Masjid dengan Kategori Masjid Raya
Masjid dengan Kategori Masjid Raya di KOTA TEBING TINGGI
Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian
Tentang KOTA TEBING TINGGI
Tebing Tinggi (abjad Jawi: تبيڠ تيڠڬي) adalah sebuah kota di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota Tebing Tinggi berada ditengah-tengah Kabupaten Serdang Bedagai, dengan luas wilayah 38,44 km². Pada tahun 2020 memiliki penduduk sebanyak 172.838 jiwa, dengan kepadatan 4.496 jiwa/km², dan pada pertengahan tahun 2024 jumlah penduduk sebanyak 182.226 jiwa.
Menurut Data Badan Informasi dan Komunikasi Sumatera Utara, Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan kota dari 33 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan (Ibu kota Provinsi Sumatera Utara) serta terletak pada lintas utama Sumatra yang menghubungkan Lintas Timur dan Lintas Tengah Sumatra melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing Tinggi, Pematangsiantar, Parapat, Balige dan Siborong-borong.
Tebing Tinggi beriklim tropis dataran rendah. Ketinggian 26 – 24 meter di atas permukaan laut dengan topografi mendatar dan bergelombang. Temperatur udara di kota ini cukup panas yaitu berkisar 25°–27 °C. Sebagaimana kota di Sumatera Utara, curah hujan per tahun rata-rata 1.776 mm/tahun dengan kelembaban udara 80%-90%.
Di Tebing Tinggi terdapat empat sungai yang mengalir dari barat menuju timur. Keempat sungai tersebut adalah Sungai Padang, Sungai Bahilang, Sungai Kalembah, dan Sungai Sibaran. Daerah sekitar Sungai Padang dan Bahilang merupakan wilayah potensi banjir, yaitu Kelurahan Bandar Utama, Persiakan, Bandar Sono, Mandailing, Bagelan, Rambung, Tambangan, Brohal dan Rantau Laban.
Daratan yang terhampar di sepanjang pinggiran Sungai Padang dan Sungai Bahilang itu mulai dihuni sebagai tempat tinggal sekitar tahun 1864. Inilah pernyataan resmi pertama yang dibuat oleh sejumlah tokoh masyarakat Kota Tebing Tinggi pada tahun 1987. Pernyataan ini terdapat dalam makalah berjudul "Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi". Makalah ini kemudian dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.
Dalam makalah itu dipaparkan bagaimana perkembangan daerah ini pasca tahun 1864. Dimana dalam tahun berikutnya, berdasarkan penuturan lisan, seorang bangsawan dari wilayah Bandar Simalungun (sekarang masuk wilayah Pagurawan) bernama Datuk Bandar Kajum bersama pengikut setianya menyusuri sungai Padang untuk mencari hunian baru, hingga kemudian mendarat dan bermukim di sekitar aliran sungai besar itu. Pemukiman itu bernama Kampung Tanjung Marulak (sekarang Kelurahan Tanjung Marulak, Rambutan).
Sayangnya, kehidupan bangsawan dari Bandar ini tidaklah tenteram, karena dia terus saja diburu oleh tentara Kerajaan Raya. Maka, Datuk Bandar Kajum memindahkan pemukimannya ke suatu lokasi yang persis berada di bibir sungai Padang. Pemukiman itu merupakan sebuah tebing yang tinggi. Dia dan para pengikutnya mendirikan hunian di atas tebing yang tinggi itu sembari memagarinya dengan kayu yang kokoh. Pemukiman Datuk Bandar Kajum inilah yang sekarang berlokasi di Kelurahan Tebing Tinggi Lama, Padang Hilir dan kini menjadi lokasi pemakaman keturunan Datuk Bandar Kajum, kemudian yang diyakini sebagai cikal bakal nama Tebing Tinggi.
Pada masa itu, tentara dari Kerajaan Raya suatu kali kembali menyerang Kampung Tebing Tinggi untuk menangkap Datuk Bandar Kajum, tetapi karena tidak berada di tempat, Datuk Bandar Kajum yang bergelar Datuk Punggawa ini selamat. Sedangkan keluarganya, bersama pengikutnya, melarikan diri ke Perkebunan Rambutan yang saat itu dibawah kekuasaan Kolonial Belanda. Dibantu oleh Belanda, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan serangan balasan terhadap tentara Kerajaan Raya ini. Dalam peperangan itu, ia bersama pengikutnya berhasil mengalahkan penyerang.
