peran emosional guru dalam membentuk karakter dan motivasi siswa sejak pagi hari.
Selain itu, Program Muatan Lokal dan English Day adalah jawaban atas kebutuhan kontekstual dan global sekaligus. Di satu sisi, siswa diajak mengenal budaya dan lingkungan Kuningan; di sisi lain, mereka diberi bekal untuk bersaing secara internasional. Pendekatan ini mencerminkan semangat pembangunan pendidikan berbasis nilai dan daya saing. Kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan dunia usaha yang digagas oleh Bupati menjadi penguat arah strategis menuju Kabupaten Pendidikan yang bukan sekadar jargon, tetapi memiliki pijakan programatik yang nyata.
Meskipun telah terjadi peningkatan APK dan pembangunan infrastruktur, tantangan kesenjangan pendidikan di Kuningan masih nyata. Indikator APM SMA/SMK yang masih 65,55% menunjukkan bahwa kesempatan belum sepenuhnya merata. Ketimpangan ini sering kali disebabkan oleh faktor ekonomi, letak geografis, dan kurangnya fasilitas pendidikan menengah di desa-desa terpencil. PJ Bupati Kuningan menekankan pentingnya equality dan equity dalam pendidikan—dua prinsip yang menjadi fondasi utama dalam strategi pemerataan yang inklusif.
Pemerintah juga melihat pentingnya perluasan akses ke perguruan tinggi, sebab jumlah mahasiswa masih jauh di bawah kapasitas tampung. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan promosi intensif, beasiswa daerah, serta peningkatan literasi pendidikan tinggi di kalangan siswa SLTA. Tak kalah penting, lembaga pendidikan juga diajak membentuk pola koordinasi lintas sektor, agar distribusi program tidak timpang dan berdampak nyata. Melalui sinergi antara Disdikbud, tim akselerasi, sekolah, dan komunitas, visi "Kabupaten Pendidikan" diharapkan dapat menjadi kenyataan—bukan sekadar ambisi administratif, tetapi gerakan kolektif untuk masa depan generasi Kuningan.
Tahun 2024, Fazila Haura Bilqis Clianta dari SDIT Al‑Multazam meraih Juara II Lomba Bertutur SD/MI Tingkat Provinsi Jawa Barat dengan membawakan cerita “Legenda Ikan Dewa Cibulan” — prestasi ini dipandang sebagai bukti cinta budaya dan kemampuan literasi tingkat tinggi. Di jenjang SMP, SMPN 1 Kuningan menuai sukses di Bupati Cup 2023, meraih 3 medali emas, 3 perak, dan 2 perunggu—dengan di antaranya penghargaan pada nomor sprint 100 m dan 1.500 m—menunjukkan kekuatan atletik lokal. Pada Juni 2025, sekolah tersebut juga kembali keluar sebagai Juara Umum FLS3N (Festival Lomba Seni & Sastra Siswa Nasional) tingkat kabupaten, membawa pulang gelar di cabang menyanyi solo, mendongeng, ansambel musik, pantomim, dan menulis cerita. Di tingkat menengah pertama swasta, MTsN 7 Kuningan kembali menorehkan prestasi gemilang dalam bidang bahasa. Tiga siswanya berhasil lolos ke Tingkat Provinsi Jawa Barat dalam Olimpiade Bahasa Arab 2024, dan dua siswi—Asma Nadia Francisca dan Ratna Ayuningsih—mewakili provinsi dalam kejuaraan nasional OBA. Untuk jenjang SMK, SMK Negeri 4 Kuningan turut membawa pulang medali dari O2SN Kabupaten 2024: Fitri Suci Audini (X MPLB) meraih Emas Pencak Silat Putri, Zakiyah Fakhrotun Nisa (X MPLB) meraih Perunggu Atletik Putri, dan Azi Muhammad Maulana (X TOKR) meraih Perunggu Bulutangkis Putra.
Pada tahun 2024, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kuningan tercatat sebesar 5,61%, mengalami percepatan dari 5,25% di tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh sektor transportasi dan pergudangan yang melonjak sebesar 19,94%, serta sektor informasi dan komunikasi yang tumbuh 18,08%. Namun, sektor pertanian—yang selama ini menjadi basis utama ekonomi lokal—mengalami kontraksi cukup tajam sebesar –6,41%, menandakan tekanan struktural yang signifikan pada sektor primer. Meski demikian, sektor industri pengolahan tetap menunjukkan kinerja positif (5,83%), disusul jasa pendidikan (7,05%) dan sektor konstruksi.com">Konstruksi (3,01%), yang memperkuat sinyal transformasi struktur ekonomi Kuningan ke arah sektor tersier berbasis jasa dan digitalisasi.
Pendapatan per kapita Kabupaten Kuningan pada 2024 tercatat sebesar Rp20,5 juta, meningkat dari Rp19,4 juta pada 2023. Namun angka ini masih relatif rendah dibandingkan rata-rata Provinsi Jawa Barat, mengindikasikan tantangan dalam produktivitas individu dan daya saing ekonomi lokal. Struktur PDRB menurut pengeluaran memperlihatkan dominasi konsumsi rumah tangga yang mencapai 80,26% dari total PDRB, sedangkan kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 22,6%. Sisi ekspor-impor justru menunjukkan angka negatif (neraca perdagangan luar daerah –15,47%), yang mencerminkan ketergantungan ekonomi terhadap konsumsi domestik dan lemahnya orientasi pasar luar. Secara sektoral, lapangan usaha yang dominan dalam struktur PDRB Kuningan adalah sektor perdagangan besar dan eceran, akomodasi-makan minum, serta transportasi, sementara sektor pertanian mulai menunjukkan penurunan kontribusi dalam jangka panjang.
Dalam dimensi kesejahteraan sosial, tingkat kemiskinan Kabupaten Kuningan mengalami penurunan dari 12,12% pada 2023 menjadi 11,88% pada 2024, dengan jumlah penduduk miskin mencapai sekitar 131,83 ribu jiwa. Namun demikian, indeks kedalaman kemiskinan justru meningkat dari 1,87 menjadi 2,02, dan indeks keparahan naik dari 0,42 ke 0,53, menandakan bahwa jurang kesejahteraan di antara kelompok miskin semakin melebar.
Sektor peternakan di Kuningan menunjukkan kontribusi signifikan terhadap produksi lokal dengan populasi ternak beragam—meliputi sapi potong (~3.850 ekor) menghasilkan sekitar 876 ton karkas & jeroan, kambing (6.662 ekor → ~105 ton), domba (109.809 ekor → ~1.56 jt kg) dan unggas seperti ayam petelur (~607 rb ekor → 565 ton karkas) dan ayam pedaging (~1,54 juta ekor/tahun → 12,1 juta kg karkas). Di samping itu, populasi sapi perah sekitar 5.268 ekor menghasilkan ~15 juta liter susu per tahun. Dari perspektif komparatif provinsi, Kuningan menempati peringkat ke‑14 untuk peternakan domba (137.399 ekor) dan ke‑18 untuk kambing (8.533 ekor), menunjukkan potensi yang masih bisa dikembangkan . Sementara itu, populasi kerbau sekitar 4.953 ekor menempatkannya di peringkat 5 Jawa Barat. Data ini menegaskan bahwa meski Kuningan sudah mengandalkan skala besar peternakan unggas dan ruminansia besar kecil, ada kesempatan besar untuk meningkatkan populasi ternak kambing dan domba melalui program pengembangbiakan, pembinaan peternakan rakyat, serta peningkatan produktivitas sapi perah—sebagai bagian dari strategi penguatan ketahanan pangan dan ekonomi agraris daerah.
Kabupaten Kuningan menunjukkan pola industrialisasi yang masih sangat bergantung pada industri skala kecil dan menengah, termasuk agroindustri serta kerajinan lokal. Contoh konkret terlihat pada eksistensi pabrik seperti Zebra Asaba (produsen pulpen), PT Sumber Inti Pangan (pengolahan bumbu), hingga PT Galih Estetika Indonesia (produksi ubi jalar ekspor). Selain itu, kehadiran pabrik Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) seperti PT Grahamas Intitirta dan PT Aditya Tirta Abadi Utama menjadi bukti bahwa sebagian sektor industri sudah mulai berorientasi pada pasar modern. Namun demikian, tidak adanya industri skala besar menghambat kemampuan sektor ini dalam menyerap angkatan kerja secara signifikan, terutama bagi kelompok usia produktif.
Kesenjangan antara pertumbuhan jumlah angkatan kerja dengan lapangan kerja formal yang tersedia turut memperkuat angka pengangguran terbuka di Kuningan, yang menurut BPS mencapai 7,78% dan menjadikannya salah satu dari lima daerah dengan TPT tertinggi di Jawa Barat. Situasi ini memperjelas bahwa meskipun industri kreatif dan agroindustri berkembang, kontribusinya belum mampu menampung limpahan tenaga kerja. Ini menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk lebih agresif menarik investasi industri menengah dan besar agar keberadaan Kuningan di kawasan Rebana tidak sebatas administratif, tetapi benar-benar strategis dalam mengangkat sektor manufaktur lokal.
