Provinsi Papua Barat

Temukan Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Besar, Masjid Jami, Masjid Umum, Masjid Bersejarah, Masjid Kampus/Sekolah, Masjid Perumahan, Masjid di Mall/Pasar, Masjid Pesantren, Masjid Kantor, Mushola di kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat

Tentang Papua Barat

.mw-parser-output .geo-default,.mw-parser-output .geo-dms,.mw-parser-output .geo-dec{display:inline}.mw-parser-output .geo-nondefault,.mw-parser-output .geo-multi-punct,.mw-parser-output .geo-inline-hidden{display:none}.mw-parser-output .longitude,.mw-parser-output .latitude{white-space:nowrap}1°37′S 132°14′E / 1.617°S 132.233°E / -1.617; 132.233

Papua Barat (disingkat Pabar; dahulu Irian Jaya Barat) adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di barat laut Provinsi Papua Tengah dan sebelah timur Provinsi Papua Barat Daya. Wilayah Papua Barat mencakup Semenanjung Doberai, Semenanjung Bomberai, dan Wandamen. Ibu kota provinsi ini terletak di Manokwari. Provinsi ini dimekarkan dari Provinsi Papua melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999.

Pada awalnya pembentukan provinsi ini mendapatkan penolakan dari masyarakat sehingga implementasi dari pemekaran ini baru dilaksanakan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003. Walaupun pada 11 November 2004 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat sudah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, namun keberadaan provinsi ini dinyatakan tetap sah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007, nama Irian Jaya Barat diubah menjadi Papua Barat. Papua Barat sebagai pemekaran dari Provinsi Papua merupakan provinsi yang memiliki status Otonomi khusus Papua Barat.

Pada rapat paripurna tanggal 17 November 2022, Undang-undang pemekaran Provinsi Papua Barat Daya dari Papua Barat disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Perkembangan asal usul nama pulau Papua memiliki perjalanan yang panjang seiring dengan sejarah interaksi antara bangsa asing dengan masyarakat Papua, termasuk pula dengan bahasa-bahasa lokal dalam memaknai nama Papua.

Menurut bahasa Tidore kata Papo Ua artinya "tidak bergabung", "tidak bersatu", atau "tidak bergandengan". Maksudnya wilayah Papua itu jauh sehingga tidak masuk dalam daerah induk Kesultanan Tidore walau wilayah-wilayah tersebut tetap tunduk dan berada dibawah persekutuan dagang Tidore bernama Uli Siwa. Dalam pembagiannya wilayah di Papua dibagi menjadi Korano Ngaruha atau Kepulauan Raja Ampat, Papoua Gam Sio (Papua sembilan negeri), dan Mafor Soa Raha (Mafor Empat Soa). Teori lain nama Papua berasal dari bahasa Melayu papuwah, artinya "rambut keriting". Akan tetapi kata ini baru masuk pada kamus bahasa melayu tahun 1812 ciptaan William Marsden yang tidak ditemukan dalam kamus yang lebih awal, sedangkan catatan abad ke-16 Portugis dan Spanyol, kata Papua sudah dipakai dan hanya merujuk kepada penduduk Kepulauan Raja Ampat dan Semenanjung Kepala Burung. Berdasarkan teori lain ini menurut F.C. Kamma nama ini bisa saja berasal dari Bahasa Biak Sup i Babwa yang digunakan untuk menyebut Kepulauan Raja Ampat berarti tanah di-bawah (matahari terbenam), yang kemudian menjadi Papwa lalu Papua.

Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa Tiongkok diberi nama Tungki. Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang pedagang Tiongkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang Tiongkok saat itu untuk Papua.

Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama Janggi. Dalam buku Kertagama 1365 yang dikarang Pujangga Mpu Prapanca “Tungki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Tiongkok Chun Tjok Kwan yang dalam perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua.

Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua, juga termasuk pedagang dari India. Tujuan mereka untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan Dwi Panta dan Samudranta, yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan.

Di era Kerajaan Majapahit (1293-1520), Kitab Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca menyebut wilayah "Wanin" untuk Semenanjung Onin dan "Sran" untuk wilayah selatan Semenanjung Bomberai. Ekspedisi asal Jawa ini diingat oleh para penduduk dalam berbagai cerita lokal di pesisir selatan Semenanjung Doberai dan Semenanjung Bomberai, dari Teluk Patipi, Rumbati hingga Kaimana.