Setelah suasana kembali aman, untuk tetap menjaga ketentraman daerah itu, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan perjanjian dengan Belanda. Oleh Belanda, daerah kekuasaan Datuk Bandar Kajum ini dilebur menjadi wilayah taklukan Kerajaan Deli. Penandatanganan perjanjian itu, dilakukan Datuk Bandar Kajum dan Belanda di sebuah sampan bernama "Sagur" di sekitar muara sungai Bahilang.
Adalah Datuk Idris Hood bersama Adnan Ilyas, Drs. Mulia Sianipar, Amirullah, Kasmiran, Djunjung Siregar, Mangara Sirait, Sjahnan dan O.K.Siradjoel Abidin yang membuat kertas kerja itu dan berusaha menggali sejarah berdirinya Kota Tebing Tinggi. Namun, sebagian besar tokoh ini sudah wafat, sehingga kalangan generasi muda merasa kesulitan untuk melacak akar historis daerah yang bergelar kota lemang itu. Salah satu di antara tokoh itu yang masih hidup adalah Mangara Sirait, mantan anggota DPRD Tebing Tinggi, yang kini bermukim di belakang LP Tebing Tinggi. Pertanyaan yang paling mendasar saat ini adalah, apakah nama daerah hunian dan tempat tinggal di sepanjang aliran sungai Padang dan sungai Bahilang itu sebelum nama "Tebing Tinggi" muncul dalam data sejarah?
"Daerah itu bernama Kerajaan Padang," tegas Amiruddin Damanik, warga Desa Kuta Baru, Tebingtinggi, Serdang Bedagai.
Jauh sebelum ada kampung Tebing Tinggi, sepanjang aliran sungai Padang dari hulu hingga hilir, daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Padang.
Kerajaan ini dulunya merupakan daerah otonom di bawah Kerajaan Deli yang berpusat di Deli Tua, jelas Amiruddin Damanik yang merupakan mantan penghulu pada masa penghujung berakhirnya kerajaan itu menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Pusat kerajaan ini, lanjut dia, berada di Kampung Bandar Sakti (sekarang Bandar Sakti, Bajenis, Tebing Tinggi) yang merupakan pelabuhan sungai dan menjadi pusat perdagangan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. "Waktu itu sungai merupakan sarana transportasi utama, jadi wajar kalau ibu kota Kerajaan Padang berada di tepian sungai Padang," terang laki-laki yang terlihat masih memiliki ingatan kuat meski fisiknya sudah sepuh.
Pusat administrasi Kerajaan Padang berada di sebuah bangunan bergaya arsitektur Eropa yang saat ini menjadi markas Koramil 013, di Jalan K.F.Tandean. Bangunan itulah yang menjadi saksi bisu keberadaan Kerajaan Padang. Sedangkan istana raja, lokasinya tidak berapa jauh dari pusat administrasi kerajaan.
“Seingat saya, dulu istana itu masih ada di belakang panglong, bersisian dengan Jalan Dr. Kumpulan Pane dan masih terlihat dari persimpangan Jalan KF Tandean. Tapi sekarang entah ada lagi entah tidak,” tutur Amiruddin Damanik, yang mengaku sudah belasan tahun tidak ke kota (Tebing Tinggi).
Historis Kerajaan Padang ini,dapat dilacak juga melalui cerita lisan, bermula dari memerintahnya seorang penguasa bernama Raja Syah Bokar. Bersama raja ini ada beberapa pembantu raja yang dikenal cukup berpengaruh masa itu, mereka adalah Panglima Daud berkedudukan sebagai panglima perang dan Orang Kaya Bakir sebagai bendahara kerajaan.