UMKM di Kabupaten Kuningan bukan sekadar pelengkap struktur ekonomi, melainkan menjadi fondasi utama dengan jumlah pelaku usaha lebih dari 43.000 unit. Sektor ini menyerap hingga 97% tenaga kerja lokal dan menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), menjadikannya sebagai tulang punggung ekonomi daerah. Pemerintah daerah merespons pentingnya UMKM melalui program seperti UMKM Naik Kelas, sertifikasi halal gratis, dan pelatihan e-commerce. Fokus pengembangan mencakup peningkatan mindset bisnis, digitalisasi usaha, dan pemanfaatan teknologi pemasaran daring untuk memperluas jangkauan pasar dari level lokal hingga ekspor.
Produk unggulan seperti kopi premium, olahan susu, bawang goreng, tape ketan, dan kerajinan khas seperti anyaman bambu, batik Kuningan, hingga celana sunat telah tampil di berbagai pameran seperti KKJ-PKJB 2023. Bahkan, dengan pendampingan intensif dan platform seperti dedekamart.com, UMKM Kuningan mulai menembus pasar daring nasional dan internasional. Keterlibatan pemerintah pusat juga makin terasa, terutama setelah Bupati Kuningan berhasil menjalin komitmen dukungan langsung dari Kementerian UMKM RI. Dengan pendekatan kolaboratif dan digitalisasi masif, UMKM Kuningan perlahan bermetamorfosis dari pelaku ekonomi lokal menjadi bagian dari rantai pasok global.
Inisiatif Dekranasda Digital Kuningan menjadi salah satu strategi kunci untuk memperkuat sektor ekonomi kreatif. Gerai digital ini tidak hanya memberikan wadah promosi gratis bagi para pelaku usaha, tetapi juga membangun sistem pemasaran dan edukasi digital berbasis inklusi. Pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi disrupsi digital; sebaliknya, mereka mengintegrasikan pelatihan teknologi, branding, serta e-commerce dalam satu ekosistem UMKM berbasis transformasi digital. Dengan slogan Enlightening, Connected, and Leading The Way, platform ini tidak hanya menghubungkan produk lokal ke pasar, tapi juga menumbuhkan semangat kompetitif dan adaptif para pelaku usaha.
Program pelatihan bimtek yang dijalankan Diskopdagperin juga mencakup strategi pengelolaan toko daring (e-commerce) berbasis LKPP serta orientasi pada pasar syariah, sesuai dengan visi ekonomi agamis Kabupaten Kuningan. Diharapkan, pelaku UMKM mampu mengembangkan bisnis tidak hanya dengan skala lebih besar, tetapi juga lebih tahan banting terhadap perubahan tren dan krisis pasar. Koneksi ini makin penting karena saat ini lebih dari 60% UMKM Kuningan bergerak di sektor pangan olahan, yang sangat bergantung pada branding, legalitas, dan distribusi digital yang baik.
Sertifikasi halal menjadi salah satu langkah strategis Pemkab Kuningan dalam meningkatkan daya saing produk UMKM, khususnya di sektor pangan yang mendominasi struktur UMKM daerah. Program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) berhasil menjangkau 250 pelaku usaha melalui skema self-declare, serta didukung penuh oleh jaringan Pendamping Proses Produk Halal (PPH) dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Legalitas ini tak hanya menjamin kualitas, tapi juga membuka pintu lebar untuk masuk ke ekosistem e-commerce halal dan pasar syariah global.
Lebih dari itu, sertifikasi halal menjadi bagian dari upaya hilirisasi produk lokal yang selaras dengan misi Kuningan sebagai daerah makmur dan agamis. Dalam jangka panjang, Bupati Acep bahkan menargetkan seluruh produk UMKM di Kuningan bersertifikat halal pada tahun 2024. Dengan tren dunia yang bergerak ke arah ekonomi syariah, strategi ini menempatkan Kuningan dalam posisi kompetitif untuk mengekspor produk halal dan menjadi pemain aktif, bukan sekadar konsumen. Proses transformasi ini juga akan makin efektif jika didukung oleh sistem pemasaran digital yang kuat, sehingga daya saing UMKM Kuningan benar-benar bisa naik kelas ke pasar global.
Kabupaten Kuningan menunjukkan kinerja investasi yang sangat impresif dalam dua tahun terakhir. Pada 2023, realisasi investasi mencapai Rp2,09 triliun, jauh melampaui target awal sebesar Rp1,54 triliun. Bahkan pada 2022, capaian investasi mencengangkan dengan nilai lebih dari Rp7 triliun, terdiri dari Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp839 miliar dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp6,16 triliun. Pencapaian luar biasa ini juga didorong oleh pencatatan investasi melalui sistem Online Single Submission (OSS) sebesar Rp1,87 triliun dan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) sebesar Rp220 miliar.
Tren positif ini terus berlanjut pada tahun 2024 dengan realisasi investasi sebesar Rp16,42 triliun, yang terdiri dari PMDN sebesar Rp16,03 triliun dan PMA sebesar Rp395,4 miliar. Angka ini jauh melampaui target sebesar Rp1,85 triliun yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi. Hal ini menunjukkan kepercayaan tinggi dari investor terhadap Kuningan, serta keberhasilan strategi pemerintah daerah dalam menarik investasi masuk ke berbagai sektor prioritas seperti pertanian, pariwisata, dan energi terbarukan.
Fokus utama investasi di Kuningan diarahkan pada sektor pariwisata dan pertanian, sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Kawasan Rebana—yang meliputi Kuningan sebagai salah satu anggotanya—menjadi landasan integratif dalam pengembangan ekonomi lintas wilayah seperti Subang dan Sumedang. Investasi dalam bentuk agrowisata menjadi bentuk sinergi antara potensi alam dan nilai ekonomi yang berkelanjutan.
Dukungan dari struktur kelembagaan seperti Kuningan Tourism Development Board (KTDB) memperkuat langkah tersebut dengan strategi yang lebih spesifik dalam menjaring investor. Berdasarkan data PDRB, sektor perdagangan, transportasi, dan penyediaan akomodasi tumbuh signifikan antara 2020–2024. Misalnya, sektor transportasi dan pergudangan meningkat dari Rp3,59 triliun pada 2020 menjadi Rp6,27 triliun pada 2024, menunjukkan bahwa geliat logistik mendukung aktivitas ekonomi wisata dan pertanian.
Meskipun investasi meningkat, Kuningan masih menghadapi tantangan struktural seperti revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang belum rampung. RTRW yang masih merujuk pada dokumen tahun 2011 belum mencerminkan kondisi terkini serta dinamika lintas sektor. Keterlambatan revisi ini berpotensi menghambat validitas perizinan dan kejelasan zonasi investasi baru.
Dari sisi infrastruktur dasar, data menunjukkan peningkatan jumlah pelanggan listrik industri dari 117 pada 2020 menjadi 149 pada 2024, serta pelanggan air industri sebanyak 44 pelanggan dengan total penggunaan air mencapai 27.994 m³ pada 2024. Ini menandakan kesiapan logistik energi dan air bersih semakin membaik untuk mendukung kawasan industri maupun agrowisata.
Kesadaran akan pentingnya iklim investasi yang aman telah mendorong pembentukan Satuan Tugas Anti-Premanisme oleh Pemkab dan Polres Kuningan. Langkah ini bukan sekadar merespons instruksi Gubernur Jawa Barat, melainkan juga mencerminkan visi jangka panjang Bupati Dian Rachmat Yanuar untuk menjadikan Kuningan sebagai wilayah yang kondusif bagi bisnis dan investasi. Penanganan premanisme dianggap sebagai strategi preventif dalam menjaga stabilitas sosial dan mencegah penghambat non-formal bagi pertumbuhan ekonomi.
Kondisi keamanan yang stabil menjadi salah satu daya tarik utama bagi investor untuk menanamkan modal, khususnya di kawasan pertumbuhan ekonomi seperti pariwisata dan perdagangan. Kolaborasi ini juga selaras dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, penguatan lembaga perizinan, dan percepatan birokrasi investasi di bawah DPMPTSP yang makin adaptif terhadap teknologi melalui OSS dan pelaporan LKPM daring.
Sektor pertanian di Kabupaten Kuningan masih menjadi tulang punggung utama pembangunan ekonomi daerah dengan kontribusi mendekati 30 % terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dominasi pertanian tercermin dari stabilitas produksi padi yang luar biasa, mencapai 352.511 ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 2024, meningkat dibanding 350.324 ton pada tahun 2023 dan 297.548 ton pada 2022. Luas panen mencapai 56.929 hektare dengan produktivitas rata-rata 6,19 ton per hektare. Kinerja ini turut menopang surplus beras sebesar 94.802 ton pada tahun 2023, menciptakan fondasi kokoh bagi ketahanan pangan regional, bahkan memungkinkan kontribusi terhadap pasokan nasional.
Tidak hanya dari sisi kuantitas, produksi padi juga menunjukkan distribusi geografis yang merata. Kecamatan Ciawigebang menyumbang angka tertinggi dengan 21.009 ton GKG, diikuti Karangkancana (18.564 ton), Cibingbin (17.938 ton), dan Ciwaru (16.303 ton). Keberhasilan ini tidak lepas dari program strategis seperti panen raya, percepatan tanam, hingga gerakan pengendalian hama. Bahkan, meskipun terdapat penurunan luas lahan baku pertanian selama satu dekade terakhir dari 32.000 hektare menjadi sekitar 28.000 hektare akibat alih fungsi lahan, produktivitas tetap terjaga berkat efisiensi tanam dan modernisasi alat pertanian.
