Jakarta (Kemenag) --- Kajian tangga ruhani kaum sufi dalam meraih rida Ilahi memasuki tangga kelima. Kajian yang diampu Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman ini bersumber dari Kitab Tanbih Al-Masyi karya Abdurrauf Al-Sinkili.
Kajian ini disajikan Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Sawangan Depok ini dalam utasan bertajuk #TanggaRuhani melalui akun twitter @Ofathurahman selama Ramadan 1442 H. Tangga kelima ini bertema "Al-Ushul" atau pokok-pokok. Tangga ini merupakan kelanjutan dari empat tahapan yang sudah dibahas sebelumnya, yaitu: Al-Bidayah, Al-Abwab, Al-Mu'amalah, dan Al-Akhlak.
"Manzilah Al-Ushul (pokok-pokok), merupakan persinggahan tangga ruhani kelima. Dalam Manzilah ini ada #10TanggaRuhani juga," demikian Oman yang juga pengampu kajian online Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) di chanel youtubenya, mengawali utasannya sebagaimana dikutip Humas dengan beberapa penyesuaian tulisan dengan penyesuaian seperlunya, terutama pada penulisan singkatan, Senin (3/5/2021).
Pertama, al-Qasd (tekad). Yakni menyengaja dalam hati untuk semata akan ta’at pada Allah. Siapa yang keluar rumah, bertekad untuk ta’at pada Allah selama di perjalanan, lalu gugur, ia mndapatkan ganjaran dari-Nya. "Tekad kuat akan memupus keraguan," ujar Oman.
Tangga Ruhani kedua pada Manzilah Al-Ushul adalah al-‘Azam (berketetapan). Orang harus membulatkan hati untuk mewujudkan tekad yang telah dicanangkan, agar tidak berpaling ke lain tujuan yang dapat membuat ragu, tergoda, dan kemudian menyimpang. "Jika sudah berketetapan, sisanya adalah tawakkal," terang Oman.
Tangga ketiga adalah al-Iradah (kehendak). Yakni, memenuhi ajakan kebenaran. Al-Iradah menyetir tindakan dan perilaku. Kehendak baik akan membawa kebaikan, kehendak buruk sebaliknya. “Setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing,†jelas Oman mengutip QS al-Isra’ ayat 84.
Keempat, al-Adab (adab). Yakni menjaga batas keseimbangn antara al-ifrath & al-tafrith. Yang pertama: berlebihan dalam beribadah, yang kedua: menyepelekannya. Artinya, mnempuh jalan tengah, tidak terlalu khawatir atau putus asa, dan tidak terlalu optimis atau terlena.
Kelima, al-Yaqin (yakin). Yakni tuma’ninah, meyakini perkara ghaib: akhirat, surga, neraka, dan lainnya yang disampaikan Allah & Rasul-Nya, tidak ada keraguan atasnya. "Orang yakin tidak berlebihan memuji yang memberi, tidak mencaci mereka yang tidak berbagi," tutur Oman.
Tangga Ruhani berikutnya adalah al-Uns (ramah). Artinya, “jinakâ€, nyaman dengan Allah. Menurut Oman, Al-Sinkili terkait hal ini mengutip al-Harawi dan menjelaskan bahwa al-uns adalah ruhnya taqarrub, dekat dengan-Nya. Ketaatan dan cinta yang melahirkan kedekatan, tidak dekat kalau tidak nyaman dengan segala perintah dan larangan-Nya.
Ketujuh, al-Dzikr (mengingat). Yakni, amaliah yang mendekatkan kepada al-Haq, upaya membersihkn diri dari lalai dan lupa. Dzikir bisa dilakukan secara zahir, samar (khafi), maupun hakiki. "Yang terakhir ini berarti selalu menghadirkan Allah dalam diri," jelasnya.
Tangga Ruhani kedelapan adalah al-Faqr (butuh). Ini dipahami sebagai akhlak sempurna yang mencerminkan capaian persinggahan tangga ruhani. Al-Faqr berarti hanya membutuhkan Allah semata. Orang fakir bukan yang tidak punya harta, melainkan yang bisa tetap “fakir†dalam kekayaannya.
"Kesembilan, al-Gina’ (kaya), milik sempurna, kaya hati, kaya jiwa, inilah hakikat kaya, bukan kaya harta. Seorang kaya adalah mereka yang merasa cukup dengan Allah dan tidak membutuhkan selain-Nya," tutur Oman.
"Al-Gina’ sangat terkait dengan al-Faqr. Kayanya seorang hamba, lain dengan Mahakaya Tuhan," sambungnya.
Terakhir atau tangga kesepuluh adalah al-Murad (yang dikehendaki). Yakni, yang terpilih diangkat derajatnya menjadi lebih tinggi. Nabi Saw dikehendaki menerima Quran, meski ia sendiri tidak pernah berharap (al-Qashash: 86). "Setiap murid/salik, tujuan akhirnya menjadi al-murad," tandasnya.