Provinsi Maluku Utara
Temukan Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Besar, Masjid Jami, Masjid Umum, Masjid Bersejarah, Masjid Kampus/Sekolah, Masjid Perumahan, Masjid di Mall/Pasar, Masjid Pesantren, Masjid Kantor, Mushola di kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara
-
KAB. MUSI RAWAS UTARA,SUMATERA SELATAN
-
KAB. MUARA ENIM,SUMATERA SELATAN
-
KAB. PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR,SUMATERA SELATAN
-
KAB. EMPAT LAWANG,SUMATERA SELATAN
-
KAB. OGAN KOMERING ILIR,SUMATERA SELATAN
-
KAB. MUSI RAWAS,SUMATERA SELATAN
-
KOTA PALEMBANG,SUMATERA SELATAN
-
KAB. MUSI BANYUASIN,SUMATERA SELATAN
-
KOTA PRABUMULIH,SUMATERA SELATAN
-
KAB. BANYUASIN,SUMATERA SELATAN
-
KAB. OGAN KOMERING ULU,SUMATERA SELATAN
-
KOTA PAGAR ALAM,SUMATERA SELATAN
-
KAB. LAHAT,SUMATERA SELATAN
-
KOTA LUBUK LINGGAU,SUMATERA SELATAN
-
KAB. OGAN KOMERING ULU TIMUR,SUMATERA SELATAN
-
KAB. OGAN KOMERING ULU SELATAN,SUMATERA SELATAN
Tentang Maluku Utara
Maluku Utara (disingkat Malut) merupakan sebuah provinsi di Indonesia. Ibu kota provinsi ini terletak di Sofifi. Provinsi ini terletak di bagian timur Indonesia yang resmi terbentuk pada 4 Oktober 1999, yang sebelumnya menjadi kabupaten dari Provinsi Maluku bersama dengan Kabupaten Halmahera Tengah, berdasarkan UU RI Nomor 46 Tahun 1999 dan UU RI Nomor Tahun 2003. Jumlah penduduk Provinsi Maluku Utara pada pertengahan tahun 2024 mencapai 1.374.859 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebanyak 42 jiwa/km2.
Saat awal pendirian Provinsi Maluku Utara, ibu kota provinsi ini rencananya ditempatkan di Kota Ternate yang berlokasi di Pulau Ternate, tepatnya di kaki Gunung Gamalama dalam kurun waktu kurang lebih 11 tahun, hingga pada 4 Agustus 2010 setelah adanya masa transisi dan persiapan pembangunan, Maluku Utara memindahkan ibu kota provinsi ke Kota Sofifi yang terletak di Pulau Halmahera, tepatnya di wilayah Kelurahan Sofifi, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan.
Istilah Maluku pada awalnya merujuk pada keempat pusat kesultanan di Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Suatu bentuk konfederasi tertentu dari keempat kerajaan tersebut yang kemungkinan besar muncul pada abad ke-14, disebut Moloku Kie Raha atau "Empat Gunung Maluku". Walaupun kemudian keempat kerajaan itu berekspansi dan mencakup seluruh wilayah Maluku Utara (sekarang) dan sebagian wilayah Sulawesi dan Papua, tetapi wilayah ekspansi itu tidak termasuk dalam istilah Maluku yang hanya merujuk pada keempat pusat kesultanan di Maluku Utara.
Kata pertama yang dapat diidentifikasi dengan Maluku berasal dari Nagarakretagama, sebuah kakawin berbahasa Jawa Kuno dari tahun 1365. Pupuh 14 bait 5 menyebutkan Maloko, yang Pigeaud identifikasikan dengan Ternate atau Maluku.:17:34
Provinsi Maluku Utara terdiri dari 1.474 pulau, jumlah pulau yang dihuni sebanyak 89 dan sisanya sebanyak 1.385 tidak berpenghuni.
Kepulauan Maluku Utara terbentuk dari pergerakan tiga lempeng tektonik, yaitu Eurasia, Pasifik dan Indo-Australia yang terjadi sejak zaman kapur. pergerakan ini membentuk busur kepulauan gunung api kuarter yang membentang dari utara ke selatan di Halmahera bagian barat, di antaranya adalah Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Moti, Pulau Mare, dan Pulau Makian. Pulau Halmahera sendiri merupakan pulau vulkanik meskipun aktivitas vulkanik yang terjadi hanya pada sebagian wilayahnya.