Lahan pertanian di Kuningan terbagi atas 16.803 hektare sawah irigasi dan 9.213 hektare sawah tadah hujan. Ketergantungan pada curah hujan menyebabkan kerentanan terhadap fluktuasi musim, terutama di musim kemarau. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Kuningan secara aktif mendorong program pompanisasi. Hingga awal Juni 2024, sebanyak 432 unit pompa telah disalurkan kepada 123 kelompok tani di 22 kecamatan. Pompa ini digunakan untuk memanfaatkan sumber air permukaan seperti sungai, embung, dan kolam guna memperluas areal tanam dan meningkatkan indeks pertanaman.
Efek dari kebijakan ini terlihat nyata: pada musim panen April–Juni 2024, produksi padi telah mencapai 121.905 ton dari luas tanam 25.253 ha, dengan 76.506 ton telah dipanen dari 19.688 ha. Program ini tidak hanya menyasar ketahanan pangan, tetapi juga ditujukan untuk pengurangan beban produksi petani, menjaga ketersediaan pangan lokal, dan meningkatkan ketangguhan terhadap tantangan iklim seperti El Niño dan La Niña.
Pemerintah Kabupaten Kuningan menggagas program Satu Desa Satu Traktor sebagai bagian dari transformasi menuju pertanian modern. Estimasi kebutuhan traktor pada tahun 2024 mencapai 850 unit, yang diharapkan dapat mengakselerasi proses pengolahan lahan, meningkatkan indeks pertanaman, dan mengurangi ketergantungan tenaga kerja manual. Ini merupakan bagian dari sistem mekanisasi dan efisiensi produksi yang lebih luas, termasuk penggunaan varietas unggul seperti Inpari 36 dan 37, yang mampu menghasilkan hingga 10 ton per hektare.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, Dr. Wahyu Hidayah, menekankan bahwa modernisasi tidak hanya soal alat, tetapi juga melibatkan sinergi antar lembaga melalui pendekatan pentahelix—yakni kerja sama pemerintah, akademisi, swasta, masyarakat, dan media. Dengan dukungan Kementerian Pertanian serta organisasi petani seperti KTNA dan HKTI, arah pembangunan pertanian Kuningan ditujukan ke sistem yang berkelanjutan, efisien, dan berdaya saing tinggi—bahkan dalam menghadapi penurunan luas lahan aktif.
Salah satu tantangan besar di sektor pertanian adalah regenerasi petani, di tengah tren nasional menurunnya jumlah petani muda. Menanggapi hal ini, Pemkab Kuningan menginisiasi Program Petani Milenial sebagai upaya strategis menarik minat generasi muda. Hingga Mei 2025, terdapat 404 petani muda yang tergabung dalam program ini. Mereka mendapat pelatihan, fasilitas alat, serta pendampingan akses pasar agar mampu mandiri secara ekonomi dan tetap produktif di bidang pertanian.
Audiensi dengan Pj. Bupati serta sinergi dengan organisasi perempuan seperti PKK menunjukkan bahwa pengembangan petani muda tidak hanya dipandang sebagai strategi teknokratis, tetapi juga sebagai gerakan sosial yang inklusif. Pemerintah daerah menyadari bahwa keberlanjutan sektor pertanian membutuhkan partisipasi aktif generasi muda, dan oleh karena itu kebijakan diarahkan untuk menciptakan ekosistem yang ramah anak muda, progresif, serta adaptif terhadap teknologi dan pasar agribisnis.
Selain fokus pada pertanian padi, Kuningan juga mengembangkan sistem pertanian terpadu melalui program Gerbang Kaya yang menyinergikan pertanian, peternakan, dan perikanan. Dengan pendekatan daur ulang limbah organik dan efisiensi biaya, sistem ini menghasilkan empat produk utama (fuel, fertilizer, feed, food) secara berkelanjutan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan produktivitas dan mengurangi risiko gagal panen, tetapi juga memperkecil ketergantungan petani terhadap input eksternal.
Di sisi lain, intervensi terhadap rumah tangga rawan pangan juga menjadi perhatian penting. Melalui data Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) 2025, ditemukan tiga desa rawan—Garawangi, Sukamulya, dan Mekarmulya—yang menerima bantuan pangan bergizi bagi ibu hamil dan balita. Langkah ini merupakan bagian dari strategi ganda: menjaga ketahanan pangan sekaligus menekan angka stunting. Pemerintah tidak hanya mengejar ketahanan pangan dari sisi produksi, tapi juga memastikan pemanfaatannya tepat sasaran dan berkontribusi pada kualitas SDM jangka panjang.
Pemerintah Kabupaten Kuningan telah mengubah seluruh 37 UPTD Puskesmas menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai upaya strategis untuk meningkatkan kualitas layanan sekaligus efisiensi pengelolaan keuangan. Transformasi ini dibarengi dengan berbagai bentuk pembinaan dan penguatan administrasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan Sekretaris Daerah. Tujuannya agar Puskesmas mampu beroperasi lebih mandiri, mengelola anggaran secara fleksibel, dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Dalam forum pembinaan BLUD, seluruh kepala UPTD Puskesmas diberi arahan untuk memahami dan menerapkan manajemen BLUD secara sehat dan akuntabel.
Meski demikian, implementasi BLUD menghadapi tantangan besar di lapangan. Pada tahun 2024, enam Puskesmas mengalami kekosongan lebih dari 40 jenis obat akibat keterlambatan pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp6 miliar. Keterbatasan ini sangat memengaruhi pelayanan dasar kepada masyarakat, khususnya pada musim peralihan yang rentan terhadap peningkatan kasus penyakit seperti diare dan DBD. DPRD Kabupaten Kuningan melalui Komisi IV bahkan telah turun langsung ke lokasi dan mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan tunggakan anggaran tersebut agar tidak mengganggu layanan publik lebih lanjut.
Kabupaten Kuningan memiliki infrastruktur kesehatan yang cukup luas, terdiri dari 2 rumah sakit pemerintah, 10 rumah sakit swasta, serta 276 poskesdes/polindes yang tersebar di berbagai desa. Selain itu, terdapat pula fasilitas unik seperti Griya Sehat, layanan kesehatan tradisional pertama dan satu-satunya di Jawa Barat yang menyediakan akupunktur, akupresur, dan edukasi herbal. Inisiatif ini mendapat dukungan Kementerian Kesehatan melalui kunjungan monitoring dan evaluasi pada Maret 2024, serta diharapkan menjadi contoh bagi daerah lain dalam pengembangan pelayanan kesehatan komplementer.
Namun, jika dibandingkan dengan beban layanan dan persebaran penduduk, jumlah tenaga kesehatan masih belum mencukupi. Berdasarkan data resmi tahun 2024, Kabupaten Kuningan hanya memiliki 170 dokter umum dan spesialis, serta 1.261 bidan yang sebagian besar belum berstatus ASN. Hal ini mencerminkan ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan SDM kesehatan, apalagi mengingat sebagian bidan bahkan belum menyandang gelar profesi sebagaimana dipersyaratkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023. Tantangan tersebut menjadi perhatian dalam Musyawarah Cabang IBI 2025, yang menggarisbawahi pentingnya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan tenaga kesehatan, terutama melalui pelatihan profesi dan penguatan status kepegawaian.
Penanganan penyakit menular menjadi salah satu fokus utama Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam rangka menjamin derajat kesehatan masyarakat. Selama Desember 2024 hingga Februari 2025, tercatat 152 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang seluruhnya berhasil ditangani tanpa kasus kematian. Hal ini menunjukkan efektivitas sistem deteksi dini dan koordinasi lapangan, yang mencakup fogging, Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), serta edukasi langsung kepada masyarakat. Menurut laporan Dinas Kesehatan, distribusi kasus relatif merata di semua kecamatan tanpa konsentrasi kasus di satu wilayah tertentu.
Selain DBD, penyakit Tuberkulosis (TBC) dan HIV/AIDS juga menjadi perhatian besar. Pada tahun 2024, terdapat estimasi 4.621 kasus TBC, sementara jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS mencapai 1.101 kasus dengan penemuan 64 kasus baru. Pemerintah setempat mengadakan rakor lintas sektor yang melibatkan 37 kepala Puskesmas, 32 camat, dan berbagai pemangku kepentingan untuk menyusun strategi deteksi dini, pengobatan, serta pelibatan komunitas. Kegiatan ini bertujuan mendorong sistem kesehatan yang tanggap terhadap dinamika epidemiologi sekaligus memperkuat kolaborasi dalam pengendalian penyakit menular maupun tidak menular seperti hipertensi, diabetes, dan kanker.
Kabupaten Kuningan menjadi pelopor di Jawa Barat dalam mengembangkan layanan kesehatan tradisional melalui pendirian Griya Sehat. Fasilitas ini mulai beroperasi sejak Mei 2023 dan menyediakan pelayanan akupunktur, akupresur, edukasi pengobatan herbal, serta peracikan ramuan oleh tenaga kesehatan yang terlatih. Pelayanan diberikan setiap hari Selasa, Kamis, dan Jumat. Griya Sehat Kuningan juga menjadi satu dari hanya 16 fasilitas sejenis di seluruh Indonesia yang didirikan oleh pemerintah daerah, menjadikannya sebagai model percontohan nasional dalam integrasi pengobatan tradisional dan modern.
Kehadiran Griya Sehat telah mendapatkan apresiasi dari Kementerian Kesehatan RI melalui kunjungan monitoring dan evaluasi pada Maret 2024. Pemerintah pusat menilai inisiatif ini sebagai langkah konkret dalam transformasi pelayanan kesehatan yang lebih inklusif dan sesuai kebutuhan masyarakat. Pemerintah daerah juga berharap dukungan lebih lanjut berupa pelatihan tenaga kesehatan, serta peningkatan sarana dan prasarana agar layanan tradisional dapat terus berkembang dan menjadi alternatif komplementer bagi masyarakat yang membutuhkan.
