Ahmad subagja | Al-Muhajirin BTN Sandik Indah
2021-05-02 15:20:25MENETAPKAN “ISTAWA” DENGAN MAKNA “BERSEMAYAM” ADALAH BUKTI PERBUATAN BID’AH DAN PENYIMPANGAN AQIDAH
MENETAPKAN “ISTAWA” DENGAN MAKNA “BERSEMAYAM” ADALAH BUKTI PERBUATAN BID’AH DAN PENYIMPANGAN AQIDAH
PROLOG
Dipersembahkan secara khusus kepada saudara-saudaraku dan keluarga besarku tercinta dalam rangka mencari kebenaran serta menjauhi bid’ah dan kesesatan
Saran ku buat semuanya, mari kita belajar ilmu secara komprehensif melewati batas fanitesme dan ujub kelompok dan belajarlah ilmu agama terlebih dahulu pada ulama-ulama yang lebih paham dan ahlinya yakni para ulama salaf yang disebut sebagai “jumhur ulama ahlussunnah wal jamaah” atau pendapat-pendapat ulama lain yang telah mengikuti mereka dengan baik melalui telaah isi (analisa) mendalam atas kandungan kitab-kitab mereka dengan menempuh berbagai metode yang benar dan memenuhi kaidah-kaidah ilmiyah keilmuan, sesuai kemampuan yang Allah Swt karuniakan atas diri kita agar tidak kehilangan keluasan dan perbendaharaan ilmu mereka sembari memohon petunjuk dan perlindungan kepada Allah untuk menolong diri kita dari penyimpangan atau rusaknya aqidah.
- Makna Hakiki “Istawa” Bukan “Bersemayam (Istiqarrar)”
- Penyebutan Kata Istawâ Dalam Al-Qur’an
Penyebutan kata Istawâ dalam al_Qur’an yang disandarkan kepada Allah berulang dalam tujuh surat, sebagai berikut:
Qs. Surat Thaha: 5; Yunus 54; Al-A’raf: 3; Ar-Ra’ad: 2; Al-Furqan: 59; As-Sajadah: 4; dan Al-Hadiid: 4
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Artinya:
“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy”.
QS Ar-Rahman: 27;
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya:
“Yang Maha Penyayang bersemayam di atas ‘Arsy.”
Kedua ayat dalam delapan surah di atas bukan merupakan ayat muhkamat melainkan termasuk ayat mutasyaabihat yakni ayat-ayat sifat Allah yang hanya diketahui oleh Allah makna hakikinya atau dalam ilmu Bahasa disebut Denotative, artinya makna yang ‘sebenarnya’ dibiarkan sebagaimana lafaznya (tafwidh) dan sebagaimana telah diketahui (ma’lum) yakni bahwa Allah sendiri telah menyebutkan kata “Istawa” dalam al-Qur’an, sedangkan makna Majaz (kinayah/kiasan) dari Istawa atau yang disebut makna konotative adalah sesuai dengan kelayakan dan keagungan sifat bagi Allah dan mustahil bertentangan dengan ayat-ayat sifat lain bagi-Nya dalam al-Qur”an.
Kata “Istawa” dalam Al-Qur’an memiliki banyak makna yang disebut dengan Makna Konotatif, hal ini membuktikan adanya ruang penakwilan bagi ayat-ayat Istawa Allah sebagaimana yang ditempuh dan menjadi mazab para ulama salaf yakni mazab Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Islam dari penyimpangan terutama dikalangan masyarakat awam maupun dari usaha-usaha pihak tertentu yang secara terselubung menyusupkan kesesatan ke dalam ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yahudi yang merubah alkitab dengan lisan mereka lalu mengatakan itu dari sisi Allah padahal mereka berkata dusta (Ali Imran: 78). Selain itu kata “Istawa” ditakwilkan sesuai dengan makna dan kaidah yang berlaku dalam bahasa Arab dengan makna yang menjadi hak Allah tanpa merubah lafaznya karena Allah sendiri menyebutkan bahwa al-Qura’an diturunkan dalam Bahasa orang Arab.
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Di menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)”. {QS. Az-Zukhruf (43): 3}
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“dengan bahasa Arab yang jelas”. {QS. As-Syu’ara (26): 195}
فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا
“Maka sesungguhnya telah Di mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang”. {QS Yusuf (12): 2}.
Untuk mewakili pembahasan mengenai makna “Istawa” maka saya sadurkan bagian dari tulisan Dr. Kholilurrahman, MA dari buku: “Studi Komperehensif Tafsir Istawa, Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah” (hal. 82-89) dimana beliau mengutip perkataan sahabat, ulama salaf dan para ahli tafsir al-Quran serta para pakar Bahasa Arab yang telah menggunakan pendekatan Tafwidh dan Takwil terhadap makna Istawa maupun ayat-ayat mutasyaabihat lainnya dalam al-Qur’an.
Sebagai pengantar terlebih dahulu diuraikan tentang maksud Makna Denotatif dan Makna Konotatif dalam ilmu Bahasa sebagaimana pula yang terdapat dalam Bahasa Arab sebagai Bahasa Al-Qur”an.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, Guru Besar dalam bidang Tafsir al-Qur’an pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, menulis tentang makna denotative dan konotatif dalam salah satu situs (DetiksNews.com): https://news.detik.com/berita/d-5096824/antara-denotatif-dan-konotatif sebagai berikut:
“Salah satu kesulitan memahami bahasa agama, terutama bahasa kitab suci ialah membedakan kapan sebuah kata dimaknai secara denotatif dan kapan dimaknai konotatif. Pemaknaan secara denotatif ialah pengertian yang diperoleh dari apa adanya sebuah teks, tanpa berusaha mengalihkannya ke makna-makna lain. Sedangkan makna konotatif tidak memaknai secara leksikal tetapi memalingkan maknanya kepada makna lain yang bersifat asosiatif dari sebuah kata.
Sebagai contoh kata tangan (al-yad), mata (al-'ain), makanan (al-tha'am), timur dan barat (al-masyriq wa al-magrib), pertemuan dua laut (majma' albahrain), dan lain-lain. Secara denotatif tangan berarti lengan yang mencakup bahu ke bawah, tetapi
secara konotatif bisa berarti kekuatan/kekuasaan, seperti kata Tuhan: Yadullah fauqa aidihim (Tangan Tuhan di atas tangan mereka). Sebagian ulama mengartikan 'Tangan Tuhan' sesuai dengan kapasitas-Nya yang tidak ada satu pun makhluk menyerupai-Nya. Sebagian lain memaknai secara konotatif, 'Tangan Tuhan' berarti kekuatan/kekuasaan Tuhan.
Kata mata ('ain) secara denotatif berarti 'mata kepala' tetapi secara konotatif bisa berarti pengawasan, seperti kata: sesungguhnya kalian di dalam pengawasan Di (bia'yunina). Secara denotatif berarti sesungguhnya kalian di dalam penglihatan Di, tetapi
secara konotatif berarti 'Sesungguhnya kalian di dalam pengawasan di. Kata si A dalam penglihatan saya bisa berarti si A dalam pengawasannya.
Kata makanan (ath'am) secara denotatif berarti makanan yang diproses untuk memberikan kekenyangan pada perut. Akan tetapi bisa berarti wirid yang memberikan kekenyangan secara spiritual. Makanan yang selalu tersedia di mihrab Maryam yang mengherankan Nabi Zakaria dan menanyakan ini dari mana? Dijawab dari Tuhan. Ada yang mengartikan secara denotatif berupa makanan seperti buah-buahan dan ada yang mengartikan makanan spiritual berupa wirid dan dzikir. Pengertian terakhir ini dimungkinkan karena Maryam dan Nabi Zakariya sama-sama ahli dan praktisi spiritual, bukan jago makan.
