Masjid dengan Kategori Masjid Besar
Masjid dengan Kategori Masjid Besar di KAB. KERINCI
Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian
Tentang KAB. KERINCI
Kabupaten Kerinci adalah kabupaten paling barat di provinsi Jambi, Indonesia. Kabupaten ini merupakan daerah wisata unggulan provinsi Jambi, yang dikenal dengan sebutan sekepal tanah dari surga. Sejak 2011, kabupaten ini beribu kota di Siulak. Sebelumnya pusat pemerintahan terletak di Sungai Penuh, yang saat ini berstatus sebagai kota. (Lihat: Kota Sungai Penuh)
Nama Kerinci berasal dari bahasa Tamil yaitu Kurinji, yang merupakan bunga yang tumbuh di daerah pegunungan di India Selatan.
Kabupaten Kerinci berada di ujung barat Provinsi Jambi dengan memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Bukti kehadiran manusia modern (Homo sapiens) terawal di kawasan Kerinci ditemukan di Gua Ulu Tiangko (Merangin Sekarang). Indikasi tersebut didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Bennet Bronsot dan Teguh Asmar (1941). Mereka berhasil menemukan adanya serpihan batu obsidian dan sisa tulang hewan. Penanggalan menggunakan radiokarbon menunjukkan aktivitas manusia modern pada sekitar 15.000 tahun yang lalu.
Migrasi para penutur Austronesia ke wilayah Kerinci terjadi pada sekitar 3500 tahun yang lalu. Bukti kehadiran mereka terdapat di situs Bukit Arat, dan situs Koto Pekih dengan temuan alat-alat neolitik dan tembikar slip merah. Bukti paleoekologi di sekitar Danau Bento juga menunjukkan kehadiran Austronesia di sana berupa indikasi aktivitas pertanian padi dan pengembalaan kerbau.
Permukiman prasejarah yang lebih muda di Kerinci berlangsung pada abad ke-5 hingga abad ke-9 Masehi dengan tinggalan berupa megalitik Batu Silindrik, bekas rumah panggung, dan kubur tempayan yang berada satu lapisan budaya dengan temuan artefak perunggu dan besi.
Pengaruh Hindu-Buddha di kawasan Kerinci belum terungkap sepenuhnya. Temuan lepas berupa arca perunggu Awalokisterwara dan Dipalaksmi pada zaman Kolonial menunjukkan adanya pengaruh Hindu-Buddha di wilayah ini. Pada Abad ke-14 M, Maharaja Dharmasraya dari Kerajaan Malayu di Hulu Batanghari menganugerahkan Kitab Undang-Undang kepada para Dipati di Silunjur Bhumi Kurinci. Kitab tersebut ditulis oleh Kuja Ali Dipati dan sekarang masih tersimpan sebagai pusaka Luhah Depati Talam, Dusun Tanjung Tanah.
Antara Abad 15-16 M, Kerajaan Jambi mulai menancapkan kekuasaan politiknya di wilayah Kerinci. Kerajaan Jambi mendudukkan pejabatnya sebagai wakil raja bergelar Pangeran Temenggung Mangku Negara di Muaro Masumai (Merangin, Sekarang). Pangeran Temengggung bertugas mengontrol dan menghubungkan para penguasa di wilayah Puncak Jambi yakni Serampas dan Kerinci dengan kekuasaan Kesultanan Jambi di hilir. Bukti hubungan antara Depati (kepala klan) di wilayah Kerinci berupa puluhan naskah surat piagam Raja yang masih disimpan sebagai pusaka hingga kini. Di masa ini, terbentuk persekutuan para Depati di Kerinci seperti Depati IV dan Delapan Helai Kain dengan balai pertemuan berada di Sanggaran Agung.
