Masjid dengan Kategori Masjid Raya
Masjid dengan Kategori Masjid Raya di KOTA SORONG
Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian
Tentang KOTA SORONG
Kota Sorong adalah ibu kota provinsi Papua Barat Daya, Indonesia. Kota ini dikenal dengan sebutan Kota Minyak, di mana Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) mulai melakukan aktivitas pengeboran minyak bumi di Sorong sejak tahun 1935. Sorong adalah kota terbesar kedua di wilayah Papua, setelah Kota Jayapura.
Kota Sorong dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten dengan sumber daya alam yang potensial, menjadikan Kota Sorong sebagai kota industri barang dan jasa yang penting di Papua. Sebagai kota pelabuhan, Kota Sorong terletak sangat strategis karena berdekatan dengan ALKI 3 yang merupakan salah satu alur pelayaran internasional. Hal itu menjadikan Kota Sorong sebagai 'gerbang' yang mempertemukan rute pelayaran luar negeri dan dalam negeri di Kawasan Timur Indonesia.
Nama Sorong berasal dari kata soren. Soren dalam bahasa Biak memiliki arti "laut yang dalam dan bergelombang". Kata soren digunakan pertama kali oleh pelaut suku Biak yang berlayar pada zaman dahulu dengan perahu-perahu layar dari satu pulau ke pulau lain hingga kemudian tiba dan menetap di Kepulauan Raja Ampat. Suku Biak inilah yang memberi nama "Daratan Maladum" (sekarang termasuk bagian dari wilayah Kota Sorong) dengan sebutan "Soren" yang kemudian dilafalkan oleh para pedagang Tionghoa, misionaris Eropa, Maluku, dan Sangir dengan sebutan Sorong.
Namun versi lain menyebutkan nama Sorong berasal dari singkatan salah satu anak usaha dari kartel dagang VOC yang bernama Seismic Ondersub Oil Nieuw Guinea (SOrONG) yang bergerak dalam bidang eksplorasi minyak.
Berdirinya kota Sorong tidak lepas dari sejarahnya sebagai "Kota Minyak". Berawal sejak kedatangan perusahaan minyak Belanda di daerah Semenanjung Doberai, hingga ditemukannya sumber minyak pada tahun 1908 menjadi penanda awal pendudukan Belanda wilayah tersebut. Sebelumnya, tepatnya pada tahun 1906, Belanda telah mendirikan pos kolonial di Pulau Doom sebagai pusat administrasi di wilayah itu. Pada tahun 1932, pengeboran sumur minyak pertama kali dilakukan. Perusahaan minyak Belanda, Royal Dutch Shell melalui anak usahanya Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Hindia Belanda kemudian mendirikan Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) sebagai perusahaan tambang minyak bumi di wilayah Papua pada tahun 1935. Sebelum dipindahkan ke Sorong, Shell (NNGPM) pada awalnya mendirikan kantor pertamanya di Pulau Doom, sebuah pulau yang terletak berhadapan di sebelah barat daya Sorong.
Di era sebelum kemerdekaan pula, penghuni Sorong, seperti Suku Moi di Kota Sorong saat ini dan Suku Salawati di Kabupaten Raja Ampat saat ini, sudah menjalin kontak dengan masyarakat luar yang berbeda suku dan agama. Hubungan itu, antara lain, dengan Kerajaan Tidore di Maluku Utara dan bahkan Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Kontak itu terjalin dalam hubungan perdagangan (barter), penyebaran agama, dan perkawinan yang terjadi sejak abad ke-17.