Kata timur dan barat secara denotatif berarti mata angin arah timur dan barat yang lebih mengacu kepada tempat. Sedangkan secara konotatif bisa berarti aliran barat yang dicirikan dengan sifat rasional-kritis dan aliran timur yang dicirikan dengan sifat emosional-spiritual. Kata timur sering melambangkan idealisme demokratis dan timur dilambangkan sebagai kekuatan idealisme totaliter, dan lain sebagainya. Sampai sekarang kata timur dan barat sering digunakan secara denotatif dan konotatif.
Kata perjumpaan dua laut (majma' al-bahrain) secara denotatif berati pertemuan dua laut, yaitu lautan Romawi dan lautan Persia, tetapi secara konotatif bisa diartikan pertemuan dua epistimologi keilmuan, yaitu aliran rasional yang mengandalkan kecerdasan logika dan aliran spiritual yang mengandalkan kecerdasan spiritual, sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu.
Dengan penjelasan di atas diharapkan kita tidak memutlakkan pendapat kita sebagai satu-satunya kebenaran, karena boleh jadi kita berpihak pada pengertian denotatif, sementara mereka yang berdasar pada pengertian konotatif belum tentu salah. Allahu a'lam”.
- Menetapkan “Istawa” Dengan Makna “Bersemayam (Istiqarrar)” Bertentangan Dengan Sifat-sifat Allah Dalam Al-Qur’an dan Hadits
Kalau sekte salafi wahabi tidak menakwil ayat-ayat "musykil mutasyaabihaat" atau membuat persangkaan sendiri terhadap makna suatu lafaz ayat lalu menetapkan sebagai makna hakikinya tanpa dalil dan akal sehat, maka betapa banyak ayat-ayat al qur'an yang akan bertentangan satu sama lain, demikian pula jika ayat-ayat mutasyabihat lainnya diartikan secara tekstual/leksikal/arti zahiriyah (denotative), maka menjadi rusaklah aqidah kaum muslimin.
Coba adinda berdua renungkan contoh-contoh ayat al quran dan hadis berikut ini !
- Pertentangan Dengan Ayat-ayat al Quran
- Allah berada di langit dan di Bumi
وَهُوَ اللّٰهُ فِى السَّمٰوٰتِ وَفِى الْاَرْضِۗ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُوْنَ
“Dan Dialah Allah yang ada di langit dan di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasikan dan apa yang kamu lahirkan dan mengatahui apa yang kamu usahakan.” (QS. 6 Al An’am : 3)
Al-Qur'an Surat Al-An'a Ayat 3, terjemah perkata dan tafsir Bahasa Indonesia:
وَهُوَ اللّٰهُ فِى السَّمٰوٰتِ وَفِى الْاَرْضِۗ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُوْنَ
wahuwa
وَ هُوَ
dan Dia
al-lahu
اللّٰهُ
Allah
fi
فِی
di
al-samawati
السَّمٰوٰتِ
langit(jamak)
wafi
وَ فِی
dan di
al-ardi
الْاَرْضِ ؕ
bumi
ya'lamu
یَعْلَمُ
Dia mengetahui
sirrakum
سِرَّكُمْ
rahasiamu
wajahrakum
وَ جَهْرَكُمْ
dan yang kamu lahirkan
waya'lamu
وَ یَعْلَمُ
dan Dia mengetahui
ma
مَا
apa
taksibuna
تَكْسِبُوْنَ
yang kamu usahakan
Kata depan (prefix) “fi” pada kata al samawati dan Al-Ardhi dalam Bahasa Arab adalah sama dalam Bahasa Indonesia pada kata depan “di” dalam kalimat Ali di sekolah atau di sawah yang menunjukkan tempat, artinya Ali berada di sekolah atau berada di sawah, maka kalau diartikan secara lafaz ayat di atas adalah sebagaimana terjemahannya yakni Allah yang berada di langit dan yang berada di bumi.
Namun antum melihat seluruh ahli tafsir telah menakwil ayat tersebut menjadi Allah yang disembah di langit dan di bumi atau Allah yang menciptakan makhluq yang ada di langit dan di bumi (diantaranya lihat kutipan dari kitab-kitab para ahli tafsir dan versi Departemen agama RI pada link: https://quranhadits.com/quran/6-al-an-am/al-anam-ayat-3/, sebagai contoh kutipan Tafsir Ibnu Katsir dan Jalalain:
“Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi, Dia mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian lahirkan, dan mengetahui (pula) apa yang kalian usahakan”. (Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir)
“(Dan Dialah Allah) yang berhak untuk disembah dan dipuja (baik di langit maupun di bumi, Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan) hal-hal yang kamu sembunyikan dan hal-hal yang kamu tampakkan di antara kamu sekalian (dan mengetahui pula apa yang kamu usahakan) perkara baik dan perkara buruk yang kamu ketahui”. (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi).
Kalau adinda berdua begitu kekeh mengikuti faham kelompok salafi yang menetapkan kata Istawa pada Qs Arrahman: 27 dan Qs Thaha: 5 dengan arti “bersemayam (istiqarrar)” dan beranggapan sebagai makna lafaz atau hakikinya, juga meperlakukan sama terhadap ayat-ayat mutasyaabihat lainnya yakni bermakna lafaz yang tidak boleh dialihkan kepada makna takwil -- maka seharusnya adinda bersama barisan para salafi lainnya mampu menunjukkan dalil dari al-Qur’an maupun hadis yang menyatakan demikian sehingga memilih dan menetapkan “bersemayam (istiqarrar)” sebagai makna dari kata “Istawa” padahal kata “Istawa” justru mengandung makna konotatif dimana maknanya mencapai belasan yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an. (Lihat penjelasan makna Istawa dalam tinjauan bahasa dan terminologi al yang dikutip oleh Dr. Kholilurrahman, MA dalam bukunya: “Studi Komprehensif Tafsir” Istawa, hal 14-41).
Begitu pula seharusnya adinda bersama sekte salafi lainnya memperlakukan Qs Al An’am: 3 dengan arti lafaz karena secara leksikal/denotative arti kata “fi al-samawati” dan “fi al-Ardhi” adalah menunjukkan tempat keberadaan Allah yakni di langit dan di bumi sebagaimana terjemahan ayat perkata di atas. Apakah adinda berdua juga mau mengatakan bahwa dengan Zat-Nya Allah berada di langit juga Allah berada di bumi karena begitulah Allah menyebutkan diri-Nya dan telah mensifati diri-Nya sendiri? 🤭
Apakah aqidah semacam ini yang adinda maksud sebagai aqidah para salaf? Hanya bermain kata-kata dengan Aqidah Rasulullah dan para sahabat ataukah memang tidak memahami agama -- sebagaimana pemahaman para ulama salaf, para sahabat dan Rasulullah Saw yang sering didengung-dengungkan oleh sekte salafi-wahabi? Ataukah adinda dan Sebagian para barisan salafi lainnya tidak menyadari adanya upaya untuk menyesatkan aqidah kaum muslimin dan membuat kekacauan berupa pertentangan diantara ayat-ayat al-qur’an?
Naudzubillah min Dzaalik!!! Coba maksimalkan lagi nalar dengan akal sehat kita!
Ulama menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa kalimat: di langit maupun di bumi terkait dengan kata: Allah sebagai Dzat Yang merangkum segala sifat Maha Sempurna yang meniscayakan untuk disembah, sebagai Dzat yang Maha Mengatur dan Pemilik segala sesuatu. Jadi maknanya: Dialah Allah Tuhan yang harus disembah atau Pemilik atau Pengatur di langit dan di bumi. Jadi bukan Dzat Allah yang berada di bumi dan di langit atau ada yang mengartikan: Dialah Allah Dzat yang Maha mengetahi apapun yang kamu rahasiakan atau kamu lahirkan baik di langit maupun di bumi. Tidak seorang pun yang mangatakan bahwa Allah bertempat di langit dan di bumi. Namun andaikan mengikuti faham salafi-wahabi seperti kaum Mujassim-Musyabbih yang ‘ngotot’ mengartikan secara zahir ayat di atas, pastilah ia akan merobohkan akidahnya sendiri, sebab dalam ayat itu dikatakan (tentunya secara zahir bukan yang dimaksud) bahwa Allah berada di langit dan di bumi. Maha Suci Allah dari bualan dan kejahilan yang bisa membawa kepada kesesatan.