Pada sekitar abad ke-17 M, para Depati di Kerinci mengadakan perjanjian dengan Kesultanan Inderapura di Pesisir Barat Sumatera. Perjanjian ini dikenal dengan nama Persumpahan Bukit Tinjau Laut karena dilaksanakan di Bukit tersebut. Perjanjian Bukit Tinjau Laut dihadiri oleh pihak Kesultanan Jambi yang diwakili Pangeran Temenggung, pihak Kesultanan Inderapura diwakili oleh Sultan Muhammadsyah atau dikenal dengan gelar Tuanku Berdarah Putih, dan pihak Kerinci yang diwakili oleh Depati Rencong Telang dari Pulau Sangkar dan Depati Rajo Mudo dari Kemantan. Isi perjanjian tersebut adalah untuk saling menjaga keamanan penduduk di tiga wilayah tersebut ketika mereka berniaga ke wilayah lain. Selain itu, perjanjian juga meliputi pemberlakuan mata uang yang berbeda di masing-masing wilayah tersebut “pitis sekeping dibagi tiga” serta aturan-aturan keringanan cukai bagi para peniaga Kerinci di Inderapura.
Pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M,mulai terbentuk pemerintahan federasi lain di luar Depati IV dan VII Helai Kain di Kerinci. Seperti pemerintahan Siulak Tanah Sekudung pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Zainuddin, Kumun Tanah Kurnia pada masa Sultan Masud Badrudin, dan Tanah Pegawai Rajo Pegawai Jenang di Sungai Penuh pada masa Pangeran Sukarta Negara.
Pada awal abad ke-19 M, orang-orang Eropa mulai mempelajari kawasan Kerinci dan penduduknya. Pada tahun 1800, Mr. Campbell seorang berkebangsaan Inggris yang berkedudukan di Muko-Muko masuk ke wilayah Kerinci secara diam-diam. Pada tahun 1901, utusan Belanda bernama Imam Marusa dari Muko-Muko terbunuh di Dusun Lolo dalam perjalanan pulang setelah menghadap Depati IV di Kerinci. Pembunuhan tersebut karena Imam Marusa dituduh memalsukan surat dari Depati IV yang berbunyi mengizinkan Belanda mendirikan loji di Kerinci.
Pada tahun 1903 M, Belanda berhasil membujuk Sultan Rusli, kepala Regent sekaligus Sultan Indrapura untuk untuk membawa pasukan ekspedisi Belanda ke Alam Kerinci. Pasukan Belanda masuk melalui Tapan menuju Koto Limau Sering turun di Sekungkung dan kemudian membuat markas di Rawang. Pasukan Belanda lalu melakukan menaklukkan dusun-dusun di Kerinci untuk tunduk kepada Belanda. Perlawanan keras dari penduduk Kerinci berlangsung di beberapa lokasi yakni Hiang, Pulau Tengah, dan Lolo. Di tiga tempat ini sejumlah pasukan Belanda berhasil dibunuh oleh hulubalang Kerinci. Pada September 1903, seluruh Dusun di Kerinci berhasil ditaklukkan. Untuk sementara waktu, Kerinci menjadi bagian Residentie Palembang sebagaimana wilayah bekas Kesultanan Jambi lainnya.
Pada tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kerinci bagian dari Residentie Djambi atau Keresidenan Jambi setelah Djambi dipisahkan dari Residentie Palembang. Saat itu, Kerinci atau Korintji berstatus onderafdelling di bawah afdeeling Djambi Bovenlanden. Pada tahun 1912, status administratif Kerinci dinaikkan dari onderafdeeling menjadi afdeeling di bawah Residentie Djambi.
Pada tahun 1920-1, afdeeling Korintji dikeluarkan dari Residentie Djambi dan kemudian dimasukkan ke dalam Karesidenan Sumatra's Westkust (Keresidenan Sumatera Barat). Pada masa itu, Kerinci dijadikan wilayah setingkat onderafdeeling di bawah Afdeeling Painan. Pada akhir era Kolonial, Kerinci berada dalam satu onderafdeeling dengan Inderapura.