Pembukaan ladang minyak di Sorong turut memperluas pengaruh Belanda di Papua. Orang dari berbagai daerah datang ke Sorong untuk menjadi pekerja. Mereka berasal dari Papua Barat dan Papua, Maluku, Maluku Utara, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hal itu juga ikut menjadikan Sorong sebagai target militer yang penting bagi musuh Belanda. Pendudukan Jepang di Sorong terjadi pada peristiwa Kampanye Nugini yang merupakan bagian dari Perang Pasifik dalam Perang Dunia II. Dalam perang tersebut pasukan Kekaisaran Jepang menyerang wilayah Nugini Belanda, termasuk Sorong. Pada tahun 1942, pasukan Jepang berhasil menduduki wilayah Sorong. Jepang menjadikan Sorong sebagai pusat operasi militer dengan menempatkan 12.500 pasukan pada pangkalan udara di Sorong. Pada pertengahan tahun 1943 hingga akhir tahun 1944, Sorong menjadi target serangan bom dan serangan udara pesawat tempur Sekutu. Pasukan Sekutu melalui Kampanye Nugini Barat berhasil menumpas pasukan Jepang pada Pertempuran Sausapor (Operasi Globetrotter). Pendudukan Jepang di Sorong berlangsung hingga Juni 1944 dan berakhir saat Jepang secara resmi menyatakan menyerah kepada Sekutu yang menandakan berakhirnya Perang Dunia II.
Semasa perang antara Sekutu melawan Jepang, pemerintah Belanda membentuk satuan pemerintahan sipil yang diberi nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Setelah berakhirnya perang, satuan pemerintahan ini masih berkuasa hingga tahun 1947. Pada tahun 1947, pemerintah Belanda mulai menyusun struktur pemerintahan dengan pembagian-pembagian wilayah atas daerah besar dan kecil. Sorong ditentukan sebagai onderafdeling yang meliputi distrik-distrik di Kepulauan Raja Ampat dan Semenanjung Doberai. Onderafdeling ini dipakai oleh seorang Hoofd van Plaatslijk Bestuur (HvPB) dan berkedudukan di Sorong-Doom. Kota Sorong-Doom ditentukan sebagai ibu kota Afdeling West Nieuw Guinea yang meliputi seluruh wilayah Semenanjung Doberai dan Fakfak (sekarang Kabupaten Fakfak). Afdeling West Nieuw Guinea ini dikepalai oleh seorang asisten residen, sedangkan residennya sebagai kepala provinsi berkedudukan di Hollandia. Hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1949. Pada tahun 1950, Pemerintah Belanda berusaha memisahkan Papua melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), maka Pemerintah Belanda lebih memperkuat kedudukannya dengan membentuk Satuan Pemerintahan yang diberi nama Het Gouverment Van Nederlands Nieuw Guinea (Netherlands New Guinea atau Nugini Belanda) dikepalai oleh seorang gouvernelir berkedudukan di Jayapura.
Mulai pada saat itu terbentuklah beberapa afdeling definitif di seluruh Irian Barat (Nederlands Nieuw-Guinea), diantaranya Afdeling West Nieuw Guinea yang meliputi seluruh wilayah kepala burung (vogelkop) dan Fakfak dikepalai oleh seorang residen yang berkedudukan di Sorong-Doom. Hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1950, karena luasnya wilayah onderafdeling Sorong maka pada tahun 1952, onderafdeling kemudian dipecah menjadi 2 (dua) onderafdeling yaitu:
Masing-masing dikepalai oleh seorang Hoofd van Plaaslijk Bestuur (HvPB), dan keduanya berkedudukan di Sorong-Doom.
Sorong-Olie (Inggris: Sorong-Oil; Indonesia: Sorong-Minyak) saat itu juga disebut Sorong-vaste-wal (Sorong-Daratan). Keduanya adalah sebutan dalam bahasa Belanda untuk wilayah yang sama, yaitu Kota Sorong saat ini. Sebutan Sorong-Olie dan Sorong-vaste-wal saat itu digunakan untuk membedakan antara "Sorong-Daratan" dengan "Sorong-Doom".
Pada tahun 1956, Afdeling West Nieuw Guinea kemudian dipecahkan dan dibentuk menjadi 2 (dua) afdeling, yaitu Afdeling West Nieuw Guinea dan Afdeling Fakfak. Bersamaan dengan pemecahan tersebut maka residen West Nieuw Guinea yang tadinya berkedudukan di Sorong-Doom kemudian dipindahkan ke Manokwari pada Maret 1957.
Pada tahun 1959, Hoofd van Plaatselijk Bestuur (HvPB) Sorong-Olie dipindahkan dari Sorong-Doom ke Remu sebagai ibu kota onderafdeling Sorong-Olie yang baru (Kota Sorong saat ini), sedangkan Sorong-Doom tetap sebagai Ibukota onderafdeling Raja Ampat.