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) terus menjadi garda terdepan dalam pemantauan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Kuningan. Pemerintah daerah secara konsisten mendorong penguatan kapasitas kader Posyandu melalui kegiatan rutin seperti Jambore Kader yang diadakan pada tahun 2023. Jambore ini mempertemukan kader dari lima kecamatan dan menjadi ajang pelatihan serta apresiasi bagi kader-kader berprestasi. Upaya ini merupakan bagian dari strategi untuk menjaga kesinambungan layanan dasar secara preventif dan promotif, terutama dalam menurunkan angka stunting dan meningkatkan cakupan gizi seimbang.
Dinas Kesehatan Kuningan mencatat bahwa sejumlah kader dan Posyandu di daerah ini telah berhasil meraih penghargaan di tingkat Provinsi Jawa Barat dan Nasional. Misalnya, Posyandu Dahlia Desa Cisantana berhasil menempati peringkat enam di tingkat provinsi, sementara kader dari Desa Mandirancan dan Widarasari juga mendapat penghargaan nasional. Capaian tersebut menjadi bukti konkret efektivitas pendekatan berbasis komunitas dalam mewujudkan derajat kesehatan yang merata dan inklusif di seluruh lapisan masyarakat.
Ketersediaan tenaga kesehatan yang profesional dan berstatus kepegawaian tetap masih menjadi tantangan serius di Kabupaten Kuningan. Hingga 2025, terdapat 1.261 bidan aktif yang tergabung dalam Ikatan Bidan Indonesia (IBI), namun hanya sekitar 35% di antaranya yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini menjadi perhatian penting dalam Musyawarah Cabang (Muscab) IBI ke-VIII, yang menekankan pentingnya penguatan sistem ketahanan nasional melalui sinergi sektor kesehatan dan peningkatan kompetensi tenaga kerja di tengah krisis iklim dan beban pelayanan yang semakin kompleks.
Di sisi lain, Forum Komunikasi Honorer Tenaga Kesehatan menyoroti status kepegawaian ribuan tenaga honorer yang telah puluhan tahun mengabdi tanpa kejelasan status, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang ASN terbaru. Dalam forum dialog di DPRD, terungkap bahwa meskipun terdapat 822 formasi P3K yang direncanakan untuk nakes dan non-nakes di Kuningan, tidak satu pun yang direalisasikan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar terhadap kelangsungan pelayanan, terutama di Puskesmas dan Poskesdes yang bergantung pada peran tenaga honorer.
Sebagai bagian dari program percepatan dalam 100 hari kerja Bupati, Dinas Kesehatan Kuningan meluncurkan SIPANDU SEHATI (Sistem Pelayanan Kesehatan Terpadu). Program ini menyasar berbagai kelompok rentan seperti ibu hamil anemia, balita stunting, dan penderita penyakit kronis melalui distribusi makanan tambahan, aktivasi kartu JKN/KIS, serta skrining penyakit tidak menular terhadap lebih dari 116.000 penduduk usia produktif. Upaya ini sejalan dengan visi pembangunan daerah “MELESAT” (Maju, Empowering, Lestari, Agamis, Tangguh) yang menempatkan kesehatan sebagai pilar utama.
Pelaksanaan SIPANDU SEHATI dilakukan serentak di 37 Puskesmas yang tersebar di seluruh Kabupaten Kuningan. Program ini juga menjangkau 531 ibu hamil dan 1.280 balita untuk intervensi gizi, serta melibatkan UMKM dalam penerbitan Sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Pendekatan lintas sektor yang dilakukan dalam program ini memperkuat fondasi pelayanan kesehatan dasar dan membuka peluang besar untuk peningkatan indeks kesehatan masyarakat dalam jangka menengah.
Kabupaten Kuningan terus memperkuat posisinya sebagai wilayah yang berkomitmen terhadap peningkatan kualitas hidup melalui program Kabupaten/Kota Sehat (KKS). Salah satu capaian utama adalah keberhasilan menjadi wilayah dengan status Open Defecation Free (ODF) 100%, menandakan komitmen dalam menjamin akses sanitasi dasar. Pada tahun 2024, Kuningan mengikuti pembinaan bersama Forum Jabar Sehat dalam rangka menuju target penghargaan KKS level “Paripurna” pada 2025. Pembinaan ini menekankan pada pemenuhan sembilan tatanan KKS, termasuk sektor transportasi, perkantoran, pendidikan, hingga penanganan bencana.
Pendekatan kolaboratif menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan KKS di Kabupaten Kuningan. Pemerintah daerah bekerja sama dengan Bappeda, Dinas Kesehatan, serta sektor swasta dan masyarakat sipil untuk memenuhi lebih dari 150 indikator yang ditetapkan dalam program ini. Optimalisasi CSR, dana zakat, dan digitalisasi data melalui Sipantas juga menjadi inovasi penting dalam mendukung pencapaian tersebut. Keberhasilan ini memperkuat peluang Kuningan untuk mempertahankan predikat Pembina Terbaik 1 Jawa Barat dalam bidang kesehatan lingkungan dan tata kelola sanitasi.
Kabupaten Kuningan memiliki total panjang jalan sepanjang 857,9 km pada tahun 2024, yang terbagi atas jalan negara (35,33 km), provinsi (86,33 km), dan kabupaten/kota (771,57 km). Dari total panjang tersebut, sekitar 750,88 km sudah beraspal, menunjukkan tingkat perkembangan infrastruktur jalan yang relatif memadai meskipun masih terdapat bagian jalan berkerikil (6,63 km) dan tanah (1,05 km). Distribusi kewenangan ini penting karena menentukan tanggung jawab pemeliharaan dan pengembangan jalan, terutama di wilayah desa yang memerlukan konektivitas antar pusat aktivitas ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Kondisi jalan di Kuningan juga menunjukkan tren yang cukup stabil dengan sekitar 463,6 km dalam kondisi baik pada tahun 2024. Namun, terdapat pula 214,2 km dalam kondisi sedang, 75,8 km rusak ringan, dan 18 km dalam kondisi rusak berat. Data ini menyoroti perlunya pemerataan pembangunan infrastruktur, khususnya di daerah terpencil yang masih bergantung pada jalan tanah atau belum terhubung langsung ke pusat kota atau antar kecamatan secara memadai. Pemerintah kabupaten perlu fokus pada peningkatan kualitas jalan di daerah yang saat ini menjadi titik lemah konektivitas wilayah.
Kabupaten Kuningan memiliki jaringan angkutan umum yang cukup terorganisir, didukung oleh tujuh terminal utama seperti Terminal Tipe A Kertawangunan di Sindangagung, Terminal Cirendang, Cilimus, Sadamantra, Sukasari, Pasar Baru, dan Lengkong. Terminal-terminal ini melayani trayek lokal dan regional, seperti Kuningan–Bandung, Kuningan–Semarang, serta trayek antarkecamatan seperti Cirendang–Pasar Baru dan Cilimus–Mandirancan. Dukungan ini diperkuat oleh 530 unit angkutan kota dan 473 angkutan perdesaan yang beroperasi secara reguler.
Keberadaan moda transportasi lanjutan seperti ojek, taksi daring, dan travel di sekitar terminal besar seperti Kertawangunan menciptakan sistem transportasi multimoda yang memudahkan perpindahan penumpang. Namun, dengan tidak adanya stasiun kereta api di wilayah Kabupaten Kuningan, masyarakat masih bergantung pada Stasiun Cirebon, Prujakan, atau Ciledug sebagai akses kereta terdekat. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk mobilitas antardaerah, khususnya bagi warga Kuningan yang hendak bepergian ke luar kota secara cepat dan efisien.
Tingginya kepemilikan kendaraan bermotor menjadi indikator lain dari dinamika transportasi di Kuningan. Pada tahun 2023, tercatat 372.479 kendaraan roda dua dan 38.498 kendaraan roda empat terdaftar di wilayah ini. Angka tersebut mengalami peningkatan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya, yang menandakan tren mobilitas pribadi warga Kuningan semakin meningkat. Peningkatan ini bisa menjadi sinyal positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat, namun juga dapat berdampak terhadap kemacetan, polusi udara, dan kebutuhan lahan parkir, terutama di kawasan perkotaan dan terminal.
Sayangnya, meningkatnya kepemilikan kendaraan ini belum sepenuhnya berbanding lurus dengan perkembangan infrastruktur jalan dan pengelolaan lalu lintas yang optimal. Tanpa penguatan sistem transportasi publik yang lebih modern dan efisien, ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi dikhawatirkan memperbesar tekanan terhadap jalan-jalan utama dan memperparah kesenjangan akses transportasi di wilayah perdesaan yang belum terjangkau moda massal.
Guna mendukung potensi sektor pariwisata, Pemerintah Kabupaten Kuningan merencanakan pembangunan Terminal Wisata Terpadu di Desa Paniis, Kecamatan Pasawahan. Terminal ini digadang-gadang sebagai simpul transportasi wisata untuk mengakses 25 desa wisata dalam kerangka program "100 Desa Pinunjul". Pemerintah juga telah menjanjikan dua unit mobil pariwisata khusus sebagai moda pengangkut wisatawan dari terminal ke berbagai destinasi wisata terdekat.