Setidaknya sejak abad ke-15, pedagang muslim dari Asia Tenggara terutama dari berbagai kesultanan di Maluku mengadakan perdagangan dengan Papua, hingga membentuk hubungan dagang eksklusif dan cukup memengaruhi para penghuni Papua terutama bagian Barat hingga abad ke-17. Seperti para pemimpin di Kepulauan Raja Ampat yang mengunjungi Bacan pada tahun 1569 sehingga mendapat gelar membentuk kerajaan, seperti menurut cerita lokal Biak tentang hubungan kapiten Waigeo Gurabesi dengan ekspedisi Sultan Tidore, maupun seperti beberapa kerajaan semenanjung Onin yang mendapatkan gelar dari Kesultanan Tidore.

Pada tanggal 13 Juni 1545, Ortiz de Retez, seorang pengelana Spanyol, meninggalkan Tidore dan berlayar menuju pesisir utara dari pulau Papua, dan kemudian ia menelusuri hilir Sungai Mamberamo. Ia mendeklarasikan wilayah tersebut sebagai milik Raja Spanyol. Ia memberi nama Nueva Guinea (Nugini Baru) karena kemiripan penghuni wilayah tersebut terhadap para penghuni pesisir Guinea di Afrika Barat.

Sebagai usaha untuk memperkuat kedudukannya di Papua, pada tahun 1770, Belanda mengubah nama Papua menjadi Nieuw Guinea yang merupakan terjemahan ke dalam bahasa Belanda atas Gova Guinea atau Nova Guinea dan diterbitkan dalam peta internasional yang diterbitkan oleh Isaac Tiron, seorang pembuat peta berkebangsaan Belanda pada abad ke 18. Dengan dimuatnya ke dalam peta tersebut, maka daerah ini kian terkenal di negara-negara Eropa.

Pada tahun 1774, kekuasaan Belanda atas Papua jatuh ke tangan Inggris. Di mana pada tahun 1775, nakhoda kapal La Tartare, Kapten Forrest dari Inggris berlabuh di Manokwari, Teluk Doreri, dan pada tahun 1793, Papua menjadi daerah koloninya yang baru. Berdasarkan perintah Gubernur Inggris berkedudukan di Maluku, mereka mulai membagi garis pulau dan mendirikan Benteng Coronation di Teluk Doreri. Namun Kamaludin Syah, Sultan Tidore yang berkuasa atas seluruh Kesultanan Tidore (dimana pulau Papua bagian Barat klaim masuk dalam wilayah kekuasaannya milik Belanda) menentang pendiriannya, sehingga pada tahun 1814, Inggris meninggalkan Papua.

Pada 24 Agustus 1828 berdirilah benteng Fort Du Bus di Teluk Trinton oleh A.J. van Delden atas nama Raja Willem I, sebagai penanda mulainya kolonialisme Belanda di Papua dengan diwujudkannya kerjasama dalam bentuk penandatanganan surat perjanjian dengan tiga raja yaitu Raja Namatota, Kassa (Raja Lahakia) dan Lutu (orang kaya di Lobo dan Pulau Miwara). Mereka mendapatkan pengakuan sebagai kepala daerah dibawah Sultan Tidore dan tongkat kekuasaannya yang berkepala perak dari Belanda, di mana secara bersamaan juga diangkat 28 kepala daerah bawahannya. Belanda mengangkat Sultan Tidore sebagai penguasa atas wilayah Papua karena menanggap potensi ekonomi yang kecil, hingga pada tahun 1849, batas wilayah kekuasaan Tidore sudah sampai ke perbatasan modern Indonesia dan Papua Nugini.

Kesultanan Tidore harus mengangkat pajak yang dibayar ke pemerintah Belanda dari wilayahnya ini berupa budak, kayu mesoyi, cengkih, pala, cangkang kura-kura, burung cendrawasih, dll. Bila tidak dibayar, hukuman berupa Perang Hongi akan dilaksanakan atas nama Sultan Tidore oleh kerajaan, kampung, dan kelompok marga bawahan Tidore. Efek pelayaran hongi ini cukup destruktif untuk perdagangan antar pulau, dimana Pulau Kurudu, Waropen yang merupakan pusat perdagangan di Teluk Cendrawasih diserang berkali-kali pada akhir tahun 1840-an hinga pusat perdagangan berpindah ke Teluk Doreri (Manokwari) dan Pulau Roon, Wondama pada tahun 1850-an. Walau kapal pedagang sangat jarang diserang tetapi berita adanya pelayaran hongi menyebabkan penduduk pesisir kabur sehingga tidak akan ada perdagangan pada musim itu.

Belanda baru memulai memerintah langsung wilayah Niew Guinea sejak tahun 1898, parlemen Belanda mensyahkan pengeluaran anggaran sebanyak f.115.000 untuk mendirikan pemerintahan di Nieuw Guinea. Pemerintah Belanda membagi dua bagian daerah Nieuw Guinea, bagian utara dinamakan Afdeeling Noord Nieuw Guinea dengan kontrolir ditempatkan di Manokwari, lalu bagian Barat dan Selatan dinamakan Afdeeling West en Zuid Nieuw Guinea dengan kontrolir ditempatkan di Fakfak (Koentjaranigrat, 1992). Pada tahun 1901, Belanda membeli wilayah New Guinea dari Sultan Tidore menjadi wilayah Hindia Belanda.