- Allah Menggulung Langit Sedangkan Allah Berada di Langit?
يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ
“(yaitu) pada hari Di gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Di telah memulai panciptaan pertama Begitulah Di akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Di tepati. Dilah yang pasti akan melaksanakannya,” (QS al-Anbiya’ [21]: 104).
Kalau Allah diyakini berada di langit, bagaimana tempat Allah saat Dia menggulung langit dan bumi?
Apa adinda berdua gak kepusingan dengan keyakinannya bahwa Allah di langit?
Pakailah nalar kita untuk memahami agama, karena antara akal sehat dan agama tidak mungkin bertentangan.
- Nabi Ibrahim Menghadap Allah Yang Ada Di Palestina?
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku,” (QS ash-Shaffaat [37]: 99).
Ini ucapan Nabi Ibrahim a.s. saat menuju Palestina. Ia katakan akan menuju Tuhan. Berarti Allah tidak di langit tetapi ada di bumi Palestina. Sekali lagi pegang dulu makna tekstual ayat sebagaimana dalam penagrtian ayat-ayat sifat Allah.
Nabi Ibrahim as. tidak hidup di langit atau di sebuah planet, dia hidup di muka bumi, yang kita tempati ini bukan bumi lain. Ia juga tidak hendak pergi ke langit untuk menjumpai Allah yang sedang bersemayam di atas Arsy-Nya (yang sedang dipikul makhluk-Nya) di sana -seperti yang digambarkan kaum Mujassimah yang dungu lagi sesat-, lalu setelahnya Ibrahim kembali lagi ke muka bumi. Nabi Ibrahim as. bersama dan hidup di tengah-tengah kaumnya, ia berpindah dari sebuah negeri ke negeri lain. Apakah kaum Mujassim-Musyabbih hendak mengatakan bahwa maksud ayat di atas ialah bahwa Nabi Ibrahim ketika berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku.” ialah bahwa Nabi Ibrahim as. hendak pergi ke langit mengahadap Tuhannya di sana? Sungguh, tidaklah menetapkan ayat di atas dengan makna seperti itu melainkan kaum yang tidak mendapat bagian akal sehat!
Para mufassir Islam menerangkan bahwa kata-kata yang diucapkan Nabi Ibrahim as. saat beliau hendak berhijrah -- Ibnu Abbas ra. berkata: Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku yaitu ketika beliau berhijrah. Demikian diriwayatkan Ibnu Mundzir. Asyaukani berkata menafsirkan: Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, aku akan pergi berhijrah dari negeri kaumku yang telah berbuat durhaka karena fanatik buta terhadap arca-arca sesembahan, karena kafir/inkar kapada Tuhan mereka dan karena membohogkan para rasul… aku akan pergi menuju tempat yang aku diperintah-Nya untuk berhijrah ke sana. Atau menuju tempat yang aku dapat menyembah Allah di sana. Dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku, kepada tempat yang Dia perintahkan aku untuk pergi kesana itu atau Dia akan memberiku petunjuk kepada tujuanku. Allah telah memerintah Ibrahim untuk pergi ke Syam (Palestina).”(Tafsir Farhul Qodir, 4/402 dan 406).
Jadi, tidak ada pergi ke langit untuk menghadap Allah SWT atau jika memang Allah berada di langit seperti yang digambarkan sekte salafi wahabi atau seperti faham kaum Mujassim-Musyabbih, maka pastilah Ibharim as. pergi ke sana.
Maha Suci Allah dari ocehan kaum jahil!
- Allah Bersama Kamu Dimanapun Kamu Berada
Firman Allah SWT:
و هُوَ مَعَكمْ أَيْنَما كُنتُم.
“Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada.” (QS. Al Hadid [57;4)
Dan ayat:
وَ اللهُ مَعَكمْ
“Dan Allah bersama kamu.” (QS. Muhammad [47;35)
Lafadz Allah adalah nama untuk Dzat bukan sifat. Jadi apabila dimaknai secara zahir dan hakiki maka ayat ini menunjukkan bahwa yang bersama kalian (hamba) adalah Allah, bukan sifat Allah seperti ilmu pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya dll.
Di sini tidak ada jalan lain selain mena’wilkan ayat di atas dan mengatakan bahwa zahir ayat ini bukan yang dimaksud. Karenanya para ulama Islam, baik salaf maupun khalaf mena’wilkan ayat di atas. Mereka tidak memberlakukan makna zahir terhadap ayat tersebut!
Tafsir Fathul Qadîr, 5/166* menyebutkan sbb:
"Asy-Syaukani menafsirkannya demikian: “Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada yaitu dengan Kemaha Kuasaan, kerajaan dan ilmu-Nya. Ini adalah percontohan untuk menujukkan telah diliputinya segala sesuatu yang keluar dari mereka, di mana pun mereka berada di muka bumi ini; di darat maupun di laut… setelahnya ia menukil Ibnu Abbas ra. (selaku pakar tafsir gererasi sahabat yang tentunya beliau adalah tokoh Salaf yang seharusnya dirujuk oleh mereka yang mengaku sebagai pengikut Salaf Shaleh!) menafsirkan ayat ini dengan melibatkan ta’wil (yang sangat dikecam kaum Wahhabi; Mujassimah Musyabbiha). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata menafsirkan: “Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada yaitu Dia maha Mengetahui kalian di mana pun kalian berada.”
- Pertentangan Dengan Hadis-hadis Rasulullah Saw
Berikut ini saya copy paste tulisan Abu Salafi pada website-nya: https://abusalafy.wordpress.com/2010/04/06/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-6/#more-781
- Hadis Pertama
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إذا كان أحدكم يصلي فلا يبصق قبل وجهه فإن الله قبل وجهه إذا صلى .
“Jika seorang dari kamu shalat maka janganlah ia meludah di arah wajahnya, sebab sesungguhnya Allah berada di sisi wajahnya jika ia shalat.” (Shahih Bukhari, 1/509 dan Shahih Muslim,1/388).
- Hadis Kedua
Imam Bukahri meriwayatkan dari Anas ibn Malik, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إنَّ أحَدَكُم إذا قامَ فِي صلاتِه فَإنَّه يُناجِي رَبَّهُ أو إنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وبَيْن القِبْلَةِ، فَلاَ يَبْزُقَنَّ أحدُكم قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلكِن عَن يَسارِهِ أوْ تَحْتِ قَدَمَيْهِ.
“Sesungguhnya apabila seorang dari kamu berdiri melaksaknakan shalat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Tuhannya. Atau sesungguhnya Tuhannya berada di antaranya dan kiblatnya, maka janganlah ia meludah di sisi kiblatnya, akan tetapi hendaknya di sisi kiri atau di bawah kakinya…. ”. (Shahih Bukhari.1/509)
Ketika menerangkan kedua hadis di atas, Ibnu Hajar –penghulu para huffâfz; ahli hadis- berkata, “Dalam hadis ini terdapat bantahan atas orang yang menganggap bahwa Allah bersemayam di atas Arsy-Nya dengan Dzatnya. Betapapun ia mena’wilkan hadis ini, maka sebenarnya nash yang ia andalkan juga bias dita’wil dengan ta’wil serupa.”[3]
- Hadis Ketiga:
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al Asy’ari, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
الذى تدعونه أقرب إلى أحدكم من عنق راحلة أحدكم.