Terminal Wisata Terpadu ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat transit, tetapi juga sebagai simpul integrasi transportasi dan penggerak ekonomi lokal. Rencana ini mendapat dukungan dari masyarakat Desa Paniis yang siap menyukseskan proyek tersebut. Keberadaan terminal ini diharapkan mempermudah akses wisatawan domestik yang mendominasi angka kunjungan tahunan ke Kuningan—lebih dari 1,6 juta pengunjung pada 2024. Proyek ini juga berpotensi menghidupkan sektor UKM lokal seperti homestay, kuliner, dan kerajinan.
Pembangunan Bendungan Kuningan di Desa Randusari, Kecamatan Cibeureum, menjadi tulang punggung ketahanan air, energi, dan pangan Kabupaten Kuningan. Dengan kapasitas tampung sebesar 25,9 juta m³ dan luas genangan mencapai 221,59 hektare, bendungan ini dirancang bukan hanya untuk irigasi 3.000 hektare sawah, tetapi juga sebagai sumber air baku 200–300 liter/detik dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 500 kW. Pada awal 2025, bendungan ini resmi memasuki tahap impounding, menunjukkan kesiapan penuh infrastruktur. Lokasinya yang strategis di DAS Cisanggarung menjadikan proyek ini vital dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang juga diharap mampu mengurangi risiko banjir saat musim penghujan dan kekeringan saat kemarau—dua fenomena yang rutin menghantui wilayah ini setiap tahun.
Selain fungsinya yang masif dalam regulasi air dan irigasi, pembangunan Bendungan Kuningan juga ditargetkan menjadi penggerak ekonomi baru. Pemerintah daerah mendorong optimalisasi keberadaan bendungan ini sebagai kawasan wisata air dan ruang terbuka hijau, dengan potensi besar untuk mendatangkan wisatawan lokal. Dukungan dari BBWS Cimanuk-Cisanggarung dalam tahap konstruksi.com">Konstruksi menegaskan pentingnya kolaborasi lintas institusi. Di sisi lain, data BPS 2025 mengungkap bahwa area persawahan irigasi teknis dan semi-teknis di Kuningan masih sangat tergantung pada keberlanjutan pasokan air, sehingga keberadaan bendungan ini bukan hanya urgen—tetapi juga menjadi penyelamat pasokan pangan lokal menuju target 295.666 ton produksi padi hingga akhir 2024.
Gerakan penguatan irigasi juga hadir dari level akar rumput. Desa-desa seperti Cibinuang, Padarek, Pajambon, dan Cikadu secara aktif membangun saluran irigasi dan tembok penahan tanah (TPT) hingga sepanjang 582 meter. Pengerjaan infrastruktur ini didanai dari kombinasi Dana Desa dan dana provinsi, serta didukung skema padat karya sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi warga desa. Pola semacam ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur SDA tidak semata dimotori oleh proyek nasional, tapi juga didukung inisiatif lokal yang memahami kebutuhan lapangan secara kontekstual. Distribusi air ke lahan sawah menjadi lebih merata dan efisien, yang secara langsung menaikkan produktivitas dan mengurangi kehilangan air akibat limpasan permukaan.
Dalam skala regional, optimalisasi juga menyasar infrastruktur lama seperti Bendungan Mekarmulya, Situ Cihaur, dan jaringan saluran D.I. Cileuweung–Jangkelok. Pemerintah Kabupaten Kuningan, melalui pendanaan Dana Alokasi Khusus (DAK), menggenjot revitalisasi jaringan irigasi untuk memastikan tidak ada lahan pertanian yang kekurangan air. Pj. Bupati Iip Hidajat bahkan menyebutkan bahwa peningkatan efisiensi pengelolaan irigasi dapat menjadi penentu keberhasilan panen padi tahun ini. Sinergi antara desa dan pemerintah kabupaten dalam mengelola irigasi ini menjadi strategi cerdas, sebab menjangkau baik sistem besar maupun mikro secara simultan—dan menciptakan sistem irigasi yang resilien terhadap variabilitas iklim.
Kebijakan inovatif dalam pengelolaan air lintas wilayah tercermin melalui kerja sama antara Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon. Melalui perjanjian yang ditandatangani pada November 2021, Pemkab Kuningan menyuplai air baku dari mata air Cibodas, Bebelan, Astana, dan Cigusti dengan skema kompensasi sebesar Rp250/m³. Skema ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tapi juga menjadi insentif nyata untuk menjaga kualitas dan kuantitas air di hulu. Penghitungan kompensasi dilakukan secara berkala dengan toleransi kebocoran 20%, dan pembayaran dilaksanakan setiap bulan berdasarkan volume debit air yang diukur langsung melalui meter air. Ini menciptakan sistem yang akuntabel dan transparan dalam transaksi sumber daya alam lintas batas.
Secara kelembagaan, mekanisme kerja sama ini menguatkan peran Kabupaten Kuningan sebagai guardian wilayah hulu yang bertanggung jawab secara ekologis. Perluasan kemitraan ini memperlihatkan dimensi baru dalam tata kelola SDA, yakni kolaboratif dan berbasis manfaat timbal balik antarwilayah. Skema ini sekaligus mendukung target Kuningan sebagai kabupaten konservasi, di mana pemanfaatan air disertai dengan pelestarian mata air melalui aksi penghijauan dan pembatasan alih fungsi lahan di kawasan tangkapan air. Kelembagaan seperti PDAM Tirta Kamuning juga dilibatkan dalam implementasi teknis dan pemantauan kualitas air, memastikan air yang dikirim ke Cirebon memenuhi standar mutu.
Kabupaten Kuningan telah mencanangkan diri sebagai Kabupaten Konservasi sejak tahun 2006 dan memperkuat komitmennya melalui Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Air. Komitmen ini diperluas melalui berbagai peraturan daerah lainnya, seperti Perda tentang Irigasi, Pengelolaan Air, hingga Penyelenggaraan Kebun Raya Kuningan. Tujuan utamanya adalah mewujudkan keseimbangan antara pemanfaatan, pelestarian, dan pengawetan sumber daya alam untuk mendukung kesejahteraan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dalam konservasi dilakukan melalui program seperti Seruling (Siswa Peduli Lingkungan), Apel (Aparat Peduli Lingkungan), dan Pepeling (Pengantin Peduli Lingkungan). Inisiatif ini bertujuan membentuk budaya konservasi berbasis komunitas yang berkelanjutan. Strategi konservasi juga menyasar edukasi politisi, akademisi, pengelola air, serta media untuk memperluas pemahaman dan kolaborasi lintas sektor. Pendekatan holistik ini menjadikan Kabupaten Kuningan sebagai model daerah konservasi yang tidak hanya bersandar pada regulasi, tetapi juga pada partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat.
Upaya Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam membangun kembali pasar tradisional menunjukkan komitmen kuat terhadap penguatan ekonomi kerakyatan. Salah satu contoh konkret adalah revitalisasi Pasar Baru Kuningan, yang sebelumnya kumuh dan tidak tertata, kini menjelma menjadi kompleks perdagangan modern dengan 36 ruko, 394 kios, 456 los, area parkir luas, terminal mini, masjid, serta fasilitas pengelolaan sampah. Hal serupa juga terjadi di Pasar Kepuh yang direvitalisasi dengan anggaran Rp10 miliar pada tahun 2022, menampilkan desain bersih dan tertata, serta sudah mengadopsi sistem pembayaran digital. Dengan konsep yang semakin modern dan representatif, pasar-pasar ini tak hanya menjadi ruang jual beli, tetapi juga simbol pelayanan publik yang merata dan inklusif.
Peningkatan kualitas infrastruktur pasar ini telah dilakukan secara berkesinambungan. Berdasarkan data BPS, hingga 2024 jumlah pasar tradisional di Kuningan tercatat sebanyak 33 unit dan tetap konsisten sejak 2020. Jumlah ini menyebar di berbagai kecamatan dan menopang lebih dari 5.000 pedagang yang menempati kios dan los, serta ribuan pedagang kaki lima. Sebaran ini menunjukkan bahwa pasar tradisional masih menjadi tulang punggung distribusi barang dan jasa di Kuningan. Namun demikian, dengan semakin menurunnya minat generasi muda terhadap pasar konvensional dan munculnya ritel modern, Pemerintah Daerah ditantang untuk terus menyempurnakan fasilitas dan menciptakan inovasi layanan berbasis digital serta promosi budaya belanja lokal agar pasar-pasar ini tetap kompetitif.
Lonjakan jumlah toko swalayan modern seperti minimarket dan supermarket menjadi fenomena yang tidak terelakkan di Kuningan. Dari tahun 2020 hingga 2024, jumlah toko swalayan meningkat signifikan dari 155 menjadi 199 unit. Keberadaan toko-toko modern ini memang memberikan kemudahan dalam akses barang kebutuhan sehari-hari, terutama di kawasan urban dan semi-urban yang tumbuh pesat. Namun, ekspansi ini juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi “kanibalisasi” terhadap pasar tradisional dan warung kecil, yang selama ini menjadi tempat bergantung masyarakat bawah. Bahkan, beberapa kecamatan dilaporkan telah melampaui batas zonasi sesuai Keputusan Bupati Kuningan Nomor 510/KPTS.20.Diskopdagperin/2022.