Di bawah pengaruh raja ini, Kerajaan Padang memiliki daerah yang luas terdiri dari puluhan kampung dan dipimpin kepala kampung masing-masing. Tiap-tiap kampung merupakan daerah otonom tetapi tunduk pada kekuasaan Kerajaan Padang. Di sebelah utara, Kerajaan Padang berbatasan dengan perkebunan Rambutan yang dikuasai Belanda. Di sebelah selatan, Kerajaan Padang memiliki kampung-kampung yang menjadi batas wilayahnya dengan Kerajaan Raya, Simalungun. Kampung itu adalah Huta Padang dan Bartong –saat ini berada di Kec.Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagei. Ke arah barat, kerajaan ini mencapai Kampung Pertapaan –sekarang masuk Kec. Dolok Masihul, Sergai. Demikian pula ke arah timur, kerajaan ini memiliki batas hingga ke Bandar Khalifah—sekarang Kec. Bandar Khalifah, Sergai.
Kerajaan Padang masa itu dihuni penduduk dari multi etnis, baik etnis lokal maupun dari mancanegara. Hingga kini bukti-bukti multi etnisitas itu terlihat dari penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Tebing Tinggi., seperti, Kampung Jawa, Kampung Begelen, Kampung Rao, Kampung Mandailing, Kampung Tempel, Kampung Batak dan Kampung Keling. Penamaan kampung yang terakhir ini berlokasi di pinggiran sungai Padang –saat ini terletak di Kelurahan Tanjung Marulak—menginformasikan bahwa pada masa Kerajaan Padang wilayah itu sudah di huni salah satu suku bangsa dari anak benua India. Bukti arkeologis keberadaan etnis anak benua India itu dengan pernah ditemukannya bangkai sebuah perahu bergaya Hindu mengendap dari kedalaman sungai Padang di Desa Kuta Baru sekira lima tahun lalu. Namun sayang, bangkai kapal itu hancur karena tidak terawat.
Demikian pula dengan keberadaan etnis Tionghoa telah ada seiring dengan perkembangan hubungan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. Etnis Tionghoa kala itu, banyak menghuni pinggiran muara sungai Bahilang. Kelompok mereka dipimpin seorang kapitan. “Hingga kini kalau saya tidak salah kediaman kapitan Cina iu masih ada di Jalan Iskandar Muda berhadapan dengan bekas bioskop Metro,” tegas orang tua yang enggan di panggil kakek itu.
Di samping kedua etnis ini, orang-orang Belanda juga belakangan menghuni Kerajaan Padang . Ini dibuktikan dengan adanya perkuburan mereka yang disebut Kerkof (kuburan) di Kampung Bagelen –sekarang di Jalan Cemara.
Beberapa kampung yang spesifik dari kegiatan penduduk kala itu juga masih terabadikan hingga kini, misalnya Kampung Bicara, Bandar Sono, Kampung Persiakan, Kampung Durian, Kampung Jati, Kampung Sawo, Kampung Kurnia, Kampung Jeruk, Kampung Semut, Kampung Tambangan, Kampung Sigiling dan Kampung Badak Bejuang serta beberapa kampung lainnya.
“Sebelum sampai Sipispis, ada satu kampung bernama Bartong, itulah batas wilayah terjauh Kerajaan Padang,” tegas tokoh sepuh itu yang pernah menjadi tahanan politik di awal Orde Baru. Batas itu diperoleh Kerajaan Padang setelah memenangkan pe perangan dengan Kerajaan Raya. “Perang itu bernama perang Lopot-Lopot, artinya perang intip-mengintip,” jelas penutur ini.
Asal terjadinya perang, ujar Amiruddin, bermula dari seringnya muncul gangguan yang kadang-kadang berakhir dengan pembunuhan dari orang-orang Kerajaan Raya terhadap masyarakat di sekitar Kampung Bulian. Akibatnya, karena ketakutan, penduduk Kampung Bulian banyak yang mengungsi hingga ke Bandar Sakti. Melihat keadaan ini, pasukan Kerajaan Padang kemudian membuat sebuah jembatan di atas sungai Kelembah. Maksudnya untuk mengontrol siapa saja orang-orang yang keluar-masuk ke ibu kota kerajaan.
