Informasi Masjid dan Mushola di KAB. LUMAJANG

Temukan Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Besar, Masjid Jami, Masjid Umum, Masjid Bersejarah, Masjid Kampus/Sekolah, Masjid Perumahan, Masjid di Mall/Pasar, Masjid Pesantren, Masjid Kantor, Mushola di KAB. LUMAJANG

Tidakkah dia menyadari bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya ?

Qs Al-Alaq : 14

Tentang KAB. LUMAJANG

Kabupaten Lumajang (Jawa: Hanacaraka: ꦭꦸꦩꦗꦁ, Pegon: لوماجاڠ, Bahasa Jawa: Lumajâng) adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah Kecamatan Lumajang Kota. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo di utara, Kabupaten Jember di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Malang di barat. Kabupaten Lumajang merupakan bagian dari wilayah Tapal Kuda Jawa Timur.

Lumajang merupakan salah satu kabupaten yang rawan bencana, khususnya letusan Gunung Semeru. Letusan akhir-akhir ini terjadi pada 4 Desember 2021, sekitar pukul 15.20 WIB. Wilayah yang paling terdampak yakni desa Supiturang, kecamatan Pronojiwo, Lumajang.

Kabupaten Lumajang terletak pada 112°53'–113°23' Bujur Timur dan 7°54'–8°23' Lintang Selatan. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Lumajang adalah 1790,90 km2. Kabupaten Lumajang terdiri dari dataran yang subur karena diapit oleh tiga gunung berapi yaitu:

Lumajang merupakan salah satu kabupaten yang terletak di kawasan Tapal Kuda Provinsi Jawa Timur. Di bagian barat, yakni di perbatasan dengan Kabupaten Malang dan Kabupaten Probolinggo, terdapat rangkaian Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, dengan puncaknya Gunung Semeru (3.676 m) dan Gunung Bromo (2.392 m). Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa.

Bagian timur laut merupakan ujung barat Pegunungan Iyang. Sedangkan bagian selatan merupakan daerah datar, dengan sedikit wilayah berbukit hingga bergunung di sebelah barat.

Ketinggian daerah Kabupaten Lumajang bervariasi dari 0-3.676 m dpl., dengan daerah yang terluas adalah pada ketinggian 100–500 m dari permukaan laut, yakni seluas 63.405,50 Ha (35,40 % wilayah); dan yang tersempit adalah pada ketinggian 0–25 m dpl yaitu seluas 19.722,45 Ha atau 11,01 % dari luas keseluruhan Kabupaten.

Kabupaten Lumajang dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Lemongan. Dari ketiga gunung berapi yang masih aktif tersebut, Gunung Semeru mendapat prioritas pemantauan lebih dibanding yang lainnya karena seringnya terjadi aktivitas gunung berapi yang membahayakan masyarakat sekitarnya.

Kabupaten Lumajang beriklim tropis. Berdasarkan klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson sebagian wilayah termasuk tipe C, yang bersifat agak basah, dan sebagian lainnya bertipe D. Bulan-bulan kering, dengan jumlah curah hujan kurang dari 100 mm per bulan, terjadi pada bulan-bulan Juni–September. Sementara bulan-bulan basah terjadi pada bulan-bulan Desember–Maret dengan jumlah curah hujan lebih dari 250 mm per bulan. Jumlah curah hujan tahunan berkisar antara 1.500–2.500 mm. Suhu udara rata-rata di sebagian besar wilayah Lumajang berkisar antara 24 °C–32 °C, sedangkan di kawasan pegunungan suhu udara dapat mencapai 5 °C, terutama di daerah lereng Gunung Semeru.

Kabupaten Lumajang mempunyai 31 sungai dan 8 air terjun. Selain itu juga terdapat danau (ranu) yakni Ranu Pakis, Ranu Klakah dan Ranu Bedali di Kecamatan Klakah serta Ranu Regulo, Ranu Pani dan Ranu Kumbolo di Kecamatan Senduro.

Sungai-sungai yang cukup besar dengan daerah aliran di wilayah Lumajang dan sekitarnya antara lain Kali Besuk Sat, Kali Bondoyudo, Kali Asem, Kali Mujur, Kali Pancing dan Kali Rejali yang kesemuanya berakhir di Pantai Laut Selatan.

Nama Lumajang berasal dari nama tempat "Lamajang" yang diketahui dari penelusuran sejarah, data prasasti, naskah-naskah kuno, bukti-bukti petilasan dan hasil kajian pada beberapa seminar dalam rangka menetapkan hari jadinya. Beberapa sumber itu antara lain:

Prasasti Mula Malurung adalah prasasti tertua yang menyebut keberadaan "Nagara Lamajang", karenanya dianggap sebagai titik tolak hari jadi Lumajang. Prasasti yang ditemukan pada tahun 1975 di Kediri dan berangka 1177 tahun Saka ini diterbitkan oleh Raja Kertanegara dari Singasari untuk memperingati anugerah Raja Seminingrat kepada Pranaraja berupa dua desa perdikan, Mula dan Malurung. Prasasti ini terdiri dari 12 lempengan tembaga, dan lempengan VII halaman A memuat nama-nama putera-puteri dan kerabat Raja Seminingrat yang diangkat menjadi raja-raja bawahan. Salah satunya, disebutkan bahwa Nararya Kirana yang telah dianggap seolah-olah putera sang Prabu, dijadikan raja di Lumajang. Menurut prasasti tersebut penetapan itu terjadi pada tahun 1177 Saka, yang sesuai dengan tanggal 14 Dulkaidah 1165 tahun Jawa atau tanggal 15 Desember 1255 Masehi.