Berdasarkan Surat Keputusan (Besluit) Kerajaan No. 66 yang dikeluarkan pada tanggal 3 November 1921, wilayah Kerinci secara resmi digabungkan dengan Keresidenan Sumatra Barat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Besluit tersebut yang juga dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1921, No. 798. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa “wilayah yang menjadi bagian dari Afdeeling Kerintji dikeluarkan dari Keresidenan Jambi (Residentie Djambi) dan dimasukkan ke dalam Keresidenan Sumatra Barat (Residentie Sumatra’s Westkust)”. Keputusan ini menandai perubahan administratif yang signifikan dalam pembagian wilayah pada masa penjajahan Belanda, yang mempengaruhi pengaturan dan pengelolaan pemerintahan di wilayah Kerinci dan sekitarnya.
Penggabungan wilayah Kerinci ke dalam Keresidenan Sumatra Barat secara efektif mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1922. Pemberlakuan ini diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 2 yang dikeluarkan pada 29 Desember 1921. Besluit Gubernur Jendral mengenai waktu efektif penggabungan Afdeeling Kerinci ke dalam Residentie Sumatra’s Westkust tersebut kemudian dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1921, No. 799. Keputusan ini menandai perubahan administratif yang penting dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Sumatra Barat pada masa itu.
Seperti yang tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 3, tertanggal 29 Desember 1921, setelah Kerinci digabungkan dengan Keresidenan Sumatra Barat, wilayah tersebut dimasukkan ke dalam Afdeeling Painan dengan status sebagai Onderafdeeling (Onderafdeeling Kerinci). Besluit Gubernur Jendral mengenai status administratif Kerinci dalam Keresidenan Sumatra Barat ini kemudian dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1921, No. 900. Dalam keputusan tersebut, Kerinci diletakkan di bawah pimpinan seorang Kontrolir dari Kementerian Dalam Negeri yang berkedudukan di Sungai Penuh.
Selain itu, Besluit Gubernur Jendral ini juga mengatur berbagai hal terkait administrasi wilayah, termasuk jumlah pegawai yang terdiri dari Kontrolir, Klerk (Juru Tulis), Demang, Asisten Demang, serta penggajian pegawai dan struktur organisasi yang berkaitan dengan polisi, tentara, dan instansi lainnya. Semua perubahan ini merupakan dampak dari penggabungan Kerinci ke dalam Afdeeling Painan di bawah Keresidenan Sumatra Barat, yang memiliki implikasi administratif dan pemerintahan yang luas baik di Kerinci, Afdeeling Painan, maupun di Keresidenan Sumatra Barat dan Keresidenan Jambi.
Pengeluaran Kerinci dari Keresidenan Jambi dan penggabungannya ke dalam Keresidenan Sumatra Barat memang memiliki dampak yang signifikan bagi wilayah tersebut, baik dalam hal administratif, sumber daya manusia, maupun persepsi masyarakat setempat. Bagi warga (elit) Kerinci, perubahan status administratif ini sering dipahami sebagai penurunan status, dari afdeeling menjadi onderafdeeling. Hal ini tentu saja disertai dengan pengurangan dalam berbagai hal, seperti pengurangan jumlah pegawai, baik yang berasal dari kalangan Belanda maupun bumiputera, serta pengurangan personel polisi dan tentara yang sebelumnya ditempatkan di wilayah tersebut.
Di kalangan elit Kerinci, penggabungan ini juga menimbulkan rasa ketidakpuasan, di mana mereka merasa bahwa Kerinci ditempatkan pada posisi 'pinggiran' dalam Keresidenan Sumatra Barat. Rasa terpinggirkan ini muncul karena mereka merasa bahwa perhatian dan sumber daya yang diberikan kepada Kerinci tidak sebanding dengan daerah-daerah lain yang lebih pusat dan lebih berkembang di wilayah Sumatra Barat. Pengabaian terhadap Kerinci, baik dalam hal infrastruktur, pelayanan publik, dan kesempatan ekonomi, semakin memperburuk persepsi tersebut, menyebabkan ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan di kalangan elit dan masyarakat setempat.