“Tuhan yang kamu seru itu lebih dekat daripada seorang dari kamu kepada leher kendaraannya.”[4]
- Hadis Keempat:
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد ، فأكثروا الدعاء.
“Paling dekatnya hamba kepada Tuhannya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah berdoa.”[5]
- Hadis Kelima
Muslim dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdullah ibn Abbas dan Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah saw. jika telah mengendarai kendarannya untuk pergi bermusafir beliau berdoa:
اللهم أنت الصاحب في السفر والخليفة في الاهل
“Ya Allah, Engkaulah Teman dalam perjalanan dan Khalifah/pengganti yang mengurus keluarga.”
Sabda di atas membubarkan anggapan sesat kaum Mujassimah Wahhabiyah bahwa Allah bersemayam di atas Arsy-Nya di ayas langit! Sebab sabda itu tidak dapat ditaw’il dengan makna bahwa ilmu Allah itu senantiasa menyertai hamba, misalnya, atau ta’wil lain. Sebab pengatahuan Allah itu ada dan selalu menyertai kita di setiap saat, sejak azal hingga akhir dan selamanya. Jadi tidak khusus di kala kita pergi saja. Selain itu kata shâhib/teman secara zahir dalam bahasa berkonotasi adanya kesinambungan dengan dzat. Andai kaaum mjuassimah merenungkan keterangan bahasa pastilah mereka tidak akan menemukan apapun yang akan mendukung bid’ah akidah mereka, dan pada akhirnya pasti mereka berlindung pada pemaknaan secara majazi dan mena’wilkannya. Dan semua itu membubarkan anggapan palsu kaum Mujassima tentang akidah ketinggian fisikal Allah SWT.
Lagi pula, Anda berhak mengatakan kepada mereka, ‘Mengapakah kalian tidak mensifati Allah dengan Shahib! Khalifah! Dan menyeru-Nya; Ya Shahibi, Ya Khalifati/Wahai Temanku! Wahai Khalifahku! Bukankah kalian ketika memasarkan bid’ah akidah sesat kalian senantiasa menteror kaum Muslimin dengan mengatakan di tidak mensifati Allah melainkan dengan apa yang Allah sifati sendiri Dzat-Nya?! Lalu mengapakan kalian sekarang malu mensifati Allah dengan dua sifat dalam hadis shahih itu?!
- Hadis Keenam
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda dalam doanya:
اللهم أنت الاول فليس قبلك شئ وأنت الآخر فليس بعدك شئ وأنت الظاهر فليس فوقك شئ وأنت الباطن فليس دونك شئ اقض عنا الدين واغننا من الفقر .
“Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Maha Awal, maka tiada sesuatu sebelum-Mu. Engkaulah Dzat Yang Maha Akhir[6], maka tiada sesuatu setelah-Mu. Engkau lah Dzat Yang Maha Dzahir maka tiada sesuatu di atas-Mu dan Engkau lah Dzat yang Maha Bathin maka tiada sesuatu sebelum-Mu. Ya Allah lunasilah hutangku dan kayakan aku dari kefakiran.”[7]
Al Hafidz al Baihaqi menegaskan:
أستدل بعض أصحابنا بهذا الحديث على نفي المكان عن الله تعالى ، فإذا لم يكن فوقه شئ ولا دونه شئ لم يكن في مكان
“Sebagian ulama di berdalil dengan hadis ini dalam menafikan tempat bagi Allah –Ta’ala-, sebab jika taiad d attas sesuatu daan tiada sebelum(dibawah) nya sesuatu maka Dia tidak berada di tempat manapun/apapun.”[8]
- Hadis Ketujuh:
Abu Ya’la[9] meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
أذن لي أن أحدث عن ملك قد مرقت رجلاه في الارض السابعة ، والعرش على منكبه ، وهو يقول سبحانك أين كنت وأين تكون.
“Aku telah diizinkan untuk menyampaikan berita bahwa ada seorang malaikat yang keduan kakinya terperosok dalam bumi lapis ketujuh sedang Arsy berada di pundaknya, ia berkata, “Maha Suci Allah (dari) di mana Engkau? Di mana Engkau nanti?”[10]
Makna ucapan malaikat di atas ialah: Aku mensucikan Mu -wahai Tuhanku- dari dikatakan untuk Mu: "di mana" (Yaitu aku sucikan Engkau dari tempat! Dan tentunya hadis ini adalah bantahan kuat atas radaksi hadis: aina Allah/di mana Allah yang diriwayatkan dalam sebagian jalur periwayatan!
Jika kaum Mujasssimah Wahhabiyah enggan menerima pemaknaan hadis di atas seperti yang saya sebutkan, dan tetap ‘ngotot’ mengatakan bahwa makna hadis itu tidak seperti yang saya katakan, maka saya harap mereka mampu mendatangkan pemaknaan yang tetap dalam pandangan mereka! Dan apapaun tafsir yang mereka akan sebutkan yang pasti ia akan membentur keyakinan rusak mereka yang mereka tegakkan di atas pondasi hadis: aina Allah/di mana Allah! Jikaa mereka mengatakan bahwa hadis itu tidak menafikan adanya tempat, hanya saja malaikat itu tidak mengetahuinya, maka akan di katakana: “Jika malaikat yang tergolong hamba-hamba terkedat Allah dan termasuk yang memikul Arsy-Nya saja tidak mengetahui di mana Allah, lalu bagaimana kaum Mujassimah, Wahhabiyah dan Albâniyun mengatakan bahwa Allah itu di langit?! Maha suci Allah dari pensifatan kaum jahil lagi sesat!
Kesimpulan:
Hadis-hadis yang di sebutkan di atas dan masih banyak lainnya adalah bukti nyata kebatilan anggapan bahwa Allah SWT bertempat di atas langit di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh para malaikat ciptaan-Nya! Nash-nash di atas bertentangan dengan zahir nash-nash yang mereka maknai secara zahir yang mereka sebut dengan istilah nash-nash al ‘Uluw/ketinggian fisikal Allah SWT. dan siapapun yang memaknai nash-nash itu secara zahirnya maka ia harus juga memaknai nash-nash yang di sebutkan secara zahir juga! Jika tidak maka keduanya harus dita’wil. Adapu mena’wil nash tertentu dan memaknai yang menujukkan Allah bertempat dengan makna zahir adalah sikap mengikuti hawa nafsu dalam menanfirkan ayat-ayat mutasyâbihat yang menrupakan ciri orang-orang yang dalam hatinya ada kemencongan kepada kebatilan!
[1] Lebih lanjut dapat Anda rujuk dalam tafsir Fathul Qadîr,4/39.
[2] Tafsir Ibnu Katsîr,4/322.
[3] Tafsir Fathul Qadîr,5/166.
[4] Ibid.4/402 dan406.
- Makna Istawa Dalam Tinjauan Al-Quran
Menetapkan kata "Istawa" dengan makna "bersemayam/bertempat" (istiqarrar) sebagai makna lafaz atau makna hakikinya (denotatif) pada kedua ayat di atas bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya, bukan pula dari para sahabat dan ulama-ulama salaf melainkan datang dari para ahlul bid'ah seperti kaum mujassimah dan Musyabbihah yang jahil lagi sesat karena kata “Istawa” dalam al-Qur’an memiliki banyak makna (konotative/Majaz) dan tidak ada satupun dalil Alqur’an maupun hadis yang menetapkan makna lafaz “Istawa” adalah “Bersemayam” yang berimplikasi mensifati Allah seperti makhluq, seperti materi atau benda-benda. Allah bukanlah Zat materi dan tidak boleh dibayangkan seperti materi, karena sifat materi adalah zat yang diciptakan, yang butuh dan terikat pada ruang, tempat, waktu dan arah -- sedangkan Allah Maha Ada dan Zat Pencipta bagi materi beserta seluruh yang mengikatnya (Wujud/al Khaliq: Qs As-Sajdah, 4; Thaha, 14; Ar-Rum, 8); Dia tidak sama dan mustahil sama dengan makhlauq-Nya (Mukholafatul Lilhawaditsi: Qs Asy-Syuuro, 11); Dia telah ada sebelum segala sesuatu itu ada atau Zat yang mendahului segala yang ada (Qidam: Qs Al-Hadid, 3) dan Allah Maha Berdiri Sendiri (Qiyamuhu bin Nafsi: Qs Thaha, 111; Qs Fathir, 15) artinya Dia tidak butuh kepada yang Dia ciptakan; dan Dia Maha Kekal (Baqa, QS Ar-Rahman: 26-27, QS Al-Qashash: 88) artinya tidak pernah berubah selama-lamanya baik dalam Zat, sifat maupun dalam perbuatan-Nya.
