Masjid dengan Kategori Masjid Jami
Masjid dengan Kategori Masjid Jami di KAB. PIDIE
Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian
Tentang KAB. PIDIE
.mw-parser-output .geo-default,.mw-parser-output .geo-dms,.mw-parser-output .geo-dec{display:inline}.mw-parser-output .geo-nondefault,.mw-parser-output .geo-multi-punct,.mw-parser-output .geo-inline-hidden{display:none}.mw-parser-output .longitude,.mw-parser-output .latitude{white-space:nowrap}5°3′N 96°1′E / 5.050°N 96.017°E / 5.050; 96.017
Pidie adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini berada di kecamatan Kota Sigli, kabupaten ini merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar kedua di provinsi Aceh setelah kabupaten Aceh Utara. Jumlah penduduk Pidie pada akhir tahun 2023 sebanyak 444.898 jiwa, dengan kepadatan 181 jiwa/km2.
Pidie sebelumnya adalah kerajaan Pedir yang berbeda dengan Aceh, sehingga sampai sekarang Pidie tidak disebut sebagai Aceh Pidie, melainkan kabupaten Pidie saja. Ketika terjadi konfrontasi dengan Portugal, maka kerajaan Pedir menggabungkan diri dengan Kerajaan Aceh untuk melawan Penjajah Portugis. Daerah ini merupakan tempat cikal bakal lahirnya Gerakan Aceh Merdeka atau Hasan Tiro yang kini bermukim di Swedia. Namun anehnya, pergolakan justru paling banyak terjadi di kawasan tetangganya dibanding Pidie sendiri.
Ketika Meureudu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Kerajaan Poli (Pedir) sebagai cikal bakal daerah Pidie. Keberadaan dan sejarah kerajaan-kerajaan tersebut masih perlu ditelusuri lagi. Catatan-catatan sejarah yang ada sekarang, hanya sedikit yang menjelaskan tentang hal itu. Meski demikian, kedatangan Sultan Iskandar Muda ke Negeri Meureudu sebelum menyerang Pahang di Semenanjung Malaya bisa membuka sedikit tabir informasi tersebut.
Informasi mengenai kerajaan-kerajaan di Pidie dan Pidie Jaya sekarang lebih banyak didominasi oleh sejarah daerah tersebut setelah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam. Malah Negeri Meureudu dalam Kerajaan Aceh Darussalam memiliki peranan penting sebagai lumbung pangan. Informasi-informasi tentang keberadaan Negeri Meureudu sebelum Kerajaan Aceh Darussalam masih perlu penelitian lebih lanjut. Untuk membuka tabir informasi ke arah sana, keterangan dari sejarawan H M Zainuddin bisa menjadi informasi awal.
H M Zainuddin dalam makalahnya Aceh Dalam Inskripsi dan Lintasan Sejarah pada seminar sejarah dan budaya Aceh pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II Agustus 1972 mengungkapkan, sebelum Islam masuk ke Aceh, di Aceh telah berkembang kota-kota kerajan hindu seperti: Kerajaan Poli di Pidie yang berkembang sekitar tahun 413 M. Kerajan Sahe sering juga di sebut Sanghela di kawasan Ulei Gle dan Meureudu, kerajan ini terbentuk dan dibawa oleh pendatang dari pulau Ceylon. Kerajaan Indrapuri di Indrapuri. Kerajaan Indrapatra di Ladong. Kerajaan Indrapurwa di Lampageu, Kuala pancu (Ujong Pancu, -red).
Semua kota-kota Hindu tersebut setelah islam kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui Kecamatan Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong. Bahkan menurut H M Zainuddin, masjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun masjid dan benteng-benteng.
Untuk mengungkap tentang keberadaan Kerajaan Sahe/Sanghela itu, maka perlu diadakan penelitian secara arkeologi ke daerah Paya Seutui yang disebut H M Zainuddin tersebut. Dalam makalahnya H M Zainuddin mengatak pernah ada temuan sisa-sisa kerajaan Sahe/Sanghela itu di kawasan persawahan di Paya Seutui, namun ia tidak jelas menyebutkan di Paya Seutui bagian mana itu ditemukan.
Untuk mengetahui keberadaan para pendiri dan penduduk Kerajaan Sahe/Sanghela tersebut, informasi dari asal-usul kerajaan Poli/Pedir di Kabupaten Pidie sekarang mungkin bisa membantu, karena keberadaan negeri Meureudu dan Negeri Pedir keduanya tak bisa dipisahkan.