Proses perubahan administratif seperti ini tentu tidak hanya berdampak pada struktur pemerintahan, tetapi juga berpengaruh pada identitas sosial dan hubungan antara Kerinci dengan daerah lain di Sumatra Barat. Rasa ketidakpuasan ini mungkin juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dinamika sosial-politik di wilayah tersebut pada masa itu.
Penaklukan Kerinci oleh Belanda pada awal abad ke-20 menjadi titik awal integrasi wilayah tersebut ke dalam sistem administratif yang lebih besar, dan transformasi status administratif ini memiliki dampak signifikan terhadap hubungan antara daerah tersebut dengan pusat kekuasaan kolonial.
Pada awalnya, setelah penaklukan, Kerinci berada di bawah kendali seorang Asisten Residen dan menjadi bagian dari Gouvernement Sumatra’s Westkust. Perubahan yang lebih besar terjadi pada tahun 1906, saat Kerinci digabungkan dengan Jambi yang saat itu berada di bawah Afdeeling dalam Residentie Palembang. Keputusan ini, yang tercatat dalam Besluit Kerajaan No. 54 dan Staatsblad No. 187, memberikan Kerinci status sebagai Onderafdeeling di bawah Afdeeling Djambische Bovenlanden, dengan pengaturan administratif yang lebih rinci.
Penggabungan Kerinci ke dalam Jambi pada tahun 1906 dengan statusnya sebagai Onderafdeeling menciptakan dua distrik administratif di Kerinci, yaitu Distrik Delapan Helai Kain dan Distrik Tiga Helai Kain, serta dua Mendapo Otonom, yakni Sanggaran Agung dan Dusun Lolo. Ini menandakan adanya pemisahan administratif yang lebih terstruktur, meskipun status Kerinci sebagai Onderafdeeling mungkin dianggap sebagai pengaturan yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain yang memiliki status lebih tinggi.
Pengangkatan seorang Kontrolir dari Kementerian Dalam Negeri yang berkedudukan di Sanggaran Agung sebagai kepala pemerintahan di Kerinci pada masa itu, menandakan kontrol yang kuat oleh pemerintah kolonial Belanda atas wilayah tersebut, yang bertujuan untuk memastikan kelancaran administrasi dan pengawasan atas daerah-daerah yang lebih terisolasi atau kurang berkembang seperti Kerinci. Besluit Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 31 yang juga dicatat dalam Staatsblad No. 261, mengatur berbagai aspek administratif ini, termasuk pembagian tugas antara pejabat lokal dan pusat, serta distribusi kekuasaan di wilayah tersebut.
Perubahan administratif ini menjadi bagian dari upaya pemerintah kolonial Belanda untuk lebih mengatur dan mengontrol wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan, serta memastikan bahwa administrasi pemerintahan berjalan sesuai dengan keinginan dan kebijakan kolonial. Sejak tahun 1913 status administratif Kerinci ditingkat menjadi Afdeeling. Dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie over het Jaar 1913 No. 241 dinyatakan bahwa Residentie Djambi dibagi menjadi tujuh afdeeling, dan salah satu di antaranya adalah Afdeeling Kerinci. Afdeeling ini dipimpin oleh seorang Kontrolir dari Kementrian Dalam Negeri dengan ibu kotanya Sungai Penuh. Afdeeling ini dibagi menjadi dua distrik, yaitu Kerinci Ulu (sebelumnya bernama Salapan Helai Kain) dengan ibu kotanya Sungai Penuh dan Kerinci Ilir (sebelumnya bernama Tiga Helai Kain) dengan ibu kotanya Sanggaran Agung. Masing-masing distrik dipimpin oleh seorang Kepala Distrik.