Daerah ini pada mulanya adalah bekas wilayah empat kerajaan Islam terbesar di bagian timur Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku), sultan Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha. Walau ada Kerajaan Loloda yang tidak dianggap setingkat dengan kerajaan lainnya. Keempat kerajaan tersebut adalah:
Portugis merupakan bangsa eropa pertama yang datang ke Kepulauan Maluku yaitu di banda pada tahun 1511, dan sampai di Ternate pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah tahun 1512 dibawah pimpinan Francisco Serrão, mereka membangun sebuah benteng di Ternate pada tahun 1522 dan selesai pada tahun 1523. Benteng ini merupakan benteng kolonial pertama di Kepulauan Maluku yang diberi nama São João Batista (Benteng Kastela).
Portugis juga diberi kedudukan dan hak istimewa sebagai mitra dan penasihat kesultanan. Pada 25 Februari 1570 Gubernur Portugis Lopez de Mezquita menjebak dan membunuh Sultan Khairun pada saat jamuan makan di Benteng Kastella. Pasca kematian Sultan Khairun, Sultan Baabullah dinobatkan menjadi sultan menggantikan ayahnya dan berjuang melawan Portugis. Sultan Baabullah mengepung Benteng Kastela selama lima tahun, dan pada tanggal 15 Juli 1575 Portugis akhirnya menyerahkan benteng tersebut dan mundur ke Ambon.
Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 6 November 1521 dipimpin oleh Juan Sebastián Elcano dengan kapal Trinidad dan Victoria. Kedatangan Spanyol disambut oleh Sultan Tidore pada saat itu Sultan Al-Mansur. Hal ini dicatat oleh Antonio Pigafetta, seorang sejarawan dan penjelajah dari Venesia yang ikut dalam pelayaran tersebut.
Kesultanan Tidore menjadikan Spanyol sebagai sekutu untuk melawan dominasi Kesultanan Ternate yang pada masa itu bekerjasama dengan Portugis. Pada tahun 1610 Gubernur Spanyol Cristobal de Azcqueta Menchacha memerintahkan untuk membangun sebuah benteng di Tidore yang diberi nama Santiago de los Caballeros de Tidore. Pembangunan benteng ini selesai pada tahun 1615 saat Gubernur Spanyol Don Jeronimo de Silva menjabat dan mengganti nama benteng ini menjadi Sanctiago Caualleros de los de la de ysla Tidore (Benteng Tahula). Kedatangan Spanyol menjadi ancaman bagi Portugis.
Sebab saat itu Portugis memonopoli perdagangan di Kepulauan Maluku. Portugis melayangkan protes kepada pihak Spanyol karena telah melanggar Perjanjian Tordesillas yang dibuat pada tahun 1494. Karena perselisihan tersebut, pada tanggal 22 April 1529 Paus Aleksander VI memprakarsai Perjanjian Zaragoza antara Raja John III dan Raja Charles V di Zaragoza, Aragon. Dimana Spanyol harus meninggalkan Maluku. Sementara Portugis tetap melakukan aktivitas perdagangan di Maluku. Sebagai gantinya Raja John III diharuskan membayar 350.000 Dukat kepada Raja Charles V. Spanyol akhirnya meninggalkan Maluku dan memusatkan kegiatan mereka di Filipina.
Kekaisaran Jepang menginvasi Maluku pada awal tahun 1942 sebagai bagian dari Kampanye Perang Dunia II Hindia-Belanda, mengusir Belanda dari wilayah tersebut. Halmahera menjadi situs pangkalan angkatan laut Jepang di Teluk Kao. 2 tahun kemudian, pasukan AS dan sekutu mereka melancarkan Pertempuran Morotai pada tahun 1944; membom pulau itu pada bulan Agustus dan menyerang pada bulan September. Pasukan Kekaisaran Jepang di Morotai bertahan sampai 1945 tetapi gagal mengusir Sekutu.