Ternyata, dibuatnya jembatan itu membuat Kerajaan Raya tidak senang, sehingga mereka selalu saja mengganggu ketentraman warga di Kerajaan Padang. Menghadapi keadaan tidak tenteram itu, Raja Syah Bokar kemudian memerintahkan Panglima Daud untuk mengusir para pengacau itu. Dalam pengusiran itu, Panglima Daud melakukan penaklukan terhadap beberapa kampung lainnya, hingga kemudian panglima Kerajaan Padang ini menghentikan pengejaran di Kampung Bartong. Kampung inilah yang dijadikan batas Kerajaan Padang.
Usai peperangan, Kerajaan Padang harus menghadapi suatu masa pancaroba dalam bentuk perebutan kekuasaan. Dalam suatu acara perburuan di Bandar Khalifah, Raja Syah Bokar karena pengkhianatan panglimanya, mati terbunuh. Lalu, sepeninggal sang raja, kekuasaan dikendalikan oleh OK Bakir. Bendaharawan kerajaan ini menjalankan pemerintahan menunggu dua anak Raja Syah Bokar yang bernama Tengku Alamsyah dan Tengku Hasyim menamatkan sekolahnya di Batavia.
Dalam catatan penutur, di saat jabatan di pangku OK Bakir inilah Kerajaan Padang kemudian takluk di bawah Kerajaan Deli yang otomatis menjadi taklukan Kolonial Belanda. Sebagai bukti ketundukan terhadap Kerajaan Deli, kerajaan induk ini kemudian mengirim salah seorang petingginya menjadi pemangku raja di Kerajaan Padang. Petinggi Kerajaan Deli itu bernama Tengku Jalal yang kemudian menjabat sebagai raja menanti keturunan raja yang wafat pulang dari tugas belajar.
Selesai menamatkan sekolah, kedua keturunan raja ini kemudian kembali ke Kerajaan Padang untuk melanjutkan tampuk kekuasaan. Pemegang tampuk kekuasaan pertama jatuh ke tangan anak tertua yakni Tengku Alamsyah. Baru kemudian diserahkan kepada anak lainnya yakni Tengku Hasyim. Di tangan Tengku Hasyim ini, gejolak menuntut kemerdekaan terhadap Kolonial Belanda menggemuruh. Sehingga akhirnya seluruh wilayah Kerajaan Padang melebur menjadi Tebing Tinggi dengan batas-batas yang ditentukan administrasi Kolonial Belanda. Batas-batas inilah yang hingga kini menjadi patok administrasi Kota Tebing Tinggi.
Akan halnya Datuk Bandar Kajum, berdasarkan pada penuturan historis lebih awal ini, diperkirakan sebagai salah seorang pemuka masyarakat di Kerajaan Padang. Dia, mendapatkan kehormatan dari penguasa Kerajaan Padang dengan gelar Datuk Punggawa karena kesertaannya dalam perang menghadapi Kerajaan Raya. Datuk Bandar Kajum pun kemudian diberikan tanah dan wewenang untuk membangun pemukiman yang kemudian disebut Kampung Tebing Tinggi.
Lalu, dari pelacakan akar historis Kota Tebing Tinggi pada masa lalu, setidaknya harapan masyarakat Kota Tebing Tinggi untuk melakukan pemekaran wilayah, sebenarnya memiliki momentum historisitas yang bisa jadi memiliki validitas kuat. Jika menggunakan data sejarah di atas—meski merupakan data lisan—sebenarnya wilayah Kota Tebing Tinggi sekarang ini lebih kecil dari wilayah Kerajaan Padang yang berpusat di kota itu. Ada puluhan desa dan kampung di hinterland yang dulunya merupakan wilayah Kerajaan Padang.
Namun karena keberadaan wilayah Tebing Tinggi ini hanya didasarkan pada data Kolonial Belanda, keadaannya menjadi riskan. Kota Tebing Tinggi sebagai ibu kota Kerajaan Padang harus kehilangan puluhan kampung yang dulunya merupakan bagian dari Kota Tebing Tinggi masa lalu itu. Penjajahan Kolonial Belanda telah merugikan Tebing Tinggi dalam soal administrasi kewilayahan. Sudah saatnya memang kita menagih kembali daerah Tebing Tinggi yang hilang berdasarkan wilayah Kerajaan Padang. Ayo bung, kita mekarkan Kota Tebing Tinggi berdasarkan data historis itu.