Dalam status Afdeeling inilah Kerinci digabungkan ke Keresidenan Sumatra Barat dan diturunkan statusnya menjadi Onderafdeeling. Seperti disebutkan di atas, ada banyak penilaian yang muncul di kalangan elit Jambi dan Kerinci sehubungan dengan penggabungan Kerinci ke dalam Residentie Sumatra’s Westkust. Apa pun penilaian yang diberikan, baik dalam konteks Jambi secara umum atau Kerinci secara khusus, yang jelas, menurut Batavia, penggabungan Kerinci ke Keresidenan Sumatra Barat dikatakan telah melalui pengkajian yang cukup cermat dan dengan berbagai pertimbangan (sosial, politik, ekonomi, dan budaya) yang saksama. Dan penggabungan Kerinci ke Keresidenan Sumatra Barat tersebut diputuskan dengan dasar hukum (surat keputusan/besluit) yang sangat kuat dan dinyatakan dalam Lembaran Negara Hindia Belanda.
Pada era Kemerdekaan, Kerinci merupakan wilayah setingkat kewedanan di bawah Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci. Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci berada di bawah Keresidenan Sumatera Barat, Subprovinsi Sumatera Tengah, Provinsi Sumatera.
Pada tahun 1954, ketika rakyat Jambi berjuang untuk mendirikan Provinsi Jambi, salah seorang tokoh masyarakat Kerinci datang ke Bangko untuk menghadiri pertemuan dengan Front Pemuda Jambi. Kedatangan beliau dalam rangka untuk mendengarkan aspirasi masyarakat Kerinci terkait keinginan mereka untuk bergabung dengan Provinsi Jambi yang akan dibentuk. Salah satu tokoh Kerinci yang hadir yakni Sati Depati Anom mengatakan bahwa "Pucuk Jambi Sembilan Lurah", tidak lengkap kalau di dalamnya tidak termasuk Kerinci.
Melalui UU No 61 tahun 1958, pada tahun 1958 Kerinci ditetapkan menjadi satu kabupaten yang berdiri sendiri, dan masuk ke dalam wilayah Provinsi Jambi.
Nama "Kerinci" berasal dari bahasa Tamil "Kurinci". Tanah Tamil dapat dibagi menjadi empat kawasan yang dinamakan menurut bunga yang khas untuk masing-masing daerah. Bunga yang khas untuk daerah pegunungan ialah bunga Kurinci (Latin Strobilanthus. Dengan demikian Kurinci juga berarti 'kawasan pegunungan'.
Zaman dahulu, Sumatra dikenal dengan istilah Swarnadwipa atau Swarnabhumi (tanah atau pulau emas). Kala itu Kerinci, Lebong, dan Minangkabau menjadi wilayah penghasil emas utama di Indonesia (walaupun kebanyakan sumber emas terdapat di luar Kabupaten Kerinci di daerah Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin). Di daerah Kerinci banyak ditemukan batu-batuan Megalitik dari zaman Perunggu (Bronze Age) dengan pengaruh Budha termasuk keramik Tiongkok. Hal ini menunjukkan wilayah ini telah banyak berhubungan dengan dunia luar.
Awalnya Kerinci adalah nama sebuah gunung dan danau (tasik), tetapi kemudian wilayah yang berada di sekitarnya disebut dengan nama yang sama. Dengan begitu daerahnya disebut sebagai Kerinci (Kinci atau Kince atau “Kincai” dalam bahasa setempat), dan penduduknya pun disebut sebagai orang Kerinci.
Saat ini, kabupaten Kerinci dipimpin oleh Monadi. Ia dilantik oleh presiden Indonesia, Prabowo Subianto, pada 20 Februari 2025. Monadi menggantikan penjabat bupati, Asraf.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kerinci (disingkat DPRD Kabupaten Kerinci) lembaga perwakilan rakyat daerah tingkat kabupaten yang ada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. DPRD Kabupaten Kerinci memiliki 30 anggota yang tersebar di 11 partai politik, dengan perolehan kursi mayoritas diraih oleh Partai Gerakan Indonesia Raya.