Kritik keras datang dari sejumlah elemen masyarakat sipil, seperti Presidium MD KAHMI Kuningan, yang menuntut peninjauan ulang terhadap izin pendirian toko swalayan baru. Mereka menilai lemahnya pengawasan zonasi membuka celah pelanggaran yang merugikan pelaku usaha kecil. Dominasi toko modern, jika tidak diimbangi penguatan UMKM dan pengendalian perizinan, dapat memperdalam ketimpangan ekonomi lokal serta memperlemah ekosistem dagang berbasis masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak sekadar membangun fisik pasar, tetapi juga merancangnya sebagai ruang interaksi sosial dan penguat identitas lokal. Misalnya, Pasar Langlangbuana yang diresmikan sejak 2016, tidak hanya menjadi pusat perdagangan, tetapi juga diposisikan sebagai pusat jajanan khas Kuningan, menyatu dengan semangat pelestarian budaya. Keberadaan pasar seperti ini membuka ruang kreatif ekonomi kuliner, kerajinan, dan produk lokal lain yang dapat menghidupkan kembali gairah masyarakat terhadap pasar tradisional. Selain itu, kehadiran fasilitas publik seperti taman, kanopi, dan sanitasi bersih turut mendukung kenyamanan dan nilai estetika pasar secara keseluruhan.
Partisipasi masyarakat pun menjadi aspek penting dalam penataan pasar. Kasus Pasar Tradisional Ciawigebang menjadi contoh keberhasilan kolaborasi antara pemerintah desa, pedagang, dan perangkat daerah. Setelah melalui musyawarah desa, pasar ini ditata ulang dengan membangun 45 los serta kanopi pelindung untuk pedagang. Drainase diperbaiki, keamanan ditingkatkan, dan tata kelola ditransformasikan agar sesuai standar pasar representatif. Ini membuktikan bahwa pelibatan masyarakat secara aktif dapat menghasilkan pembangunan yang adaptif terhadap kebutuhan nyata warga, serta memperkuat legitimasi sosial program pembangunan yang dijalankan.
Kabupaten Kuningan telah menapakkan langkah progresif dalam mewujudkan kota cerdas (smart city) melalui penguatan ekosistem digital berbasis kebijakan, infrastruktur, dan literasi masyarakat. Proses transformasi ini tampak konkret lewat digitalisasi layanan publik dan integrasi sistem elektronik di seluruh SKPD dan kecamatan, termasuk pemanfaatan subdomain di situs resmi kuningankab.go.id, implementasi Siskeudes untuk manajemen desa, serta tanda tangan elektronik yang telah digunakan oleh sekitar 4.000 pengguna. Langkah ini turut diperkuat dengan pembangunan pusat data, government cloud, dan layanan konferensi video, yang seluruhnya dikelola oleh Dinas Kominfo melalui Bidang Infrastruktur TIK. Konsep ini menjadi pilar dalam realisasi visi “Kuningan Cerdas dan MAJU berbasis Teknologi.”
Kesiapan infrastruktur digital Kuningan juga terbukti dari capaian 87,28% kesiapan infrastruktur (baik fisik, sosial, maupun digital) dalam kerangka gerakan nasional 100 Smart City. Berdasarkan dokumen statistik resmi tahun 2025, penetrasi sinyal internet seluler di desa/kelurahan telah mencakup hampir seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Kuningan, kecuali Desa Gunungaci yang masih dalam proses optimalisasi sinyal dengan Telkomsel. Dukungan provider swasta seperti Biznet yang mulai masuk sejak 2022 juga turut memperluas akses internet simetris hingga 900 Mbps untuk rumah tangga dan pelaku usaha. Namun demikian, persoalan tiang kabel ilegal yang semrawut masih menjadi pekerjaan rumah. Penataan tiang dan kabel ini dianggap penting tidak hanya dari segi estetika dan keamanan, tapi juga dari aspek legalitas usaha jaringan optik serta potensi pendapatan daerah.
Transformasi digital tidak hanya sebatas layanan pemerintahan, tetapi juga mengintegrasikan peran masyarakat melalui Komunitas Informasi Masyarakat (KIM) yang kini diperkuat dengan peluncuran platform KIM.ID. Inisiatif nasional dari Kementerian Kominfo ini disambut antusias oleh Kabupaten Kuningan sebagai kanal strategis diseminasi informasi publik. Platform ini memungkinkan anggota KIM dari tiap desa untuk menyampaikan isu-isu lokal dalam format digital, termasuk video pendek edukatif yang relevan dengan karakter masyarakat digital saat ini. Hal ini menjadi upaya mengawinkan budaya tutur lokal dengan strategi komunikasi modern—membentuk ruang partisipasi aktif masyarakat dari level akar rumput.
Dukungan dari Dinas Kominfo Kuningan terhadap KIM.ID bukan sekadar simbolik. Melalui Bidang IKP, pemerintah daerah turut mendampingi pelatihan dan pengelolaan konten digital oleh para pegiat KIM. Data Kabupaten Kuningan Dalam Angka 2025 menunjukkan bahwa hampir seluruh desa/kelurahan telah terhubung jaringan internet yang cukup stabil—sebuah landasan teknis penting untuk keberlanjutan platform KIM.ID. Lebih lanjut, kolaborasi dengan RTIK (Relawan TIK) serta pelibatan FKOM Universitas Kuningan dalam pendampingan penguatan literasi digital menjadi bukti nyata bahwa pendekatan TIK di Kuningan tak hanya dari atas ke bawah, tapi juga tumbuh secara horizontal melalui kemitraan masyarakat dan akademisi.
Relawan TIK (RTIK) di Kuningan bukan sekadar pelengkap gerakan digitalisasi, tapi menjadi garda depan dalam membumikan teknologi kepada masyarakat. Melalui kemitraan erat dengan Diskominfo, RTIK aktif memberikan pelatihan langsung ke sekolah dan perangkat desa. Mereka menjadi agen perubahan dalam pemanfaatan TIK secara cerdas dan produktif. Imbas dari kolaborasi ini begitu konkret: pada 2022, Bupati Kuningan menerima penghargaan sebagai Tokoh Literasi Digital Daerah dalam Festival Literasi Digital Jabar. RTIK juga didorong untuk turut mempublikasikan capaian pembangunan daerah lewat media sosial sebagai diplomasi virtual untuk memperkenalkan Kuningan secara global.
Dari sisi kebijakan, peran RTIK juga mendapatkan legalitas dalam konteks Perbup No. 4 Tahun 2020 tentang SPBE. Dengan hampir seluruh layanan publik kini berbasis aplikasi, kemampuan perangkat desa untuk mengoperasikan sistem berbasis TIK menjadi tuntutan yang tak terhindarkan. Pelatihan RTIK kepada perangkat desa menjembatani kesenjangan ini, dan dengan keberadaan jaringan internet yang telah menjangkau mayoritas wilayah desa, peluang akselerasi semakin terbuka. Menariknya, keterlibatan perguruan tinggi seperti FKOM UNIKU dalam program literasi dan integrasi aplikasi pemerintahan memperkuat jalur triple helix antara pemerintah, masyarakat, dan institusi pendidikan.
Meski capaian digitalisasi di Kabupaten Kuningan cukup pesat, namun tantangan penataan infrastruktur jaringan tetap membayangi. Salah satu isu utama adalah menjamurnya tiang kabel ilegal yang berdampak langsung terhadap estetika lingkungan, keselamatan publik, dan regulasi daerah. Data dari Dinas Kominfo menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan penyedia jaringan tanpa izin turut memperkeruh ekosistem jaringan dan menghambat tata ruang kota. Bahkan dari sisi fiskal, fenomena ini menggerus potensi pendapatan daerah dari sektor pajak dan retribusi jaringan.
Kabupaten Kuningan tengah mengupayakan satu regulasi khusus yang mengatur ketertiban tiang jaringan agar tidak mengganggu sempadan jalan dan tetap menjaga harmoni antara kepentingan penyedia layanan, estetika kota, dan keamanan publik. Penertiban ini juga menjadi bagian dari persiapan menuju smart city, di mana penataan ruang digital harus sinkron dengan ruang fisik. Upaya ini selaras dengan prinsip-prinsip keterbukaan informasi yang telah mulai terwujud, tercermin dari capaian predikat “Menuju Informatif” yang diraih Pemkab Kuningan dari Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat pada 2021. Penghargaan ini bukan sekadar simbolis, melainkan sinyal penting bahwa keterbukaan dan keteraturan merupakan satu paket menuju transformasi digital yang berkelanjutan.
Penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di Kabupaten Kuningan tidak hanya bersifat simbolik. Pemerintah telah mengembangkan sistem SPLPD (Sistem Penghubung Layanan Pemerintah Daerah) dan Single Sign-On (SSO) guna mengintegrasikan semua layanan SKPD dalam satu pintu. Hal ini memungkinkan penyajian data lintas sektor menjadi lebih cepat, akurat, dan dapat dikendalikan dari Command Center. Selain efisiensi layanan, pendekatan ini juga mendukung amanat Perpres 95/2018 tentang SPBE dan Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia.
Di balik implementasi teknologi ini, terselip tantangan koordinasi antarlembaga yang masih harus dibenahi. Sekda Kuningan secara tegas menekankan bahwa pelaksanaan SPBE bukan hanya tugas Diskominfo semata, melainkan tanggung jawab semua SKPD secara kolektif. Kolaborasi lintas instansi dibutuhkan agar data yang terkumpul tidak menjadi silo, melainkan dapat digunakan bersama untuk kebutuhan perencanaan, evaluasi, dan pelayanan publik. Dengan dukungan infrastruktur yang telah mencakup pusat data dan jaringan intranet terintegrasi, Kabupaten Kuningan berada pada jalur yang tepat untuk menjadi contoh daerah yang tidak hanya mengadopsi teknologi, tapi juga membudayakan kolaborasi digital lintas sektor secara sistematis.