Remoeland atau Remoe Complex (Remu) adalah sebuah lokasi baru di Sorong Daratan, terletak 6 km di sebelah selatan pusat perminyakan yang dibuka oleh NNGPM dan diserahkan kepada pemerintah Belanda.
Setelah Perang Dunia II berakhir, industri perminyakan baru benar-benar berkembang pesat di Sorong. Minyak bumi adalah salah satu alasan Belanda ingin mempertahankan wilayah Papua (Irian Barat). Perpindahan kantor NNGPM dari Sorong-Doom ke Sorong-Olie ikut berkontribusi dalam membentuk suatu komunitas masyarakat yang kondisi kehidupannya sangat berbeda dengan kondisi kehidupan masyarakat di wilayah lain di West Nieuw Guinea. Untuk mendukung pekerjaan pertambangan minyak di Sorong, NNGPM membangun sejumlah kawasan pemukiman dengan fasilitas lengkap untuk karyawannya. Kawasan pemukiman Klademak I, Klademak II, dan Klademak III dibangun bagi para pekerja buruh yang berasal dari berbagai daerah lain di Indonesia. Begitu juga dengan kawasan pemukiman di Krani Heuvel (saat ini Puncak Cendrawasih) diperuntukkan bagi para karyawan administrasi NNGPM. Terdapat pula kawasan pemukiman untuk para pekerja Papua dan Tionghoa, serta pemukiman di Lido untuk para pekerja ekspatriat Eropa. NNGPM juga membangun fasilitas-fasilitas penunjang seperti pembangkit listrik, toko, lapangan-lapangan olahraga (tenis dan hoki), dan rumah sakit. Terdapat surat kabar lokal berbahasa Belanda Sorong Post yang terbit setiap hari Minggu. Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) membuka jalur logistik reguler antara Sorong dengan Hollandia (Jayapura), Merauke, dan Singapura. Maskapai penerbangan Belanda KLM juga membuka jalur penerbangan setiap dua minggu antara Sorong (Bandar Udara Jeffman) dan Biak. Pada tahun 1956 populasi penduduk di Sorong-Olie adalah 7.689 jiwa, terdiri dari 3.075 orang Papua, 3.728 orang Asia (Indonesia dan Tionghoa), dan 886 orang Eropa. Populasi penduduk di wilayah Sorong Daratan tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan 1.667 jiwa penduduk di wilayah Sorong-Doom.
Tahun 1954 adalah tahun puncak bagi NNGPM, ketika setengah juta ton minyak (yang nilainya sebesar 26,4 juta Gulden) berhasil diekspor dari Sorong. Namun setelah itu, penambangan minyak mulai menurun secara drastis. Dengan adanya gejolak politik, muncul anggapan bahwa masa depan pertambangan minyak di Sorong akan suram. Tahun 1961 sebagian besar pekerja ekspatriat Eropa mulai meninggalkan Sorong. Sejumlah tentara Belanda ditempatkan di Distrik Klademak untuk mengawal keberangkatan mereka. Pada akhirnya, NNGPM menjual seluruh asetnya sebelum Republik Indonesia menguasai Irian Barat. Pertambangan minyak di Sorong kemudian diambil alih oleh Perusahaan Minyak Negara (Permina) yang kini telah berganti nama menjadi Pertamina.
Sejak tanggal 1 Oktober 1962 penyerahan Pemerintahan atas Irian Barat kepada Badan Penguasa Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Pada 1 Mei 1963 penyerahan Irian Barat ke Pemerintah Republik Indonesia.
Setelah penyerahan Irian Barat secara penuh oleh Penguasa Sementara PBB atau UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) kepada pemerintah Republik Indonesia, maka pada tahun 1965 berdasarkan berbagai pertimbangan kemudian diangkat seorang wakil Bupati Koordinator yang berkedudukan di Sorong, dengan tugas:
1. Mengkoordinir pelaksanaan tugas pemerintahan oleh Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Sorong, Raja Ampat, Teminabuan dan Ayamaru.