Pada tahun 1887, oleh pemerintah Hindia Belanda, Tebing Tinggi ditetapkan sebagai kota pemerintahan dimana pada tahun tersebut juga dibangun perkebunan besar yang berlokasi di sekitar Kota Tebing Tinggi (hinterland). Pada tahun 1904, menjelang persiapan Tebing Tinggi menjadi kota otonom, didirikan sebuah Badan Pemerintahan yang bernama Plaatselijkke Fonds oleh Cultuur Paad Soematera Timoer.
Pada tanggal 23 Juli 1903, pemerintah Hindia Belanda menetapkan daerah Otonom Kota kecil Tebing Tinggi menjadi pemerintahan kota Tebing Tinggi sebagai daerah otonom dengan sistim desentralisasi.
Pada tahun 1910, sebelum di laksanakannya Zelf Bestuur Padang (Kerajaan Padang), maka telah dibuat titik "Pole Gruth" yaitu pusat perkembangan kota sebagai jarak ukur antara Kota Tebing Tinggi dengan kota sekitarnya. Patok Pole Gruth tersebut terletak di tengah-tengah Taman Bunga di lokasi Rumah Sakit Umum Herna. Untuk menunjang jalannya roda pemerintahan maka diadakan kutipan-kutipan berupa Cukai Pekan, Iuran penerangan dan lain-lain yang berjalan dengan baik.
Pada masa Tebing Tinggi menjadi Kota Otonom maka untuk melaksanakan Pemerintahan, selanjutnya dibentuk Badan Gementeraad Tebing Tinggi, yang beranggotakan 9 orang dengan komposisinya 5 orang Bangsa Eropa, 3 orang Bumiputera, dan 1 orang Bangsa Timur Asing. Hal ini didasarkan kepada Akta Perjanjian Pemerintah Belanda dengan Sultan Deli, bahwa dalam lingkungan Zelfbestuur didudukan orang asing Eropa dan yang dipersamakan dan ditambah dengan orang-orang Timur Asing.
Pada masa itu, adanya perbedaan golongan penduduk, menyebabkan adanya perbedaan pengaturan penguasaan tanah. Untuk mengadakan pengutipan-pengutipan yang disebut setoran retribusi dan pajak daerah, diangkatlah pada waktu itu Penghulu Pekan. Tugas Penghulu Pekan ini juga termasuk menyampaikan perintah-perintah atau kewajiban-kewajiban kepada Rakyat kota Tebing Tinggi yang masuk daerah Zelfbestuur.
Dalam perkembangan selanjutnya informasi Kota Tebing Tinggi sebagai kota Otonom dapat kita baca dari tulisan J.J.Mendelaar, dalam “NOTA BERTREFENDE DEGEMENTE TEBING TINGGI” yang dibuatnya sekitar bulan Juli 1930.
Dalam salah satu bab dari tulisan tersebut dinyatakan bahwa setelah beberapa tahun dalam keadaan vakum mengenai perluasan pelaksanaan Desentralisasi, maka pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Desentralisasiewet berdirilah Gementee Tebing tinggi dengan Stelings Ordanitie Van Statblaad 1917 yang berlaku 1 Juli 1917. Karenanya, tanggal 1 Juli inilah yang menjadi Hari jadi Kota Tebing Tinggi.
Pada masa pendudukan Jepang, pelaksanaan pemerintah di Tebing Tinggi tidak lagi dilaksanakan oleh Dewan Kota yang bernama Gementeeraad. Pemerintah Jepang menggantikannya dengan nama Dewan Gementee Tebing Tinggi. Menjelang Proklamasi (masih pada masa Jepang) pemerintahan kota Tebing Tinggi tidak berjalan dengan baik.
Pada tanggal 20 November 1945, Dewan kota disusun kembali. Dalam formasi keanggotaannya sudah mengalami kemajuan, yang para anggota Dewan Kota terdiri dari pemuka Masyarakat dan Anggota Komite Nasional Daerah. Dewan Kota ini juga tidak berjalan lama, karena pada tanggal 13 Desember 1945, terjadilah pertempuran dengan Militer Jepeng dan sampai sekarang terkenal dengan Peristiwa Berdarah 13 Desember 1945, yang diperingati setiap tahun.