Kabupaten Kuningan menunjukkan komitmen tinggi terhadap pengelolaan lingkungan hidup melalui berbagai inovasi pengelolaan sampah. Salah satu inisiatif utama adalah program Solusi Atasi Masalah Sampah Urban Kuningan (SAPUKU), yang diluncurkan sebagai bagian dari program unggulan 100 hari kerja Bupati. SAPUKU difokuskan pada upaya pengurangan sampah plastik yang mengancam keberlanjutan lingkungan dengan melibatkan perangkat daerah dan komunitas masyarakat. Dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2025, Pemerintah Kabupaten Kuningan menekankan pentingnya peran semua pihak dalam menangani persoalan sampah dan memulai transformasi nyata dalam tata kelola lingkungan perkotaan.
Sebagai bagian dari upaya pengelolaan sampah terpadu, Pemerintah Kabupaten Kuningan juga menerima bantuan alat berat berupa bulldozer dari Bank BJB melalui program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR). Alat ini digunakan untuk mendukung operasional Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ciniru, yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup. Kolaborasi antara sektor pemerintah dan swasta ini menjadi bukti bahwa pengelolaan sampah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat dan dunia usaha.
Kabupaten Kuningan juga aktif dalam menjalankan Program Kampung Iklim (Proklim) sebagai bagian dari strategi adaptasi perubahan iklim dan mitigasi emisi. Program ini melibatkan masyarakat dalam aksi-aksi lingkungan, seperti penanaman pohon dan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui edukasi dan tindakan langsung. Dukungan terhadap keberlanjutan lingkungan semakin kuat dengan diraihnya penghargaan Adipura pada tahun 2023, setelah 12 tahun absen, serta penghargaan Pelopor Peduli Lingkungan dan Kota dengan Daya Saing Tinggi.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Kuningan juga melibatkan generasi muda dalam upaya pelestarian lingkungan melalui program Green Ambassador. Program ini memberikan pelatihan intensif kepada pelajar SMA/SMK tentang adaptasi, mitigasi, dan rehabilitasi lingkungan selama empat bulan. Dua perwakilan dari Kabupaten Kuningan bahkan berhasil meraih nilai tertinggi di tingkat nasional. Mereka diharapkan menjadi agen perubahan yang mampu memimpin upaya pelestarian lingkungan hidup di masa depan, khususnya dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global.
Sebagai bagian dari pengendalian pencemaran air, Pemerintah Kabupaten Kuningan menjalankan Program Kali Bersih (Prokasih) yang difokuskan pada revitalisasi Sungai Citamba. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas air sungai dan mengurangi pencemaran dari limbah domestik dan sampah. Kegiatan bersih sungai dilaksanakan secara rutin dan melibatkan masyarakat sekitar, LSM lingkungan, serta aparat pemerintahan dan TNI-Polri. Titik-titik aliran sungai dibersihkan secara menyeluruh untuk memastikan kelancaran aliran air, khususnya menjelang musim penghujan.
Prokasih juga didukung oleh aksi nyata pemuda lokal melalui Karang Taruna Ikatan Pemuda Awirarangan (KT IPMA), yang menjadikan kegiatan bersih-bersih sungai sebagai bagian dari peresmian sekretariat baru mereka. Dukungan moral dan kehadiran langsung Bupati Kuningan menandai pentingnya peran generasi muda dalam menjaga kelestarian lingkungan. Pemerintah daerah mendorong agar kegiatan ini dilaksanakan secara berkala untuk memastikan kualitas air sungai dapat memenuhi baku mutu dan mencegah potensi bencana seperti banjir.
Kabupaten Kuningan secara aktif menjalankan strategi mitigasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang termasuk dalam prioritas penanggulangan bencana daerah. Pemerintah Daerah melalui BPBD bekerja sama dengan TNI, Polri, TNGC, Perhutani, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya melakukan pemeliharaan jalur sekat bakar dan perencanaan pembangunan embung di Blok Kikaidin dan Kupang. Sekat bakar tersebut berfungsi sebagai penghalang api agar tidak menyebar ke area hutan yang lebih luas, sementara embung berfungsi sebagai sumber air untuk pemadaman.
Menindaklanjuti kondisi kekeringan ekstrem dan berkurangnya pasokan air bersih, Pemerintah Kabupaten Kuningan menetapkan status siaga darurat berdasarkan SK Bupati. Selama periode September hingga Oktober 2023, tercatat 13.980 jiwa dari 5.247 KK terdampak kekeringan di 16 desa yang tersebar di sembilan kecamatan. Distribusi air bersih dilakukan oleh BPBD dan berbagai mitra seperti TNI, Polri, PDAM, PMI, dan lembaga sosial lainnya, dengan total distribusi mencapai hampir 2 juta liter air bersih. Penanganan ini mencerminkan kesiapsiagaan pemerintah dalam menjaga ketersediaan air dan mencegah risiko lanjutan dari bencana kekeringan.
Untuk memperkuat kapasitas masyarakat menghadapi bencana, Kabupaten Kuningan mengembangkan Program Simulasi dan Edukasi Bencana (SIEDUN). Program ini diarahkan untuk membentuk desa tangguh bencana melalui pelatihan langsung kepada warga, khususnya kelompok rentan, di daerah rawan bencana. Sebanyak 15 desa dari 11 kecamatan diprioritaskan sebagai tahap awal implementasi SIEDUN, dengan target peningkatan indeks ketahanan daerah dari 0,71 menjadi 0,74 pada tahun 2024. Program ini juga mencakup edukasi pengelolaan sumber daya lokal sebagai bagian dari pengurangan risiko bencana.
Sebagai bentuk dukungan, peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) tahun 2025 diselenggarakan di halaman Kantor BPBD Kuningan. Kegiatan ini mencakup apel kesiapsiagaan, simulasi evakuasi gempa bumi, dan penyuluhan kepada masyarakat dan lembaga pendidikan. Di Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), kegiatan HKB dijadikan ajang pelatihan kesiapsiagaan siswa terhadap bencana melalui pendekatan edukatif dan partisipatif. Upaya ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak hanya fokus pada respon darurat, tetapi juga membangun budaya tanggap bencana sejak dini.
Kesadaran bahwa bencana tidak mengenal batas administratif mendorong Pemerintah Kabupaten Kuningan menjalin kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Cirebon dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung. Kolaborasi ini difokuskan pada penanganan sedimentasi sungai, pengelolaan debit air saat musim hujan dan kemarau, serta rehabilitasi sempadan sungai untuk mengurangi risiko daya rusak air. Dalam kerja sama ini disepakati pertukaran informasi ketinggian air, pemantauan pintu air, dan tata gilir air antarwilayah, sebagai langkah konkret membangun sistem peringatan dini dan penanggulangan bencana yang sinergis.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Kuningan juga aktif melibatkan komunitas lokal dan lintas sektoral dalam memperkuat jaringan respons bencana. Dalam forum-forum koordinasi kebencanaan, semua pemangku kepentingan termasuk TNI, Polri, LSM, dan masyarakat sipil turut serta menyusun strategi terpadu. Upaya ini memastikan bahwa setiap wilayah memiliki pemahaman dan kapasitas yang memadai untuk menghadapi bencana secara kolektif dan berkelanjutan, sekaligus membangun budaya sadar risiko di seluruh lapisan masyarakat.
Kabupaten Kuningan menghadapi beragam bencana hidrometeorologis, seperti tanah longsor, banjir, dan gempa bumi, yang disebabkan oleh kondisi geografis, geologis, dan klimatologis yang kompleks. Salah satu peristiwa signifikan adalah tanah longsor yang terjadi di Desa Gewok, Kecamatan Garawangi pada Mei 2025, yang disebabkan oleh curah hujan tinggi. Dampaknya mencakup kerusakan tembok penahan tanah dan hunian warga di tiga dusun. Respons cepat dari BPBD melalui kaji cepat dan penanganan awal menunjukkan efektivitas sistem tanggap darurat di tingkat lokal.
Selain itu, gempa bumi berkekuatan 4,1 SR mengguncang wilayah Kuningan pada Juli 2025, dengan dampak kerusakan ringan pada sembilan rumah dan satu fasilitas ibadah di empat wilayah administratif. Meski tidak menyebabkan korban jiwa, kejadian ini meningkatkan urgensi edukasi publik dan kesiapsiagaan terhadap bencana geologi. Pemerintah daerah melalui BPBD terus memantau kondisi serta mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan tidak terpengaruh oleh informasi yang tidak akurat. Hal ini menunjukkan konsistensi pendekatan Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam penanganan bencana berbasis data dan kolaboratif.