Di masa Kebangkitan Nasional Indonesia, beberapa sosok nasionalis Indonesia yang sebagian besar merupakan tokoh pemberotakan komunis pada tahun 1926 ditahan di wilayah Boven-Digoel. Hal ini menjadi cikal bakal terbentuknya gerakan nasionalis Indonesia di wilayah Nugini Barat. Setelah proklamasi kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1945, Republik Indonesia mengklaim semua wilayah Belanda yang sebelumnya merupakan bagian dari Hindia Belanda, termasuk wilayah Nugini Barat. Sosok nasionalis mulai mendirikan organisasi sebagai bagian dari persiapan perang revolusi melawan Belanda. Seperti Marthen Indey memimpin Komite Indonesia Merdeka (KIM) Desember 1946 di Abepura, Gerakan Merah Putih didirikan oleh Petrus Walebong dan Samuel Damianus Kawab di Manokwari, Perserikatan Indonesia Merdeka (PIM) didirikan oleh Lukas Rumkorem di Biak bulan September 1945, dan Silas Papare membentuk PKII pada tahun 1945 di Serui. Untuk menghadang rencana ini, Belanda membentuk Dewan Nugini pada tahun 1961. Untuk melawan ini para pemuda Papua seperti Rumagesan, N.L. Suwages, Papare, Marani di Indonesia membentuk konferensi di Cibogo, Bogor para tanggal 13-15 April 1961. Usaha ini melahirkan Depertan pada Desember 1961, yang membentuk Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (KOTI), dan puncaknya deklarasi Trikora diproklamirkan Sukarno pada 19 Desember 1961.

Provinsi Papua Barat dibentuk melalui proses pemekaran dari Provinsi Papua pada bulan Februari 2003, dengan penamaan awal Irian Jaya Barat. Pemekaran ini sejalan dengan tren pemecahan wilayah yang terjadi di seluruh Indonesia pada era Pasca-Soeharto. Pada 18 April 2007, pengesahan PP No. 24 Tahun 2007 secara resmi mengubah nama Irian Jaya Barat menjadi Papua Barat. Wilayah Papua Barat mengecil akibat pemekaran Provinsi Papua Barat Daya yang disahkan menjadi Undang-undang pada 17 November 2022 oleh DPR dan diresmikan pada 9 Desember 2022 oleh Kemendagri.

Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, selatan dengan Laut Seram dan tenggara berbatasan dengan provinsi Papua Tengah. Batas Papua Barat hampir sama dengan batas Afdeling ("bagian") West Nieuw-Guinea ("Guinea Baru Barat") pada masa Hindia Belanda. Provinsi ini dibagi dalam beberapa kabupaten dan Kota.

DPRPB beranggotakan 45 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali dan 11 orang yang diangkat melalui jalur otonomi khusus, sehingga total anggota DPRPB adalah 56 orang. Pimpinan DPRPB terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik pemilik jumlah kursi dan suara terbanyak serta ditambah 1 Wakil Ketua yang berasal dari jalur otonomi khusus. Anggota DPRPB yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilu 2019 yang dilantik pada 2 Oktober 2019 oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jayapura, Setyawan Hartono, di Auditorium PKK Provinsi Papua Barat. Komposisi anggota DPRPB periode 2019-2024 terdiri dari 11 partai politik dimana Partai Golkar adalah partai politik pemilik kursi terbanyak yaitu 8 kursi disusul oleh Partai NasDem dan PDI Perjuangan yang masing-masing meraih 7 kursi.Berikut ini adalah komposisi anggota DPRPB dalam dua periode terakhir.

Provinsi Papua Barat terdiri dari 7 kabupaten, 86 kecamatan, 21 kelurahan, dan 803 kampung. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 520.740 jiwa dengan total luas wilayah 64.134,66 km².

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010 dari 753.399 jiwa penduduk 2010, jumlah penduduk dari suku asli Papua Barat dan Papua Barat Daya sebanyak 387.816 jiwa (51,47%), dengan rincian Arfak (9,18%), Biak-Numfor (7,47%), Ayfat (6,06%), Baham (2,94%), Yapen (2,49%), Mooi (2,40%), Tehit (2,12%), Wandamen (1,79%), Irarutu (1,57%), Kokoda (1,33%), Inanwatan (1,18%), Wamesa (1,16%), dan suku Papua lainnya (11,8%). Sedangkan penduduk dari luar Papua terbanyak yaitu suku asal Sulawesi sebanyak 117.162 jiwa (15,56%) (termasuk suku Bugis 40.046 jiwa (5,32%), Makassar 17.025 jiwa (2,26%), dan lainnya), suku Jawa sebanyak 111.274 jiwa (14,77%), kemudian asal Maluku 78.855 jiwa (10,47%), asal NTT 14.918 jiwa (1,98%), Minahasa 13.492 jiwa (1,79%), Batak 7.186 jiwa (0,95%), Sunda 7.160 jiwa (0,95%) dan lainnya 2,06%.