Pimpinan DPRD Kabupaten Kerinci terdiri atas satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang berasal dari partai politik yang memiliki suara terbanyak di dewan.
Perolehan suara sah partai politik peserta Pemilu 2024 dari setiap daerah pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kerinci adalah sebagai berikut.
Pada Pileg 2019, pemilihan DPRD Kabupaten Kerinci dibagi kedalam 5 daerah pemilihan (dapil) sebagai berikut:
Pada Pileg 2024, pemilihan DPRD Kabupaten Kerinci dibagi kedalam 5 daerah pemilihan (dapil) sebagai berikut:
Kabupaten Kerinci memiliki 18 kecamatan, 2 kelurahan dan 285 desa (dari total 141 kecamatan, 163 kelurahan dan 1.399 desa di seluruh Jambi). Pada tahun 2017, jumlah penduduknya sebesar 235.735 jiwa dengan luas wilayahnya 3.355,27 km² dan sebaran penduduk 70 jiwa/km².
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri tahun 2013, jumlah penduduk di wilayah ini adalah 244.018 jiwa (dari penduduk seluruh Provinsi Jambi yang berjumlah 3.532.126 jiwa). Dengan luas daerah 3.355,27 km2 (dari luas Provinsi Jambi 50.058,16 km2), tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini adalah 73 jiwa/km² (dibanding tingkat kepadatan Provinsi Jambi sebesar 71 jiwa/km²).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008, beberapa bekas kecamatan di Kabupaten Kerinci ditetapkan untuk menjadi bagian dari Kota Sungai Penuh. Kecamatan-kecamatan yang dimaksud adalah:
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk Indonesia tahun 2000, sebagian besar penduduk Kabupaten Kerinci berasal dari suku Kerinci. Sementara suku lainnya, banyak berasal dari suku Jawa, dan sebagian dari Minangkabau, Sunda, Batak, Jambi, Tionghoa, dan suku lainnya. Data ini masih termasuk untuk Kota Sungai Penuh sebelum dimekarkan pada tahun 2008. Berikut adalah banyaknya penduduk Kabupaten Kerinci berdasarkan suku bangsa:
Masyarakat Kerinci menganut sistem adat matrilineal. Rumah suku Kerinci disebut "Larik", yang terdiri dari beberapa deretan rumah petak yang bersambung-sambung dan dihuni oleh beberapa keluarga yang masih satu keturunan. Suku Kerinci memiliki banyak tarian tradisional seperti Tarian Asyeik Naik Mahligai, Mandi Taman, Ngayun Luci tarian ini merupakan peninggalan dari tradisi Animisme. Setelah masuknya Islam, Berkembang Tarian yang lebih Islami seperti tari Rangguk, Sike Rebana, dan Iyo-iyo. Suku Kerinci juga memiliki sastra Lisan yang tertuang dalam bentuk Tale, Barendih, Mantau, Nyaho, Kunun dan K'ba. Selain itu,Suku Kerinci memiliki seni bela diridan permainan tradisional seperti Pencak Silat dan Ngadu Tanduk.
Bahasa Kerinci termasuk salah satu anak cabang Bahasa Austronesia, yang dekat dengan Bahasa Melayu Jambi dan Bahasa Minangkabau. Ada lebih dari 130 dialek bahasa yang berbeda di tiap-tiap desa di daerah Kerinci.
Bandar Udara Depati Parbo yang terletak di Sitinjau Laut saat ini melayani jurusan penerbangan Kerinci - Muara Bungo - Jambi ( Wings Air ), rencana jurusan baru Kerinci - Pekanbaru, Kerinci - Jakarta, Kerinci - Palembang, Kerinci - Batam, Kerinci - Padang dan Kerinci - Kuala Lumpur.
Kabupaten Kerinci dikenal sebagai daerah tujuan wisata utama Jambi. Berikut ini adalah beberapa tempat wisata menarik di Kabupaten Kerinci.
Berita dari Masjid
Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.