Mengingat cukup meyakinkan bahwa pada 1255 M itu "Negara Lamajang" sudah merupakan sebuah negara yang berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990.

Dalam sejarahnya, wilayah ini sangat berhubungan dengan tokoh sejarah bernama Aria Wiraraja. Kitab Pararaton dan Harsawijaya mengisahkan bahwa tokoh yang ketika muda bernama Banyak Wide ini pada mulanya mengabdi di Singasari, namun oleh Raja Kertanegara kemudian dibuang secara halus dari ibu kota Singasari dan dijadikan bupati di Sumenep, Madura Timur. Aria Wiraraja kemudian berkesempatan memberikan bantuan dan perlindungan kepada Raden Wijaya ketika ia dan rombongannya melarikan diri ke Sumenep setelah kerajaan Singosari diserang dan ditaklukkan oleh Jayakatwang. Selanjutnya Pararaton dan Kidung Harsawijaya menceritakan bahwa Wiraraja diberi hadiah wilayah bagian timur Jawa Timur yang diberi nama "Lamajang Tigang Juru", ketika Raden Wijaya berhasil memenangkan perang dan menjadi raja pertama di kerajaan Majapahit. Akan tetapi wilayah itu baru dikuasai dan diperintahnya setelah kematian puteranya, Ranggalawe, yang memberontak kepada Majapahit (1295).

Wilayah Lumajang kembali disebut-sebut dalam Kitab Negarakertagama ketika Raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling wilayah timur Majapahit pada tahun 1359 M; kala itu wilayah ini sudah dikuasai kembali oleh Majapahit. Nama Lumajang (atau, dalam versi aslinya: Lamajang) ini mengacu pada satu wilayah yang luas di pojok timur (Bld.: Oosthoek) Jawa Timur, di mana termasuk pula di dalamnya wilayah kuno Pajarakan di sekitar Kraksaan, Probolinggo sekarang.

Perjalanan sejarah Lumajang kemudian masuk pada babak pemerintahan kerajaan Blambangan. Sejarah pada masa ini agak kurang jelas karena kurangnya data. Menurut Babad Sembar, setelah keruntuhan Majapahit maka Lumajang dipimpin oleh Lembu Miruda. Kemudian terjadi masa peperangan antara Untung Surapati, kerajaan Blambangan, Mataram, dan VOC.

Pada abad ke 17 Lumajang dikuasai oleh keluarga Untung Suropati setelah kematian pemimpin terakhir Kerajaan Blambangan, Susuhuna Tawangalun. Salah satu penguasanya yaitu Tumenggung Kartonegoro memerintah Lumajang di kawasan perbentengan Kutorenon. Cucu Untung Suropati itu terkenal sangat anti VOC. Permintaan untuk menyerahkan diri kepada VOC ditolaknya mentah-mentah sehingga Lumajang ditaklukkan dan perbentengannya diratakan dengan tanah pada bulan Juni tahun 1767.

Pada masa penjajahan Belanda, awalnya Lumajang hanya daerah dibawah Pasuruan dan Probolinggo. Pimpinan tertinggi Lumajang adalah Asisten Residen dengan didampingi Jaksa. Pada 31 Desember 1866, Raden Astro Koesoemo diangkat menjadi Jaksa Lumajang. (Regeerings Almanak Nederlandsch Indie 1968).

Pada tahun 1882 wilayah Lumajang berstatus Distrik (setingkat kecamatan) yang dipimpin oleh seorang Wedana. Kemudian pada tahun 1886 statusnya dinaikkan menjadi Afdeeling (setingkat kabupaten), kepala pemerintahannya adalah seorang Patih Afdeeling. Beberapa patih yang pernah memimpin Lumajang antara lain: Tahun 1867 - 1886 Patih Raden Endro Koesoemo (Regeerings Almanak Nederlandsch Indie 1870), 1886 - 1890 Patih Raden Pandji Atmo Koesoemo (Regeerings Almanak Nederlandsch Indie 1887), 1890 - 1920 Patih Raden Mas Singowiguno (Regeerings Almanak Nederlandsch Indie 1898), 1920 - 1923 Patih Mas Ngabehi Ardjosoepoetro (Regeerings Almanak Nederlandsch Indie 1922), 1923 - 1928 Patih Raden Kartoadiredjo (Regeerings Almanak Nederlandsch Indie 1933).

Tahun 1929 sistem pemerintahan di Lumajang dinaikkan lagi statusnya menjadi Kabupaten, dengan kepala pemerintahannya seorang Bupati. Raden Kartoadiredjo naik jabatan menjadi Bupati pertama Lumajang didampingi Patih Raden Boedihardjo (1928-1939).