Pada tanggal 17 Mei 1946, Gubernur Sumatera Utara menerbitkan suatu keputusan No.103 tentang pembentukan Dewan Kota Tebing Tinggi, yang selanjutnya disempurnakan kembali dengan nama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, walaupun pada waktu itu ketua Dewan dirangkap Bupati Deli Serdang.
Ketika Agresi pertama Belanda yang dilancarkan pada tanggal 21 Juli 1947, Dewan Kota Tebing Tinggi dibekukan, demikian pula keadaan pada waktu berdirinya Negara Sumatra Timur, Kota Tebing Tinggi tidak mempunyai Dewan Kota untuk melaksanakan tugas pemerintahan.
Pada masa RIS, Dewan kota diadakan berdasarkan peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950. Tetapi dalam proses pelaksanaannya, panitia pemilihan belum sempat menjalankan tugasnya, Peraturan Pemerintah No. 39 tersebut telah dibatalkan.
Menurut undang-undang No.1 tahun 1957, pemerintah di daerah ini menganut asas Otonomi daerah yang seluasnya. Walaupun dalam undang-undang tersebut ditetapkan bahwa daerah ini berhak mempunyai DPRD yang diambil dari hasil Pemilihan Umum 1955, tetapi berdasarkan undang-undang darurat 1956 DPRD PERALIHAN kota Tebing Tinggi hanya mempunyai 10 (Sepuluh) orang anggota.
Setelah keluarnya Undang-Undang No. 5 tahun 1974, tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pelaksanaan pemerintahan di Kota Tebing Tinggi sudah relatif lebih baik dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Tetapi, walaupun sudah memiliki perangkat yang cukup baik, namun karena terbatasnya kemampuan daerah dalam mendukung pengadaan dalam berbagai fasilitas yang di butuhkan, roda pemerintahan di daerah ternyata masih banyak mengalami hambatan.
Pada tahun 1980 Presiden Republik Indonesia telah mengganugerakan tanda kehormatan "PARASAMYA PURNA KARYA NUGRAHA" kepada Kotamadya Dati II Tebing Tinggi sebagai penghargaan tertinggi atas hasil kerjanya dalam melaksanakan pembangunan Lima Tahun Kedua, sehingga dinilai telah memberikan kemampuan bagi pembangunan, demi kemajuan Negara Indonesia pada umumnya daerah khususnya.
Saat lahirnya Reformasi Indonesia pada Mei 1998, Kota Tebing Tinggi juga tak luput dari kerusuhan terhadap etnis Tionghoa. Masyarakat yang saat itu tercekik ekonominya karena harga yang membubung tinggi, beramai-ramai melakukan penjarahan toko-toko milik etnis Tionghoa. Pertokoan Jalan Suprapto dan KH Dahlan tak luput dari penjarahan. Beberapa kilang padi milik etnis Tionghoa juga dijarah. Dampaknya seluruh pertokoan di seluruh kota tutup, bahkan selama tiga tahun sejak penjarahan, kota Tebing Tinggi sepertinya lumpuh pada malam hari karena tidak adanya toko yang berani buka pada malam hari.
Akhir Tahun 2001, banjir besar melanda hampir seluruh pesisir timur Sumatera Utara. Tebing Tinggi juga tidak luput dari bencana besar ini. Dua sungai besar yang membelah kota ini, yakni Sungai Padang dan Sungai Bahilang meluap. Selama tiga hari air merendam yang ada, ditambah dengan lumpuhnya aktivitas masyarakat kota. Beberapa kendaraan antar kota dari dan menuju Kota Medan terjebak banjir dan terpaksa menginap di jalanan kota Tebing Tinggi. Tidak ada korban jiwa dalam banjir ini, namun kerugian materi yang ada, tidak bisa terelakan.
Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kecamatan dan 35 kelurahan dengan luas wilayah mencapai 31,00 km² dan jumlah penduduk sekitar 174.323 jiwa (2017) dengan kepadatan penduduk 5.623 jiwa/km².