Arasy itu adalah makhluq ciptaan Allah yang paling besar, yang sebelumnya tidak ada, artinya “bersifat baharu”, maka mustahil Allah butuh kepada Arasy yang dia ciptakan sendiri untuk Dia tempati? Namun kaum yang sempit akalnya membolak-bolik nalar dengan mengatakan Allah Maha Suci dari membutuhkan Arasy tapi Arasy-lah yang butuh kepada Allah. Bagaimana bisa ada akal sehat manusia menerima pernyataan yang tidak dipahami oleh nalarnya sendiri?
Ibarat seseorang yang menghina orang lain dengan perkataan yang mengandung unsur merendahkan derajadnya lalu dia katakan saya tidak bermaksud menghina dan merendahkan tapi justru memuliakannya".
Teks-teks mutasyâbihât, baik dari al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi, yang seharusnya dapat dipahami dengan logika yang sederhana menjadi bahan yang sangat “hangat”, bahkan cenderung “panas”; yang dengan sebabnya seringkali terjadi tuduhan “kafir”, “sesat”, “zindik”, “ilhâd”, dan semacamnya terhadap mereka yang tidak sepaham. Akibatnya, nama “Ahlussunnah Wal Jama’ah” menjadi “kabur”; khususnya bagi orang-orang awam yang bukan Ahl at-Tamyîz, hingga mereka tidak dapat membedakan antara keyakinan tauhid yang suci dengan keyakinan tasybîh (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) yang jelas menyesatkan. Seringkali ketika berselancar di internet, kita menemukan orang-orang yang “sangat ngotot” berkeyakinan bahwa Allah bertempat di atas Arsy, lalu -- dan ini yang sangat mengherankan -- pada saat yang sama mereka juga ngotot mengatakan bahwa Allah bertempat di langit. Untuk ini kemudian mereka mengutip beberapa ayat dan hadits yang menurut mereka sebagai bukti kebenaran aqidah tersebut.
Mari kita coba sederhanakan “problem mereka” dengan logika sederhana; “Bukankah Arsy dan langit itu ciptaan Allah?
Bila anda berkeyakinan Arsy dan langit itu ciptaan Allah maka berarati menurut anda Allah berubah dari semula yang ada tanpa langit dan tanpa Arsy menjadi bertempat pada kedua makhluk-Nya tersebut; lalu bukankah perubahan itu menunjukan kebaharuan? Bukankah pula Arsy dan langit itu memiliki bentuk dan ukuran? Lalu anda sendiri mengatakan bahwa Allah berada di dua tempat; Arsy dan langit? Aduhai Sehatkah nalar Anda? Alih-alih mau berfikir, namun ternyata tuduhan “kafir”, “mu’ath-thil” (pengingkar sifat Allah) dan berbagai tuduhan lainnya difitnahkan kepada kaum asyaa’iroh, pengikut ahlussunnah waljamaah yang mana saya sendiri tidak tahu persis apakah ungkapan-ungkapan semacam itu adalah “senjata pamungkas” untuk mengelabui ummat Islam?
Nyatanya memang kaum seperti sekte salafi wahabi yang mirip kaum Mujassim-Musyabbih seringkali mengutip beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi untuk dijadikan dasar bagi keyakinan mereka, masalahnya ialah bahwa ayat-ayat tersebut tidak dipahami secara komprehensif, tidak dipahami secara kontekstual, dan bahkan pemahaman mereka jauh berseberangan dengan pemahaman para ulama terdahulu yang benar-benar kompeten dalam masalah tersebut.
Tidak diragukan bahwa meyakini Allah “bersemayam” di atas Arasy adalah aqidah sesat kaum Mujassim-Musyabbih yang dinyatakan kekufurannya oleh para ulama salaf (jumhur ulama), naudzubillah min dzaalik !!!
Tapi lihainya kaum ini dengan jahil tanpa ilmu yang haq, menghipnotis orang-orang awam dengan cukup mengatakan "jangan pake ukuran akal-akalan kita, imani saja perkataan Allah karena Allah sendiri yang mensifati diri-Nya demikian, Allah maha kuasa atas kehendak-Nya, tidak ada yang sulit bagi Allah berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, kepada makhluqnya yang baharu yakni Arasy"?
Padahal pertanyaannya adalah:
“Siapakah yang mengatakan bahwa makna “Istawa” itu adalah bersemayam? Lalu apa dasarnya dikatakan itu adalah perkataan Allah sendiri? Adakah Allah dan Rasul-Nya menetapkannya demikian? Yakni “Istawa” itu adalah bersemayamnya Allah di atas Arasy?”
Sungguh ini adalah dusta yang nyata yang muncul dari kaum Mujassim-Musyabbih sehingga mengelabui kebanyakan orang awam, karena Allah dan Rasulnya tidak pernah menyatakan dan menetapkan hal itu sebagai sifat-Nya di dalam al-Qur’an, begitu pula tidak satu pun hadis sahih Rasulullah Saw yang mengukuhkan Istawa sebagai makna bersemayamnya Allah di atas Arasy, entah darimana asal-usulnya penyusupan kata bersemayam tersebut datangnya hingga diklaim oleh kaum-kaum yang beraqidah menyimpang sebagai sifat Allah dalam Al-Qur’an sementara Allah sendiri dalam al-Qur’an telah menyebutkan “Istawa” dengan makna yang beragam hingga mencapai limabelas makna -- sebagaimana telah disebutkan oleh para Para ulama pakar bahasa, di antaranya al-Imâm al-Lughawiy alFayyumi dalam kitab al-Mishbâh al-Munîr, al-Imâm al-Lughawiy al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Tâj al-‘Arûs, al-Imâm al-Lughawiy al-Faurruzabadi dalam Bashâ-ir Dzawî at-Tamyîz, al-Imâm al-Lughawiy Abu Bakar Ibn al-Arabi dalam kitab al-‘Awâshim Min al-Qawâshim dan ulama lainnya (Dr. Kholilurrahman, MA: Study Komprehensif Tafsir Istawa, Allah Ada Tanpa Tempat dan Tampa Arah, hal. 14). (Lihat dan simak Makna Istawa Secara lengkap dengan uraian dalam sub bahasan tersendiri melalui tulisan ini).
Kalau adinda berdua begitu kekeh mengikuti faham kelompok salafi yang menetapkan kata Istawa pada Qs Arrahman: 27 dan Qs Thaha: 5 dengan arti “bersemayam (istiqarrar)” dan beranggapan sebagai makna lafaz atau hakikinya, juga meperlakukan sama terhadap ayat-ayat mutasyaabihat lainnya yakni bermakna lafaz yang tidak boleh dialihkan kepada makna takwil -- maka seharusnya adinda bersama barisan para salafi lainnya mampu menunjukkan dalil dari al-Qur’an maupun hadis yang menyatakan demikian sehingga memilih dan menetapkan “bersemayam (istiqarrar)” sebagai makna dari kata “Istawa” padahal kata “Istawa” justru mengandung makna konotatif dimana maknanya mencapai belasan yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an. (Lihat penjelasan makna Istawa dalam tinjauan bahasa dan terminologi al yang dikutip oleh Dr. Kholilurrahman, MA dalam bukunya: “Studi Komprehensif Tafsir” Istawa, hal 14-41).