Pada akhir tahun 1944, 61.000 personel AS mendarat di Morotai. Dua pertiga dari mereka adalah insinyur, yang dengan cepat membangun fasilitas termasuk pelabuhan dan dua lapangan terbang ditambah tempat pengisian bahan bakar. Penyerahan resmi Tentara Jepang Kedua terjadi di Morotai pada 9 September 1945. Serdadu Jepang terakhir yang menolak menyerah, Prajurit Teruo Nakamura (Amis: Attun Palalin), ditemukan oleh Angkatan Udara Indonesia di Morotai, dan menyerah ke patroli pencarian pada 18 Desember 1974.
Pada era ini, posisi dan peran Maluku Utara terus mengalami kemorosotan, kedudukannya sebagai keresidenan sempat dinikmati Ternate antara tahun 1945-1957. Setelah itu kedudukannya dibagi ke dalam beberapa Daerah Tingkat II (kabupaten).
Upaya merintis pembentukan Provinsi Maluku Utara telah dimulai sejak 19 September 1957. Ketika itu DPRD peralihan mengeluarkan keputusan untuk membentuk Provinsi Maluku Utara untuk mendukung perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956, namun upaya ini terhenti setelah munculnya peristiwa pemberontakan Permesta.
Pada tahun 1963, sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik dan Parkindo melanjutkan upaya yang pernah dilakukan dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. DPRD-GR merespons upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang intinya memberikan dukungan atas upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara. Namun pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru mengakibatkan upaya-upaya rintisan yang telah dilakukan tersebut tidak mendapat tindak lanjut yang konkret.
Pada masa Orde Baru, daerah Moloku Kie Raha ini terbagi menjadi dua kabupaten dan satu kota administratif. Kabupaten Maluku Utara beribu kota di Ternate, Kabupaten Halmahera Tengah beribu kota di Soa Sio, Tidore dan Kota Administratif Ternate beribu kota di Kota Ternate. Ketiga daerah kabupaten/kota ini masih termasuk wilayah Provinsi Maluku.
Pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, muncul pemikiran untuk melakukan percepatan pembangunan di beberapa wilayah potensial dengan membentuk provinsi-provinsi baru. Provinsi Maluku termasuk salah satu wilayah potensial yang perlu dilakukan percepatan pembangunan melalui pemekaran wilayah provinsi, terutama karena laju pembangunan antara wilayah utara dan selatan dan atau antara wilayah tengah dan tenggara yang tidak serasi.
Atas dasar itu, pemerintah membentuk Provinsi Maluku Utara (dengan ibu kota sementara di Ternate) yang dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Dengan demikian provinsi ini secara resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999 sebagai pemekaran dari Provinsi Maluku dengan wilayah administrasi terdiri atas Kabupaten Maluku Utara, Kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Tengah.
Selanjutnya dibentuk lagi beberapa daerah otonom baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula dan Kota Tidore.
Gubernur Maluku Utara bertanggungjawab atas wilayah provinsi Maluku Utara. Saat ini, gubernur atau kepala daerah yang menjabat di provinsi Maluku Utara ialah Abdul Ghani Kasuba, dengan wakil gubernur Al Yasin Ali. Mereka menang pada Pemilihan umum Gubernur Maluku Utara 2018. Abdul Ghani Kasuba merupakan gubernur Maluku Utara ke-2 untuk periode kedua, sejak provinsi ini dibentuk. Abdul dan Yasin dilantik oleh presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada 24 April 2019 di Istana Negara Jakarta Pusat. Pelantikan gubernur ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38/P/20199 tentang Pengesahan Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara tahun 2019-2024.
DPRD Maluku Utara beranggotakan 45 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pimpinan DPRD Maluku Utara terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik pemilik jumlah kursi dan suara terbanyak. Anggota DPRD Maluku Utara yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilu 2024 yang dilantik pada 23 September 2024 oleh Ketua Pengadilan Tinggi Maluku Utara, Ahmad Shalihin, di Ruang Rapat Paripurna DPRD Provinsi Maluku Utara. Komposisi anggota DPRD Maluku Utara periode 2024-2029 terdiri dari 12 partai politik dimana Partai Golkar adalah partai politik pemilik kursi terbanyak yaitu 8 kursi, kemudian disusul oleh PDI Perjuangan, Partai NasDem, PKS, dan Partai Hanura yang masing-masing meraih 5 kursi. Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Maluku Utara dalam tiga periode terakhir.