Selama ini kita mengetahui asal mula daerah Pidie sekarang adalah Kerajaan Poli atau Pedir, tapi ternyata jauh sebelumnya sudah ada Kerajaan Sama Indra sebagai cikal bakalnya. Kuat dugaan, Kerajaan Sama Indra ini berkembang pada waktu yang sama dengan kerajaan Sahe/Sanghela di Meureudu atau bisa jadi satu kesatuan yang hidup saling berdampingan.
Informasi tentang keberadaan Kerajaan Sama Indra ini diungkap oleh sejarawan lainnya, M Junus Djamil dalam sebuah buku yang disusun dengan ketikan mesin tik. Buku dengan judul Silsilah Tawarick Radja-radja Kerajaan Aceh itu diterbitkan oleh Adjdam-I/Iskandar Muda tidak lagi jelas tahun penerbitnya. Tapi pada kata pengantar yang ditulis dengan ejaan lama oleh Perwira Adjudan Djendral Kodam-I/Iskandar Muda, T Muhammad Ali, tertera 21 Agustus 1968.
Buku setebal 57 halaman itu pada halaman 24 berisi tentang sejarah Negeri Pidie/Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur.
M Junus Djamil menyebutkan batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara. Bila merujuk pada batas yang disebutkan tersebut, berarti kerajaan Sahe/Sanghela termasuk dalam wilayah kerjaan Sama Indra di bagian timur.
Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.
Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu, Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.
Tentang kedatangan bangsa Mon Khmer itu juga diungkapkan H Muhammad Said dalam makalah sejarahnya, Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah, pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II, Agustus 1972 Ia menjelaskan, pada tahun 1891, seorang peneliti asing bernama G K Nieman sudah menemukan 150 kata dari bahasa Campa dalam bahasa Aceh. Demikian juga dengan bahasa Khmer (Kamboja) tetapi yang sangat dominan adalah bahasa Melayu dan bahasa Arab.
Sementara tentang pengaruh Hindu di Aceh pernah diungkapkan oleh sejarawan Belanda JC Van Luer, yang mengatakan bahwa sejarah dan budaya Aceh sebelum kedatangan Islam dan bangsa barat telah terisi dengan landasan Hindu-sentris (Indonesia Trade and Society, hal 261)
Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu. Bisa jadi juga, Kerjaan Sahe/Sanghela berdiri setelah Kerajaan Sama Indra ini pecah menjadi beberapa kerajaan kecil, hingga kemudian membentuk sebuah kerajaan tersendiri.
Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indra mengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu. Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan Sama Indra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.
Setelah kerajaan SamaIndra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Aceh selanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.
Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat Kerajaan Aceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.
Masih menurut M Junus Djamil, setelah Sultan Mahmud II Alaiddin Jauhan Syah raja Kerajaan Aceh Darussalam Mangkat, maka Sultan Husain Syah selaku Maharaja Pidie diangkat sebagai penggantinya. Ia memerintah Kerajaan Aceh dari tahun 1465 sampai 1480 Masehi. Kemudian untuk Maharaja Pidie yang baru diangkat anaknya yang bernama Malik Sulaiman Noer. Sementara putranya yang satu lagi, Malik Munawar Syah diangkat menjadi raja muda dan laksamana di daerah timur, yang mencakup wilayah Samudra/Pase, Peureulak, Teuminga dan Aru dengan pusat pemerintahan di Pangkalan Nala (Pulau Kampey).
Kabupaten Pidie memiliki 23 kecamatan dan 730 gampong dengan kode pos 24115-24186 (dari total 243 kecamatan dan 5827 gampong di seluruh Aceh). Per tahun 2010 jumlah penduduk di wilayah ini adalah 378.278 (dari penduduk seluruh provinsi Aceh yang berjumlah 4.486.570) yang terdiri atas 183.675 pria dan 194.603 wanita (rasio 94,38). Dengan luas daerah 316.924 ha (dibanding luas seluruh provinsi Aceh 5.677.081 ha), tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini adalah 133 jiwa/km² (dibanding kepadatan provinsi 78 jiwa/km²). Pada tahun 2017, jumlah penduduknya sebesar 437.740 jiwa dengan luas wilayahnya 3.086,95 km² dan sebaran penduduk 142 jiwa/km².
Berita dari Masjid
Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.