Sedangkan pada tahun 2020, dari 542.999 jiwa (setelah dipisah dari populasi Papua Barat Daya), jumlah penduduk suku asli Papua Barat adalah 310.914 jiwa (57.26%), yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa yang secara umum bisa dibagi menjadi kelompok pesisir mayoritas anggota Austronesia (dicetak miring), dan kelompok pegunungan mayoritas anggota non-Austronesia. Suku-suku tersebut adalah: Arfak (Hatam, Meyah, Moire, dan Sougb), Borai, Numfor Doreri, Irarutu, Koiwai, Kuri, Madewana, Mairasi, Maniwak, Mbaham-Matta, Miere, Moru, Moskona, Napiti, Oburauw, Roon, Roswar, Sebyar (Damban and Kemberan), Soviar, Sumuri, Wamesa, Warumba, Waruri, Wondama.

Salah suku yang dikenal dari Papua Barat adalah suku Arfak. Orang Arfak dikenal sebagai suku yang bangga dengan Identitas Kesukuan. Bila orang Arfak keluar dari daerahnya, mereka tidak segan mengaku sebagai bagian dari suku besar Suku Arfak. Dari segi bahasa, Suku Arfak yang memiliki empat sub anak suku memiliki bahasa yang berbeda, kecuali Suku Hatam dan Moilei masih memiliki kemiripan penggunaan tata bahasa.

Senjata suku Arfak dan empat suku anaknya sama yakni panah dan parang. Busur dan panah adalah salah satu paket senjata lengkap bagi suku Arfak. Busur dan Anak Panah lengkap ini disebut Inyomus oleh Suku Sough. Sedangkan di Kampung Irai disebut dengan Inyomusi. Pemilik ilmu hitam di antara orang Arfak disebut sebagai Suwanggi, seseorang yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran yang menggunakan ilmu hitam berbau mistis. Sementara sebutan itu bagi suku Sougb disebut Surer.

Taman Nasional Teluk Cenderawasih adalah Taman Nasional bahari yang berada di perbatasan Papua Barat di Teluk Wondama dengan Papua Tengah di Nabire. Merupakan kawasan lindung dan tempat wisata dengan kekayaan alam yang tinggi dan masih asri, berupa lautan biru dengan pulau-pulau kecil dan memiliki biota laut dan ekosistem yang beranekaragam seperti terumbu karang, padang lamun, hutan pantai, dan mangrove.

Teluk Triton adalah sebuah teluk di Kabupaten Kaimana. Gugusan pulau karang dengan pepohonan hijau di wilayah ini memiliki kemiripan dengan Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat Daya. Kawasan ini memiliki air laut yang jernih dengan terumbu karang yang masih asri serta pantai berpasir putih. Selain wisata alam, Teluk Triton juga memiliki lukisan prasejarah yang berada di dinding tebing.

Pegunungan Arfak adalah pegunungan sekaligus nama kabupaten di Papua Barat. Wilayah ini memiliki lingkungan dan adat yang masih asri dan terjaga. Pegunungan Arfak dihuni oleh Suku Arfak yang masih menjaga tradisinya misalnya rumah kaki seribu. Pegunungan Arfak memiliki dua danau yang berdekatan yaitu Danau Anggi Giji dan Anggi Gida. Wisata lain yang dapat dilakukan antara lain pengamatan satwa endemik seperti kupu-kupu, cenderawasih dan bowerbird yang dikenal sebagai burung pintar karena pembuatan sarangnya yang unik.

Gunung Botak adalah gunung di Kabupaten Manokwari Selatan yang dilewati oleh Jalan Trans-Papua di jalur Manokwari-Bintuni. Gunung ini tidak benar-benar gundul. Pepohonan besar memang tidak tampak di seluruh penjuru pandang, tapi tetumbuhan pendek, semak dan rumput liar menyelimuti punggung gunung, membuatnya terlihat seperti gundukan raksasa berwarna hijau kekuningan. Butuh mobil dengan spesifikasi khusus karena jalanannya berbukit dan mencakup jalan tanah liat yang belum beraspal. Transportasi umum belum tersedia, yang ada mobil sewa dengan ongkos Rp2,5 juta untuk perjalanan dari Manokwari menuju Bintuni.

Artikel bertopik Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.