Pada tahun 1969, dengan selesainya pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) maka perkembangan status dari Kota Administratif menjadi Kota Otonom ini tidak ada perubahan dalam pembagian wilayah dan keadaan sampai dengan akhir tahun 1972 adalah sebagai berikut:
Pembagian wilayah di Sorong seperti tersebut di atas berlaku sampai tahun 1973 saat dilakukannya penghapusan wilayah-wilayah Kepala Daerah Setempat dan sejumlah distrik dan dibentuknya Pemerintahan Wilayah Kecamatan Tahap Pertama Tahun 1973-1974.
Kota Sorong pada mulanya merupakan salah satu kecamatan yang dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Sorong. Namun dalam perkembangannya telah mengalami perubahan sesuai Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1996 tanggal 3 Juni 1996 menjadi Kota Administratif Sorong. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang no. 45 Tahun 1999 Kota Administratif Sorong ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom sebagai Kota Sorong.
Secara geografis Kota Sorong terletak dibawah garis khatulistiwa, antara koordinat 131°-51' Bujur Timur dan 0° 54' Lintang Selatan dengan ketinggian berkisar 3 meter di atas permukaan laut pada Semenanjung Doberai, di ujung barat laut Pulau Papua.
Luas wilayah Kota Sorong mencapai 1.105,00 km² atau sekitar 1.13% dari total luas wilayah Papua Barat. Wilayah kota ini berada pada ketinggian 3 meter dari permukaan laut. Keadaan topografi Kota Sorong sangat bervariasi terdiri dari pegunungan, lereng, bukit-bukit dan sebagian adalah dataran rendah, sebelah timur di kelilingi hutan lebat yang merupakan hutan lindung dan hutan wisata.
Keadaan geologi Kota Sorong terdapat hamparan galian golongan C seperti batu gunung, batu kaIi, sirtu, pasir, tanah uruk dan kerikil. Sedangkan jenis tanah yang terdapat di Kota Sorong adalah tanah latosal putih yang terdapat di pinggiran pantai Tanjung Kasuari dan tanah fudsolik merah kuning yang terdapat dihamparan seluruh kawasan Distrik Sorong Timur. Keadaan permukaan Kota Sorong yang terdiri dari gunung, buki-bukit dan dataran yang rendah yang ditandai dengan jurang, dan wilayah ini dialiri sungai-sungai sedang, kecil seperti sungai Rufei, sungai Klabala, sungai Duyung, sungai Remu, sungai Klagison, sungai Klawiki, sungai Klasaman dan sungai Klabtin.
Kota Sorong beriklim hutan hujan tropis (Af) dengan suhu udara minimum di Kota Sorong sekitar ±23 °C dan suhu udara maksimum sekitar ±33 °C. Curah hujan tahunan tercatat berada pada kisaran 2.700 hingga 3.200 mm. Curah hujan cukup merata sepanjang tahun serta tidak terdapat bulan tanpa hujan dan banyaknya hari hujan setiap bulan antara 9–27 hari. Kelembaban udara rata-rata tercatat ±83%.
Secara administratif, Kota Sorong terdiri dari 10 distrik (setingkat dengan kecamatan), yaitu Sorong, Sorong Barat, Sorong Kepulauan, Sorong Timur, Sorong Utara, Sorong Manoi, Sorong Kota, Malaimsimsa, Klaurung dan Maladum Mes. Kemudian dibagi lagi atas 41 kelurahan yang tersebar pada masing-masing distrik tersebut. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 275.618 jiwa dengan luas wilayah 656,64 km² dan sebaran penduduk 420 jiwa/km².