Begitu pula seharusnya adinda bersama sekte salafi lainnya memperlakukan Qs Al An’am: 3 dengan arti lafaz karena secara leksikal/denotative arti kata “fi al-samawati” dan “fi al-Ardhi” adalah menunjukkan tempat keberadaan Allah yakni di langit dan di bumi sebagaimana terjemahan ayat perkata di atas. Apakah adinda berdua juga mau mengatakan bahwa dengan Zat-Nya Allah berada di langit juga Allah berada di bumi karena begitulah Allah menyebutkan diri-Nya dan telah mensifati diri-Nya sendiri? 🤭
Apakah aqidah semacam ini yang adinda maksud sebagai aqidah para salaf? Hanya bermain kata-kata dengan Aqidah Rasulullah dan para sahabat ataukah memang tidak memahami agama -- sebagaimana pemahaman para ulama salaf, para sahabat dan Rasulullah Saw yang sering kalian gembar-gemborkan? Ataukah adinda dan Sebagian para barisan salafi lainnya tidak menyadari adanya upaya untuk menyesatkan aqidah kaum muslimin dan membuat kekacauan berupa pertentangan diantara ayat-ayat al-qur’an? Naudzubillah min Dzaalik!!! Cobalah maksimalkan lagi nalar dengan akal sehat kita!
Aduhai saudara -saudaraku ....
Coba renungkan secara mendalam sambil memohon petunjuk kepada Allah:
Adakah akal waras membenarkan bahwa Allah memiliki sifat “Maha Bersemayam/Bertempat di atas Arasy?” Dari manakah dalilnya menetapkan makna "istawa" dengan "bersemayam/bertempat (istiqorror)" sebagai makna hakikinya?.
Sunghuh, tidak ada satupun diantara ulama salaf yang menetapkan kata "Istawa" dengan makna “bersemayam /bertempat (Istiqarrar)” lalu ditetapkan sebagai makna hakikinya -- kecuali sekte Mujassim-Musyabbih beserta barisan pengikutnya.
Baca Juga: Testimoni Pemuda: Mengapa Kami Aktif di Masjid
1.4. Makna Istawâ Dalam Tinjauan Bahasa
Kata Istawâ dalam bahasa Arab mengandung makna yang sangat banyak. Para ulama pakar bahasa, di antaranya al-Imâm al-Lughawiy alFayyumi dalam kitab al-Mishbâh al-Munîr, al-Imâm al-Lughawiy al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Tâj al-‘Arûs, al-Imâm al-Lughawiy al-Faurruzabadi dalam Bashâ-ir Dzawî at-Tamyîz, al-Imâm al-Lughawiy Abu Bakar Ibn al-Arabi dalam kitab al-‘Awâshim Min al-Qawâshim dan ulama lainnya, menyebutkan bahwa kata Istawâ dalam bahasa Arab memiliki lebih dari lima belas makna.
Al-Imâm al-Muhaddits Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab berjudul Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî menyebutkan setiap satu dari lima belas makna Istawâ dengan menyandarkan setiap makna tersebut kepada para ulama terkemuka yang telah menetapkannya; seperti al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi, al-Imâm Abu Ishaq al-Isfirayini, al-Imâm Abdul Qahir ibn Thahir at-Tamimi al-Baghdadi, al-Imâm Abu Ja’far as-Simanani, Imam al-Haramain, dan para al-Imâm terkemuka lainnya. Di antara makna-makna yang beliau tuliskan tersebut adalah sebagai berikut:
Satu; Istawâ dalam makna “telah mencapai kesempurnaan” (atTamâm), contoh makna ini dalam firman Allah tentang Nabi Musa: “Wa
Lammâ Balagha Asyddahu Wastawâ Âtaynâhu Hukman Wa ‘Ilman” (QS. AlQashash: 14). Maksud ayat ini ialah bahwa ketika Nabi Musa telah mencapai umur dewasa dan sempurna dalam akal dan kekuatan tubuhnya barulah ia dikaruniai kenabian dan ilmu oleh Allah. Contoh lainnya dalam firman Allah tentang penciptaan Nabi Adam: “Fa Idzâ Sawwaytuhu...” (QS. Al-Hijr: 29), maksud ayat ini adalah bahwa Allah telah menyempurnakan penciptaan Nabi Adam. Salah seorang ahli bahasa terkemuka, al-Imâm al-Fairuzabadi dalam al-Qâmûs al-Muhîth menuliskan: “Istawâ ar-Rajul; Balagha Asyuddah”, artinya orang tersebut telah mencapai umur dewasa dan telah menjadi seorang yang kuat[1]. Ahli bahasa lainnya dalam penjelasan kata Istawâ dalam makna ini, al-Imâm Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam Tâj al-‘Arûs mencontohkannya dengan firman Allah QS. Al-Qashash: 14 tentang Nabi Musa sebagaimana tertulis di atas[2].
Dua; Istawâ dalam makna bertempat atau menetap (at-Tamakkun Wa al-Istiqrâr), contoh makna ini adalah firman Allah tentang perahu Nabi Nuh; “Wastawat ‘Alâ al-Jûdiy” (QS. Hud: 44). Artinya bahwa perahu Nabi Nuh telah berlabuh atau bertempat dan menetap di atas gunung al-Judiy[3].
Tiga; Istawâ dalam makna lurus dan tegak (al-Istiqâmah Wa al-I’tidâl), artinya tidak condong dan tidak bengkok, contoh makna ini adalah firman Allah tentang tanaman yang dijadikan sebagai perumpamaan oleh-Nya: “Fastawâ ‘Alâ Sûqih...” (QS. Al-Fath: 29), artinya tanaman tersebut telah menjadi tegak lurus di atas pangkalnya. Al-Imâm al-Mufassir Abu Hayyan alAndalusi dalam tafsir al-Bahr al-Muhîth menuliskan: “Kata “Fa-Istawâ” dalam QS. Al-Fath: 29 ini adalah dalam pengertian bahwa tanaman tersebut telah sempurna tumbuh di atas pokoknya”[4].
Empat; Istawâ dalam makna berada di arah atas atau tempat yang tinggi (al-‘Uluww Wa al-Irtifâ’), contoh dalam makna ini adalah firman Allah tentang Nabi Nuh dan beberapa orang dari kaumnya yang beriman kepadanya: “Fa-Idzâ Istawayta Anta Wa Man Ma’aka ‘Alâ al-Fulk Fa-Qul alHamdu Lillâh al-Ladzî Najjânâ Min al-Qaum azh-Zhâlimîn” (QS. Al-Mu’minun: 28), artinya; “Apa bila engkau (wahai Nuh) dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas perahu maka ucapkanlah: “Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkan di dari kaum yang zhalim”.
Penting untuk diingat bahwa penggunaan makna al-‘Uluww Wa alIrtifâ’ dalam bahasa Arab memiliki dua pemahaman. Pertama; al-‘Uluww Wa al-Irtifâ’ dalam pengertian tempat yang tinggi, artinya dalam pengertian indrawi (Hissiy), contohnya dalam firman Allah QS. Al-Mu’minun: 28 tentang Nabi Nuh diatas. Ke dua; al-‘Uluww Wa al-Irtifâ’ dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan, bukan dalam pengertian tempat. Al‘Uluww Wa al-Irtifâ’ dalam pengertian kedua ini bukan dalam pengertian indrawi (Hissiy), tapi dalam pengertian ma’nawi (Ma’nawiy), yaitu ketinggian derajat (‘Uluww ar-Rutbah)[5].