Kabupaten Lumajang terdiri dari 21 kecamatan, 7 kelurahan, dan 198 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 1.108.060 jiwa dengan luas wilayah 1.790,90 km² dan sebaran penduduk 618 jiwa/km².

Di Kabupaten Lumajang terdapat jalan raya antar provinsi dan jalur kereta api lintas Surabaya-Jember-Banyuwangi, namun kedua jalur transportasi utama tersebut tidak melalui ibu kota Kabupaten Lumajang. Jalan Nasional Rute 25 berujung di Wonorejo, sekitar 6 km di utara pusat kota Lumajang, menghubungkan Jalan Nasional Rute 1 (lebih dikenal sebagai Jalur Pantura) di Probolinggo dengan Jalan Nasional Rute 3 yang melintasi Kota Lumajang dan berbelok ke timur di Wonorejo menuju Jember, Banyuwangi, dan berakhir di Ketapang, lokasi penyeberangan feri ke Bali. Jalan raya no 25 yang bersambung dengan Jalan raya no 3 itu dilintasi bus-bus AKAP (antar kota dan antar provinsi), terutama rute Surabaya–Jember dan Surabaya–Banyuwangi via Jember. Bus-bus penumpang yang lebih kecil menghubungkan Kota Lumajang dengan Jember via Kencong, dan Lumajang–Malang via Dampit.

Jalur kereta api melintasi beberapa ibu kota kecamatan antara lain Ranuyoso, Klakah, Randuagung dan Jatiroto. Klakah merupakan kecamatan terdekat untuk akses kereta api dari kota Lumajang. Sebenarnya ada pula jalur kereta api yang melewati kota Lumajang sampai ke Pasirian dan dari Lumajang juga bercabang ke arah timur ke Rambipuji melewati Kencong, namun jalur peninggalan masa kolonial Belanda ini sudah tidak aktif lagi semenjak tahun 1988.

Selain transportasi umum di atas, masyarakat Lumajang mengenal transportasi rakyat yakni becak dan dokar (kereta kuda) untuk pengangkutan orang, serta pegon (kereta sapi) untuk pengangkutan barang dan hasil bumi. Keberadaannya perlahan tergeser dan tergantikan dengan mesin-mesin transportasi modern dan sekarang ini digunakan secara terbatas pada lokasi dan momen tertentu.

Penduduk Kabupaten Lumajang umumnya adalah suku Jawa Arekan dan Suku Madura Pendalungan, dan agama mayoritas adalah Islam. Di Pegunungan Tengger Kecamatan Senduro (terutama di daerah Ranupane, Argosari, dan sekitarnya), terdapat masyarakat Tengger yang termasuk sub-suku Jawa yang memiliki bahasa khas dan beragama Hindu.

Di Senduro terdapat sebuah pura yang dikenal dengan nama Pura Mandara Giri Semeru Agung (MGSA), yang digunakan untuk ibadah baik pada hari biasa maupun hari besar umat Hindu. Pada hari biasa, pura tersebut juga dijadikan sebagai tempat wisata.

Kabupaten Lumajang memiliki beberapa sarana olahraga baik indoor maupun outdoor. Selain itu, di Kabupaten Lumajang juga terdapat beberapa serikat olahraga.

Lumajang memiliki cukup banyak lokasi wisata pantai di Laut Selatan (Samudra Hindia) seperti Pantai Mbah Drajid WGL, Pantai Bambang, Pantai Dampar, Watu Pecak, Watu Godeg dan Watu Gedeg. Di samping itu, di lereng-lereng timur Semeru terdapat beberapa lokasi wisata lokal seperti Piket Nol, yang menjadi puncak tertinggi di lintas perbukitan selatan, Goa Tetes, dan Gladak Perak di lintas selatan Lumajang-Malang. Di daerah Sumber Mujur juga terdapat kawasan hutan bambu di sekitar mata air Sumber Deling yang merupakan tempat pelestarian aneka jenis tanaman bambu, yang sekaligus menjadi habitat bagi kawanan kera dan ribuan kelelawar (kalong). Di Pasrujambe terdapat sebuah tempat wisata mata air suci dan Pura Watu Klosot yang menjadi tujuan wisata bagi peziarah Hindu dari Bali.Lumajang juga memiliki air terjun yang sangat menarik, diantaranya Air Terjun Tumpak Sewu, Air Terjun Kapas Biru, Air Terjun Kabut Pelangi. Dan Lumajang memiliki Wisata "Negeri Diatas Awan" Puncak B-29, Dan desa tertinggi yaitu desa Ranu Pani yang menjadi gerbang pendakian menuju gunung Semeru

Tahun 2015, Kabupaten Lumajang menjadi sorotan nasional terkait kejadian luar baiasa yang menimpa Salim Kancil, warga Desa Selok Awar-awar yang menjadi korban pembunuhan menyusul aksi protes menentang penambangan pasir di desa setempat.

Berita dari Masjid

Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.