Penduduk asli di kota ini adalah suku Melayu. Kota Tebing Tinggi salah satu kota yang sangat beragam berdasarkan suku dan agama di Indonesia. Empat suku yang mendominasi ialah suku Melayu, Batak, Jawa dan Tionghoa. Dan beberapa suku lainnya juga ada di kota ini, termasuk suku Minangkabau, Nias dan Aceh. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik kota Tebing Tinggi tahun 2021 mencata bahwa mayoritas penduduk kota Tebing Tinggi menganut agama Islam yakni 80,08%, kemudian Kristen 13,37% dimana Protestan sebanyak 12,12% dan Katolik 1,25%. Penganut agama Buddha sebanyak 6,39%, Hindu 0,13 % dan Konghucu 0,03%.
Tebing Tinggi Memiliki beberapa Fasilitas Pendidikan Swasta maupun Negeri. Beberapa sekolah Swasta yakni Yayasan Perguruan F. Tandean, Yayasan Nasional Budi Dharma, Yayasan Perguruan Kristen Ostrom Methodist, Yayasan Perguruan Methodist-1, Perg.Nasional Ir.H.Djuanda, Taman Siswa, RA Kartini, Yayasan STM YPD, Perg.Nasional Diponegoro dan masih banyak lagi yang tersebar Di Kota Tebing Tinggi.
Tebing Tinggi juga memiliki 10 Sekolah Lanjutan Pertama Negeri. Antara lain SMP Negeri 1, SMP Negeri 2, SMP Negeri 3 dan Masih Banyak lagi. Tebing Tinggi juga memiliki 4 Sekolah Lanjutan atas Negeri, dan 4 Sekolah Menengah Kejuruan. Diantaranya SMA N 1, SMA N 2, SMA N 3 dan SMA N 4. SMK N 1, SMK N 2, SMK N 3, dan SMK N 4.
Kantor Pemerintahan Untuk Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tebing Tinggi berada Di jalan Gereja No.10 Dan Bersebelahan dengan RS Umum Herna serta didepan Sekolah Swasta Ostrom Methodist.Dan sejak Agustus 2014 Kantor Dinas Pendidikan dipindah ke Jalan K.L.Yos Sudarso di samping SMAN1 dan SMAN3 atau di simpang beo.
Makanan dari kota Tebing Tinggi adalah Lemang. Lemang merupakan makanan dari beras ketan yang dimasak dalam seruas bambu, setelah sebelumnya digulung dengan selembar daun pisang. Gulungan daun bambu berisi tepung beras bercampur santan kelapa ini kemudian dimasukkan ke dalam seruas bambu lalu dibakar sampai matang di atas tungku panjang. Lemang lebih nikmat disantap hangat-hangat, dengan campuran selai bahkan durian.
Pusat penjualan lemang di Tebing Tinggi adalah di seruas jalan bernama Jalan KH Dahlan berseberangan dengan Masjid Raya Tebing Tinggi, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Jalan Tjong A fie. Lemang yang paling terkenal adalah Lemang Batok. Lemang produksi kota Tebing Tinggi sangat terkenal lezat dan lemak. Karena kelezatannya itulah kota Tebing Tinggi juga dijuluki sebagai Kota Lemang.
Sejak sekitar tahun 2005 di Tebing Tinggi muncul makanan baru, yakni Kue Kacang (di kota lain disebut Bakpia). Kue kacang yang terkenal adalah kue kacang bermerek Rajawali, Beo dan Garuda. Kue kacang banyak dijual di terminal Pajak (Pasar) Mini Tebing Tinggi. Karena kelezatannya dan harga yang ekonomis, Kue Kacang mulai menjadi ikon baru kuliner Tebing Tinggi selain Lemang.
Halua merupakan manisan khas melayu. Halua bisa terbuat dari Buah Pepaya yang ditebuk atau dibuat anyaman yang disebut Buku Bemban, Pucuk Pohon Pepaya, Buah Paria, cabai, Meregat, Gelugur dan berbagai bahan lainnya. Meskipun tidak menjadi produksi bisnis, Halua akan tetap ada dalam upacara adat maupun lebaran.
Berita dari Masjid
Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.