Lima; Istawâ dalam makna Istawlâ, atau Qahara, atau Haimana, artinya menguasai, seperti apa bila dalam bahasa Arab dikatakan: “Istawâ Fulan ‘Alâ Baldah Kadzâ...”, maka artinya bahwa si fulan telah menguasai suatu negeri. Contoh lainnya dalam makna ini dalam sebuah sya’ir dikatakan: قدِ اسْتَـوى بشْرٌ عَلى العراقِ # مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَم مُهْراقِ
“Bisyr ibn Marwan telah menguasai dan menundukan negara Irak, dengan tanpa kekuatan pedang dan tanpa adanya darah yang mengalir”.
Istawâ dalam makna Istawlâ, yang berarti menguasai, terbagi kepada dua pemaknaan. Pertama; Menguasai dengan jalan menundukan dan mengalahkan terhadap objek yang dikuasainya (al-Istîlâ’ Ma’a Sabq alMughâlabah). Kedua; Menguasai dengan tanpa jalan menundukan atau mengalahkan terlebih dahulu terhadap objek yang dikuasainya (al-Istîlâ’ Min Ghayr Sabq al-Mughâlabah)[6].
Enam; Istawâ dalam makna menuju suatu perbuatan (Qashd asySyai’), contohnya dalam firman Allah: “Tsumma Istawâ Ilâ as-Samâ’...” (QS. Al-Baqarah: 29), yang dimaksud ayat ini adalah bahwa Allah berkehendak menciptakan langit[7].
Tujuh; Istawâ dalam makna sama sepadan (at-Tamâtsul Wa atTasâwî), contohnya firman Allah: “Qul Hal Yastawî al-Ladzîna Ya’lamûn Wa al-Ladzîna Lâ Ya’lamûn” (QS. Az-Zumar: 9), makna kata “yastawî” dalam ayat ini adalah dalam pengertian “ya’tadil”; yaitu sama sepadan, dengan demikian makna ayat tersebut adalah; “Katakan (Wahai Muhammad); Adakah sama sepadan antara mereka yang berilmu dengan mereka yang tidak berilmu?!”, artinya jelas tidak sama. Contoh lainnya dalam makna ini bila dikatakan dalam bahasa Arab “Istawâ al-Qaum Fi al-Mâl”, artinya orang-orang yang berada pada kaum tersebut memiliki harta yang sama, artinya sepadan, satu atas lainnya tidak lebih banyak juga tidak lebih kurang[8].
Dengan demikian kata Istawâ jika dibarengi dengan huruf nâfî maka berlaku dalam pengertian tidak sebanding atau berbeda (al-Mu’âradlah Wa alMuqâbalah), seperti dalam firman Allah: “Wa Mâ Yastawî al-Bahrâni...” (QS. Fathir: 12), artinya dua lautan tersebut tidak sebanding dan sangat berbeda. Contoh lainnya firman Allah: “Wa Mâ Yastawî al-A’mâ Wa al-Bashîr...” (QS. Fathir: 19), artinya seorang yang buta tidak sebanding dan sangat jauh berbeda dengan seorang yang dapat melihat dengan jelas.
Delapan; Istawâ dalam makna matang atau sudah layak untuk dimakan (Nadluja), contohnya bila kita katakan dalam bahasa Arab “Istawâ ath-Tha’âm”, artinya bahwa makanan tersebut sudah matang dan siap untuk dimakan[9].
Sembilan; Istawâ dalam pengertian menaiki kendaraan tunggangan dan duduk di atasnya (ar-Rukûb Wa al-Isti’lâ’), contohnya dalam firman Allah: “Tsumma Tadzkurû Ni’mata Rabbikum Idzî Istawaytum ‘Alayhi (QS. AzZukhruf: 13), artinya; “Hendaklah kalian mengingat akan nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kalian bila kalian telah berada duduk di atas kendaraan tunggangan”. Al-Imâm al-Lughawiy al-Fairuzabadi dalam kitab Bashâ-ir Dzawî at-Tamyîz menuliskan bahwa di antara makna Istawâ adalah arRukûb Wa al-Isti’lâ’ sebagaimana yang dimaksud dalam firman Allah QS. AzZukhruf ayat 13 ini[10].
Dari beberapa makna Istawâ dalam tinjaun bahasa di atas dapat kita ketahui bahwa ada beberapa dari maknanya yang sesuai bagi keagungan Allah, dan ada pula beberapa diantaranya yang tidak sesuai bagi keagungan Allah.
Baca Juga: ADA ART MASJID JAMI' AL-FURQON
2. Pembahasan Terminologis
Para ulama kita menetapkan bahwa dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyâbihât terdapat dua metode; metode takwil ijamâliy (tafwîdl) dan metode takwil tafshîliy. Maka termasuk dalam hal ini untuk memahami makna ayat-ayat tentang Istawâ, ayat-ayat tersebut di atas harus dipahami dengan salah satu dari dua metode takwil di atas, artinya tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang seakan bertempat, duduk, bersemayam, membayangi, atau makna-makna lainnya yang tidak sesuai bagi keagungan Allah.
Dalam tulisan di atas telah kita jelaskan bahwa Arsy adalah makhluk Allah, ia diangkat atau disangga oleh para Malaikat Hamalah al-‘Arsy, maka sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat jika kemudian Allah berada di atas Arsy itu sendiri, karena bila demikian maka berarti Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya. Adakah logis bila diyakini bahwa Allah adalah benda yang diangkat oleh makhluk-Nya sendiri?! Al-Imâm al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn menuliskan sebagai berikut:
“Allah tidak diangkat oleh Arsy. Justru sebaliknya, Arsy dan para penyangganya (yaitu para Malaikat Hamalah al-‘Arsy) yang diangkat oleh Allah (Artinya Allah menjadikan mereka berada di arah atas) dengan keagungan-Nya, dan mereka semua tunduk terhadap kekuasaan-Nya”[11].
Demikian pula tidak boleh diyakini makna Istawâ ini bahwa Allah berada di atas Arsy tanpa menempel kepada Arsy itu sendiri, artinya membayangi Arsy, karena keyakinan semacam ini sama saja dengan menetapkan adanya keserupaan bagi Allah, oleh karena di dalam hadits shahih telah dinyatakan bahwa di atas Arsy ada makhluk Allah, yaitu kitab yang bertuliskan “Inna Rahmatî Ghalabat Ghadlabî...”. (HR. al-Bukhari dan alBayhaqi). Teks lengkap hadits tersebut sebagai berikut:
إنّ ﷲَ لما قضَى الْخَلْقَ كَتبَ في كتابٍ فَـهُوَ مَوْضُوعٌ عِنْدَهُ فَـوْقَ العَرْشِ إنّ رحْمَتِيْ غَلََبتْ غَضَبيْ (رواه البخاري والبيهقي)
“Sesungguhnya Allah setelah menciptakan segala makhluk-Nya Dia menuliskan dalam satu kitab, yang kitab tersebut kemudian ditempatkan di atas Arsy, -tulisan tersebut ialah- “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan maurka-Ku”. (HR. al-Bukhari dan alBayhaqi)
Dalam riwayat Ibn Hibban hadits tersebut dengan menggunakan redaksi: “Wa Huwa Marfû’ Fawq al-‘Arsy”, sebagai pengganti dari “Fa Huwa Maudlû’ ‘Indahu Fawq al-‘Arsy”. Dari hadits ini dapat dipahami dengan sangat jelas bahwa sesungguhnya di atas Arsy itu terdapat tempat, karena bila di atas Arsy tidak ada tempat maka Rasulullah tidak akan mengatakan bahwa kitab tersebut ditempatkan di atasnya. Dengan demikian mereka yang berkeyakinan bahwa Allah berada di atas Arsy berarti telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sendiri, yaitu kitab tersebut.