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Sorong tahun 2022, dengan Luas wilayah 1.105 km² jumlah penduduk Kota Sorong pada tahun 2022 mencapai 295.809 jiwa, yang terdiri atas 155.628 laki-laki dan 140.181 perempuan. Jumlah penduduk laki-laki masih lebih banyak daripada penduduk perempuan dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) sebesar 111,08, yang artinya dalam setiap 100 orang penduduk terdapat 111 orang penduduk laki-laki. Bila dilihat dari komposisi kelompok umur, struktur penduduk Kota Sorong tergolong sebagai penduduk usia muda pada usia produktif 20-34 tahun. Selain itu, jumlah kelahiran (Usia 0-4 tahun) di Kota Sorong juga tergolong tinggi. Jumlah penduduk usia belum produktif (0-14 tahun) adalah sekitar 23,33% terhadap total penduduk. Sedangkan penduduk usia non-produktif adalah sebesar 4,31% terhadap total penduduk. Dependency ratio Kota Sorong sebesar 38,20% yang artinya dari 100 orang yang masih produktif harus menanggung beban hidup sekitar 38 orang yang belum produktif (0-14 tahun) dan penduduk usia non-produktif (65 tahun keatas). Disamping itu, beban tanggungan penduduk perempuan ternyata lebih tinggi daripada penduduk laki-laki, dimana dependency ratio perempuan sebesar 30,40% sedangkan dependency ratio laki-laki hanya sebesar 37,14%.
Penyebaran penduduk Kota Sorong di setiap distrik cenderung tidak merata. Distrik yang memiliki wilayah lebih luas tidak diiringi dengan jumlah penduduk yang lebih banyak. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk lebih memilih tinggal di distrik yag lebih potensial secara ekonomi dan memiliki infrastruktur serta fasilitas umum yang lebih lengkap. Distrik Manoi berada pada peringkat tertinggi perihal kepadatan penduduk yakni 443 jiwa per km2. Sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat pada Distrik Maladum Mes yakni 92 jiwa per km2. Selain itu, Distrik Sorong Kepulauan juga memiliki kepadatan penduduk terendah karena karakteristik wilayahnya yang berupa kepulauan sehingga memiliki penduduk yang lebih sedikit
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2023, menunjukkan bahwa persentase agama penduduk kota Sorong mayoritas adalah Kekristenan yakni 54,80% (Kristen Protestan 47,25% dan Katolik 7,55%), kemudian jumlah pemeluk agama Islam berjumlah 44,92%, lalu Buddha 0,19% dan Hindu 0,08%.
Komoditas unggulan Kota Sorong yaitu sektor pertanian, Perkebunan dan jasa. Sub sektor perkebunan komoditas yang diunggulkan berupa Kakao, Kelapa dan cengkih. Pariwisatanya yaitu wisata alam, wisata adat dan budaya.
Sebagai penunjang kegiatan perekonomian, di provinsi ini tersedia 1 pelabuhan, yaitu Pelabuhan Sorong (Port of Sorong) dan 1 bandar udara, yaitu Bandar Udara Domine Eduard Osok. Sebelum adanya Bandar Udara Domine Eduard Osok, Kota Sorong menggunakan Bandar Udara Jeffman di Pulau Jeffman. Untuk mencapai bandar udara tersebut penumpang pesawat terbang menggunakan angkutan kapal dari Kota Sorong. Saat ini bandar udara tersebut sudah tidak digunakan lagi.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Sorong dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2018 nilainya telah mencapai sekitar Rp 15,1 triliun. Besar kecilnya perkembangan PDRB Kota Sorong berpengaruh terhadap besar kecilnya sumbangan PDRB Kota Sorong terhadap pembentukan PDRB Provinsi Papua Barat.
Sektor industri pengolahan merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi terbesar dalam pembangunan perekonomian Kota Sorong. Kota Sorong terkenal sebagai salah satu kota dengan peninggalan sejarah bekas perusahaan minyak milik Belanda Heritage Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Beberapa kawasan wisata lainnya adalah taman rekreasi pantai Tanjung Kasuari dengan pesona pasir putihnya, termasuk kawasan pantai pada Pulau Raam, Pulau Soop, Pulau Item dan Pulau Doom.
Fasilitas wisata lainnya adalah taman rekreasi pantai Tanjung Kasuari dengan pesona pasir putihnya, Pulau Raam, Pulau Soop dan Pulau Doom yang terkenal dengan pantainya yang indah. Juga pulau Dofior yang terdapat Tugu Selamat Datang di Kota Sorong dengan menggunakan bahasa Moi (suku asli di Kota Sorong) yang ramah dan bersahabat menyambut pengunjung yang datang di Kota Sorong. Juga tembok Berlin yang terkenal dengan pemandangan panorama laut dan keindahan alam menjelang senja.
Berita dari Masjid
Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.