Penduduk Provinsi Maluku Utara pada tahun 2019 adalah 1.282.937 jiwa yang tersebar di 10 kabupaten/kota, sementara pada tahun 2021 berjumlah 1.316.973 jiwa penduduk. Kabupaten Halmahera Selatan merupakan daerah yang memiliki jumlah penduduk terbesar yaitu 252.780 jiwa, menyusul Kota Ternate dengan jumlah 201.244 jiwa, dan daerah yang memiliki jumlah penduduk palnig sedikit yaitu Kabupaten Pulau Taliabu sebanyak 75.199 jiwa.
Laju pertumbuhan penduduk di provinsi Maluku Utara adalah 1,98% per tahun. Kabupaten Halmahera Tengah merupakan daerah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi yaitu sebesar 2,92% per tahun, sedangkan daerah dengan laju pertumbuhan penduduk terendah adalah yaitu Kota Tidore Kepulaun sebesar 1,15% per tahun. Dengan luas 31.982 km² dan jumlah penduduk mencapai 1,2 juta pada tahun 2017, tingkat kepadatan penduduk di Provinsi Maluku Utara adalah 38/km². Daerah dengan tingkat kepadatan tertinggi adalah Kota Ternate dengan tingkat kepadatan mencapai 2.003/km², sedangkan wilayah dengan tingkat kepadatan terendah adalah Kabupaten Halmahera Timur dengan tingkat kepadatan hanya 14/km².
Menurut data pada Juni 2021, sebanyak 981.120 penduduk Maluku Utara adalah Muslim, 328.859 adalah Protestan, 6.606 adalah Katolik, 139 adalah Buddha, 113 adalah Hindu dan 10 adalah lainnya
Masyarakat di Maluku Utara terdiri dari berbagai suku bangsa yang sangat beragam. Total ada sekitar 28 kelompok etnis dan bahasa di Maluku Utara. Mereka dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan bahasa yang digunakan, yaitu Austronesia and non-Austronesia. Kelompok Austronesia tinggal di bagian selatan, tengah, dan timur Halmahera. Mereka diantaranya adalah suku Buli, suku Maba, suku Patani, suku Sawai, dan suku Weda.
Di Bagian utara dan barat Halmahera adalah kelompok bahasa non-Austronesia terdiri dari suku Galela, suku Tobelo, suku Loloda, suku Tobaru, suku Modole, suku Togutil, suku Pagu, suku Waioli, suku Ibu, suku Sahu, suku Ternate, suku Tidore, dan suku Makian (sebagian). Di Kepulauan Sula ada beberapa kelompok etnis seperti suku Sula, suku Mangole, suku Kadai, suku Mange, dan suku Siboyo. Sebagian besar masyarakat di daerah ini menggunakan bahasa Melayu Sula, sebuah ragam bahasa Melayu pasar turunan dari bahasa Melayu Maluku Utara.
Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010, berikut ini komposisi etnis atau suku bangsa di provinsi Maluku Utara:
Maluku Utara memiliki 37 bahasa di antaranya Bacan, Bajo, Bicoli, Buli, Buton, Galela, Gamkonora, Gane, Gebe, Gorap, Ibu, Kadai, Kao, Kayoa, Koloncucu, Laba, Loloda, Maba, Makian Dalam, Makian Luar, Melayu Ternate, Modole, Pagu, Patani, Sahu, Saketa, Sanger, Sawai, Sula, Taliabu, Tidore, Ternate, Ternateno, Tobelo, Tobaru, Waioli, dan Weda. Bahasa Bacan, penutur bahasa ini merupakan masyarakat di desa Amasing Kota kecamatan Bacan, Kabaputen Halmahera Selatan.