Kemudian al-Lauh al-Mahfuzh; yaitu kitab yang berisikan segala perkara kejadian pada alam ini, dari segala peristiwa kecil maupun besar, baik peristiwa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi hingga hari kiamat nanti, ada dua pendapat ulama tentang tempatnya. Sebagain ulama mengatakan bahwa al-Lauh al-Mahfuzh tersebut berada di bawah Arsy, sementara sebagian lainnya mengatakan berada di atas Arsy. Perbedaan pendapat ini berangkat dari tidaknya ada teks yang jelas menyebutkan tempatnya, namun demikian semuanya meyakini akan keberadaannya. Ini artinya, di atas dasar pendapat ulama yang mengatakan bahwa al-Lauh al-Mahfuzh di atas Arsy, maka berarti kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah di masa sekarang yang mengatakan bahwa Allah berada di atas Arsy telah menyerupakan Allah dengan al-Lauh al-Mahfuzh. Kaum Musyabbihah tersebut telah menjadikan Allah dan al-Lauh al-Mahfuzh sama-sama membutuhkan kepada tempat, yaitu Arsy. Dengan demikian sama sekali bukan ajaran tauhid pengakuan kaum Musyabbihah bahwa menempatkan Allah di arah atas adalah untuk mensucikan-Nya. Adakah keyakinan semacam itu sebagai pensucian bagi Allah, padahal nyata itu berarti menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya?!
Kemudian definisi duduk secara bahasa pemaknaannya hanya berlaku pada sesuatu yang pastilah merupakan benda. Dalam bahasa Arab pengertian “al-Julûs” hanya berlaku pada benda yang memiliki dua bagian; bagian atas dan bagian bawah. Seperti pada manusia, binatang, Malaikat, jin, dan lainnya. Adapun batu, misalkan, ia tidak dikatakan duduk, karena ia adalah benda yang tidak dikatakan memiliki dua bagian; aras dan bawah. Dengan demikian duduk atau “al-Julûs” hanya berlaku pada benda yang memiliki dua bagian tersebut. Sementara Allah, sebagaimana sudah kita bahas, sama sekali bukan benda. Allah yang menciptakan segala benda, maka Dia tidak sama dengan segala ciptaan-Nya tersebut. Alam ini, dengan segala benda yang berada di dalamnya adalah makhluk Allah. Duduk atau “al-Julûs” adalah sifat khusus bagi benda-benda tersebut, yaitu benda-benda yang memiliki dua bagian; atas dan bawah. Dengan demikian kata “al-Julûs” ini tidak boleh disandarkan kepada Allah, juga tidak boleh dikatakan “duduk Allah tidak seperti duduk kita” (Julûsuh Lâ Ka-Julûsinâ), juga tidak boleh dikatakan “bersemayamnya Allah tidak seperti bersemayam kita”, atau “bertempatnya Allah tidak seperti bertempatnya kita” (Istiqrâruh Lâ Kastiqrârinâ). Ungkapan-ungkapan semacam ini adalah ungkapan tasybîh, yang biasa dipropagandakan kaum Musyabbihah untuk mengelabui orangorang awam.
Menetapkan sifat duduk atau bertempat dan bersemayam bagi Allah bukanlah pensucian bagi-Nya, dan sama sekali bukan ajaran tauhid. Sebaliknya, menetapkan sifat duduk atau bertempat bagi Allah sama saja dengan mencaci-Nya. Karena mensifati Allah dengan demikian sama saja dengan mengatakan bahwa Allah sama dengan manusia, sama dengan monyet, sama dengan anjing, babi, sapi, kerbau, dan makhluk lainnya yang memiliki sifat duduk. Jelas hal semacam ini merupakan cacian kepada Allah. Oleh karena itu, tidak ada di antara orang-orang Islam ahli tauhid yang menamakan anaknya dengan Abdul Jalis (hamba yang maha duduk), juga tidak ada yang menamakan anaknya dengan Abdul Mustaqirr (hamba yang maha bertempat). Karena al-Julûs dan al-Istiqrâr adalah sifat yang khusus berlaku pada benda, sebagaimana hal ini telah dijelaskan secara panjang lebar oleh para ulama kita dikalangan Ahlussunnah; seperti al-Imâm al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki, al-Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqi, al-Imâm alGhazali, al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dan lainnya. Pemimpin Ahlussunnah Wal Jama’ah; al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, dalam kitab karyanya berjudul an-Nawâdir, menuslikan: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka orang ini tidak mengenal Allah, dan seorang yang kafir kepada-Nya”.
Demikian pula Istawâ tidak boleh dipahami dalam makna bahwa Allah menempel pada Arsy, walaupun diartikan menempel tanpa dengan sifat duduk. Karena sifat menempel (al-Ittishâl) dan terpisah (al-Infishâl) adalah termasuk sifat-sifat benda. Al-Imâm al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Husaini dalam kitab Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn meriwayatkan dengan sanad yang seluruh perawinya dari keturunan Rasulullah (Ahl al-Bayt) hingga bersambung kepada cicit Rasulullah; as-Sayyid al-Imâm as-Sajjâd Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib atau yang dikenal dengan sebutan Ali Zain al-Abidin, bahwa beliau (Ali ibn al-Husain) dalam risalahnya yang dikenal dengan sebutan ash-Shahîfah as-Sajjâdiyyah berkata: “Maha Suci Engkau ya Allah, Engkau tidak diliputi oleh tempat”. Beliau juga berkata: “Maha suci Engkau ya Allah, Engkau tidak dibatasi oleh apapun, dan Engkau bukan benda”. Beliau juga berkata: “Maha suci Engkau ya Allah, Engkau tidak dapat diindra (tidak dapat dirasakan), Engkau tidak dapat disentuh, dan Engkau tidak dapat diraba”[12].
(Masalah): Biasanya kaum Musyabbihah, -kaum Wahhabiyyah di masa sekarang-, untuk mengelabui orang-orang awam mempropagandakan kata-kata tipuan dengan mengatakan: “Kita menetapkan bagi Allah segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri, dan kita menafikan segala apa yang telah dinafikan oleh Allah sendiri”.
(Jawab): Kita katakan kepada mereka: Kalian tidak seperti apa yang telah kalian propagandakan. Sebaliknya, kalian menetapkan apa yang dinafikan oleh Allah, dan menafikan apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Kalian telah menetapkan sifat-sifat benda bagi-Nya, seperti gerak, diam, memiliki tempat dan arah serta sifat-sifat benda lainnya. Padahal perkaraperkara tersebut adalah sesuatu yang telah dinafikan oleh Allah dalam firman-Nya: “Laysa Ka-Mitslihi Syai’” (QS. Asy-Syura: 11). Kalian mengatakan bahwa firman Allah: “Ar-Rahmân ‘Alâ al-’Arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5) adalah dalam pengertian bertempat dan bersemayam, padahal dalam ayat ini Allah berfirman “Istawâ”, sementara kalian mengatakan “Jalasa”, atau “Istaqarra” (duduk, bertempat atau bersemayam). Bukankah dengan pemaknaan seperti ini berarti kalian telah merubah ayat tersebut?! Siapakah yang mengatakan bahwa dalam bahasa Arab makna Istawâ hanya dalam pengertian Istaqarra atau Jalasa saja?! Padahal sudah nyata bahwa sifat duduk hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki bentuk saja, seperti manusia, jin, Malaikat, sapi, kerbau, anjing, kera dan binatang lainnya. Dengan demikian jelas, b
Tentang Penulis
Ahmad subagja | Al-Muhajirin BTN Sandik Indah
| Jln Alfa Raya Blok 2 BTN SANDIK INDAH, BATU LAYAR ,LOMBOK BARAT