Kabupaten Kuningan aktif mengembangkan potensi desa wisata sebagai bagian dari strategi pariwisata berbasis masyarakat. Salah satu contoh keberhasilan pengembangan ini adalah Desa Wisata Cibuntu yang telah menjadi desa binaan sejak 2012 dan terus mengalami transformasi melalui berbagai pelatihan, termasuk tata graha homestay, tata boga, hingga pelatihan pemandu wisata. Kegiatan kolaboratif dengan perguruan tinggi, seperti Institut Pariwisata Trisakti, turut memperkuat kualitas SDM lokal serta memperluas cakupan promosi destinasi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan wisata berbasis komunitas menjadi fokus utama Kabupaten Kuningan dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Selain Cibuntu, pengembangan desa wisata juga terlihat di Kaduela dan Japara. Pemerintah daerah bersama Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) serta komunitas pelaku wisata mendorong pembentukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di berbagai desa. Komitmen ini tercermin dalam program-program pelatihan terpadu dan pemberian bantuan alat usaha, seperti tenda dan alat pembuat kopi. Upaya ini selaras dengan prinsip pembangunan desa berkelanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi lokal tetap memperhatikan aspek budaya dan lingkungan.
Kekayaan budaya Sunda di Kabupaten Kuningan terus dijaga dan dirayakan melalui berbagai festival tradisional. Salah satu yang paling dikenal adalah Seren Taun Cigugur, sebuah upacara panen yang melibatkan ritual “ngajayak”, pertunjukan tari Buyung, karinding, wayang golek, hingga pencak silat. Festival ini tidak hanya menjadi media pelestarian kearifan lokal, melainkan juga menarik wisatawan budaya baik domestik maupun mancanegara. Peran komunitas seni seperti Teater Sado serta partisipasi masyarakat setempat memperkuat nilai sosial dan spiritual dari pelaksanaan tradisi ini.
Pemerintah Kabupaten Kuningan juga mendorong revitalisasi budaya melalui pemanfaatan ruang publik desa. Program “Nata Daya” menjadi platform untuk menjadikan alun-alun dan gedung desa sebagai panggung seni dan ekspresi budaya. Di samping itu, pameran seperti Ragam Pesona Kuningan turut mengenalkan beragam seni pertunjukan lokal mulai dari Tari Bokor, Tari Cingcowong, hingga seni kontemporer seperti Rap Kuningan dan pertunjukan kolaboratif. Dengan keterlibatan lebih dari 400 pelaku seni dalam satu event, terlihat bahwa seni dan budaya menjadi instrumen penting dalam pembangunan karakter daerah.
Kabupaten Kuningan memiliki kekayaan alam dan situs sejarah yang berpotensi besar sebagai daya tarik wisata unggulan. Destinasi seperti Waduk Darma dan Talaga Cicerem menjadi fokus pengembangan, dengan pelibatan aktif Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) dan pemerintah provinsi. Gerai Dekranasda yang dibangun sebagai pusat promosi produk kreatif juga berperan dalam memperkenalkan potensi daerah kepada wisatawan. Infrastruktur dan akses yang terus dibenahi diharapkan mampu mengoptimalkan kunjungan wisatawan ke kawasan-kawasan ini.
Di sisi lain, pemanfaatan situs cagar budaya menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam mengembangkan sektor pariwisata berwawasan sejarah. Situs seperti Taman Purbakala Cipari, Situs Van Beck, dan Situs Lingga Sagarahiang diidentifikasi untuk penataan dan revitalisasi agar dapat diakses oleh wisatawan. Pj Bupati Kuningan menyatakan bahwa pelestarian situs bersejarah tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap warisan nenek moyang sekaligus peluang ekonomi baru. Pada 2024, target 4 juta kunjungan wisata telah tercapai sebelum akhir tahun, menandakan efektivitas strategi pengembangan destinasi baru.
Pemerintah Kabupaten Kuningan menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Wakil Bupati Kuningan menyatakan bahwa komitmen kolektif dari seluruh lapisan masyarakat diperlukan agar Kabupaten Kuningan dapat menjadi destinasi wisata yang unggul. Konsep Sapta Pesona—aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan—menjadi nilai utama yang diinternalisasi oleh masyarakat lokal sebagai bagian dari strategi daya tarik wisata. Sikap ramah warga serta kepedulian terhadap kebersihan lingkungan destinasi menjadi indikator penting dalam menarik dan mempertahankan kunjungan wisatawan.
Untuk mendukung keterlibatan masyarakat, Disporapar secara aktif menyelenggarakan pelatihan dan pemberian fasilitas penunjang, seperti alat pembuat kopi dan tenda, kepada komunitas desa wisata. Kegiatan peningkatan peran serta masyarakat juga rutin digelar di tingkat kecamatan sebagai forum edukasi dan sinergi antar pelaku wisata. Pendekatan ini bukan hanya membangun kesadaran akan pentingnya pariwisata, tetapi juga membuka peluang peningkatan pendapatan warga melalui pengelolaan objek wisata berbasis komunitas.
Ekonomi kreatif menjadi salah satu sektor unggulan yang sedang tumbuh di Kabupaten Kuningan. Festival dua mingguan bertajuk Kuningan Night Festival atau Car Free Night menjadi ruang inkubasi yang konsisten bagi para seniman, musisi, pelaku film pendek, dan perajin lokal untuk menampilkan karya mereka. Event ini menjadi sarana hiburan masyarakat sekaligus pasar terbuka bagi produk kreatif. Pemerintah daerah juga membentuk Galeri Ekraf dan sekretariat bersama untuk mengintegrasikan Pokdarwis, Komite Ekraf, dan komunitas budaya dalam satu ekosistem kolaboratif.
Upaya ini ditujukan agar pelaku ekonomi kreatif, khususnya generasi muda, memiliki panggung yang berkelanjutan untuk berekspresi dan menjual produk mereka. Dalam festival tersebut, ragam seni budaya lokal ditampilkan bersama hasil karya UMKM kreatif seperti batik khas Kuningan, kriya bambu, dan kuliner. Dengan sinergi antarlembaga dan pelaku kreatif, sektor ini diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi alternatif dan berdaya saing tinggi. Dukungan kelembagaan serta kehadiran gerai promosi menjadi faktor kunci keberlanjutan inisiatif ini.
Sinergi antarlembaga dan lintas sektor menjadi fondasi penting dalam penguatan pariwisata dan ekonomi kreatif di Kabupaten Kuningan. Pemerintah daerah melalui Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata menjalin kerja sama dengan komunitas, perguruan tinggi, dan pelaku usaha untuk menyusun program berbasis kebutuhan lokal. Inisiasi seperti pengukuhan Gekrafs (Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional) di tingkat kabupaten turut memperluas basis kolaborasi. Gekrafs berperan dalam penyusunan agenda kerja seperti Ekonomi Berdaya, Mind, Soul, dan Body yang dirancang untuk mendorong perubahan fundamental dalam struktur ekonomi kreatif berbasis SDM.
Keterlibatan tokoh masyarakat, komunitas, hingga mahasiswa dalam pelatihan dan kegiatan promosi wisata menunjukkan pendekatan lintas sektoral yang inklusif. Pelaksanaan event seperti Ragam Pesona Kuningan juga menggandeng lebih dari 400 pelaku seni serta puluhan UMKM dan komunitas kuliner lokal. Sinergi ini memperkuat integrasi antara sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, sekaligus menciptakan rantai nilai yang saling menguntungkan antar pelaku. Upaya ini sejalan dengan visi Kabupaten Kuningan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru yang berbasis budaya dan kreativitas.
Pemerintah Kabupaten Kuningan terus mendorong inovasi dalam diversifikasi produk lokal sebagai bagian dari strategi ekonomi kreatif. Lomba Cipta Menu Tanpa Beras yang diadakan dalam rangka Hari Pangan Sedunia menjadi contoh nyata bagaimana pemerintah memfasilitasi pemanfaatan bahan lokal seperti jagung, singkong, dan ubi sebagai alternatif pangan sehat. Kegiatan ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga membuka peluang usaha kuliner berbasis kearifan lokal. Para pemenang lomba berkesempatan mewakili kabupaten ke tingkat provinsi, menunjukkan bahwa kualitas produk lokal telah mendapat pengakuan lebih luas.
Di sisi lain, promosi produk kerajinan lokal seperti batik khas Kuningan—dengan motif Kuda Windu dan Bokor Emas—semakin digalakkan. Kunjungan kerja Ketua Dekranasda Provinsi Jawa Barat ke sentra batik Nisya menjadi bentuk dukungan terhadap pengrajin lokal. Gerai Dekranasda juga berfungsi sebagai ruang promosi produk-produk ekonomi kreatif lainnya, mulai dari kriya hingga produk fashion. Inovasi yang dibarengi dengan penguatan kelembagaan serta promosi aktif melalui event dan media menjadi landasan penting dalam memperluas pasar produk kreatif dari Kuningan ke skala yang lebih luas.
Makanan dan Minuman: Opak Bakar KARTIKA, Peuyeum, Jeruk Nipis Peras, Angling, Nasi Kasreng (Nasi Bungkus ciri Khas Luragung), Golono (Gorengan Khas Dari Luragung), Keripik Becak, Gaplek Luragung dan Raragudig, ketempling, rengginang.
Kuningan mempunyai salah satu stadion yaitu Stadion Mashud Wisnusaputra yang merupakan markas dari Pesik Kuningan. Terletak persis di pusat kota Kuningan, stadion Mashud Wisnusaputra mempunyai kapasitas sebesar 10.000 penonton, termasuk ke dalam stadion kategori D+ untuk tingkat nasional. Di dalam kompleks stadion Mashud Wisnusaputra terdapat gelanggang basket, tenis lapangan, lapangan voli dan lintasan atletik, juga terdapat wisma yang representatif. Selain itu di Luragung terdapat kolam renang Tirta Agung Mas salah satu kolam renang ukuran olimpiade di Jawa Barat.
Berita dari Masjid
Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.