Sebagian besar penduduk di Maluku Utara beragama Islam, dengan orang-orang Kristen (kebanyakan Protestan) merupakan minoritas dengan jumlah yang signifikan. Agama Hindu, Buddha, Konghucu dan berbagai agama lokal lainnya dipraktikkan oleh sebagian kecil dari populasi. Menurut data Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2021, komposisi agama di provinsi ini adalah Islam 74,50%, kemudian Kristen 25,47% di mana Protestan 24,97% dan Katolik 0,50%. Selebihnya beragama Hindu 0,01%, Budha 0,01% dan Konghucu sebanyak 0,01%.
Agama Islam mencakup seluruh kabupaten/kota di Maluku Utara. Sedangkan penganut agama Kristen menjadi mayoritas di Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat, dan juga memiliki jumlah yang cukup signifikan di Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan dan Kabupaten Pulau Morotai. Sementara pemeluk Hindu, Buddha dan Konghucu umumnya berada di Kota Ternate.
Maluku Utara memiliki objek wisata bahari berupa pulau-pulau dan pantai yang indah dengan taman laut serta jenis ikan hias beragam jenis. Ada juga hutan wisata sekaligus taman nasional dengan spesies endemik ranking ke 10 di dunia. Kawasan suaka alam yang terdiri dari beberapa jenis, baik di daratan maupun di perairan laut seperti Cagar Alam Gunung Sibela di Pulau Bacan, Cagar Alam di Pulau Obi, Cagar Alam Taliabu di Pulau Taliabu dan Cagar Alam di Pulau Seho. Kawasan Cagar Alam Budaya yang memiliki nilai sejarah kepurbakalaan tersebar di wilayah Provinsi Maluku Utara meliputi cagar alam budaya di Kota Ternate, Kota Tidore, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan, dan Halmahera Utara.
Kepulauan Maluku merupakan bagian dari kawasan Malesia yang dikenal memiliki keanekaragaman flora dan tipe vegetasi yang tertinggi di dunia. Secara geografis posisi kepulauan ini terletak di antara Asia-Malesia Barat dan Australia-Pasifik, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran flora dan fauna dari 2 wilayah tersebut dan memperkaya keanekaragaman hayati kepulauan tersebut. Ekoregion ini mewakili hutan hujan di Halmahera, Morotai, Obi, Bacan, dan Kepulauan Maluku terdekat lainnya.
Kawasan hutan tersebut memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi antara lain berbagai jenis flora seperti Damar (Agathis dammara), Bintangur (Calophyllum inophyllum), Benuang (Octomeles sumatrana), Kayu Bugis (Koordersiodendron pinnatum), Matoa (Pometia pinnata), Merbau (Intsia bijuga), Kenari (Canarium mehenbethene gaerta) dan Nyatoh (Palaquium obtusifolium).
Maluku Utara menduduki peringkat 10 Daerah EBA (Endemic Bird Area) terpenting dunia berdasarkan jumlah jenis burung endemik. Daerah Maluku Utara dalam EBA ini mencakup kelompok Halmahera yang terdiri dari pulau-pulau utama yaitu Halmahera, Morotai, Bacan dan Obi, serta jajaran pulau-pulau gunung api kecil yang memanjang dari utara ke selatan di sebelah barat Halmahera.
Sekitar 223 spesies burung ditemukan di daerah ini, 43 spesies termasuk endemik kawasan EBA Maluku Utara. Empat spesies diantaranya bergenus tunggal, yaitu Habroptila, Melitorgrais, Lycocorax, dan Semioptera. Spesies ini adalah Mandar Gendang (Habroptila wallacii), Cikukua Halmahera (Melitograis gilolensis), Cenderawasih Gagak (Lycocorax pyrrhopterus) dan Bidadari Halmahera (Semioptera wallacii).
Beberapa Mamalia endemik juga ditemukan di kepulauan ini seperti Tikus Ekor Mosaik Obi (Melomys obiensis), Kelelawar Bertopeng (Pteropus personatus), dan tiga marsupial arboreal, Kuskus Maluku (Phalanger ornatus), Kuskus Rothschild (Phalanger rothschildi), Kuskus Bermata Biru (Phalenger matabiru) dan Kuskus Gebe (Phalanger alexandrae). Kepulauan ini juga merupakan habitat lebah terbesar di dunia Lebah Raksasa Wallace (Megachile pluto) masyarakat setempat menamakan lebah ini O Ofungu Ma Koana yang artinya Lebah Raja