Masjid dengan Kategori Masjid Kampus/Sekolah
Masjid dengan Kategori Masjid Kampus/Sekolah di KAB. SUKAMARA
Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian
Tentang KAB. SUKAMARA
.mw-parser-output .geo-default,.mw-parser-output .geo-dms,.mw-parser-output .geo-dec{display:inline}.mw-parser-output .geo-nondefault,.mw-parser-output .geo-multi-punct,.mw-parser-output .geo-inline-hidden{display:none}.mw-parser-output .longitude,.mw-parser-output .latitude{white-space:nowrap}2°35′48.66″S 111°10′41.38″E / 2.5968500°S 111.1781611°E / -2.5968500; 111.1781611
Kabupaten Sukamara adalah sebuah wilayah kabupaten yang terletak di provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Ibu kotanya adalah kecamatan Sukamara. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.827 km² dan berpenduduk sebanyak 44.952 jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010), dan 66.118 jiwa pada pertengahan tahun 2024.
Kabupaten ini sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Kotawaringin Barat, pada tanggal 10 April 2003 dikeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 2003 tentang Pengukuhan/Pemekaran 8 Kabupaten, maka Kabupaten Kotawaringin Barat dimekarkan dan ditambah dengan Kabupaten Lamandau. Sukamara berbatasan langsung dengan provinsi Kalimantan Barat.
Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah negara kerajaan induk: Borneo (Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin (Bumi Kencana). Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah mandala Borneo (Brunei) dengan wilayah mandala Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin). Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana. Perbatasan di pedalaman, perhuluan daerah aliran sungai Pinoh (Lawai, wilayah Dayak U'ud Danum) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)
Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri untuk mengutip upeti kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberikan kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin di mana dia sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Dia kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri. Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan untuk menjabat adipati Kotawaringin bernama Dipati Ngganding (Kiai Gede) yang merupakan mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding.
Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibu kota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat di mana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi di mana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena dia sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin.
Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini dia tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka.
Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, di mana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut. Kemudian Pangeran Dipati Anta-Kasuma berangkat ke Kotawaringin di mana Kiai Gede mengiktirafkan Pangeran sebagai raja dan Kiai Gede sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
Maka waktu itu Marhum Panembahan menyatukan Kota Waringin itu kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma itu. Yang disuruh manduduk itu Dipati Ngganding pada Kota Waringin itu; Dipati Ngganding itu diserahkan arah Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Itulah maka Dipati Ngganding diam di Kota Waringin itu; maka demikian itulah awal mulanya maka Sukadana tiada lagi memberi upeti ke Martapura itu. Banyak tiada tersuratkan itu.
Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615). Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai. Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini. Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju menuju ke depan dari arah kedatangannya dari negeri Banjar).
Sudah kemudian daripada itu maka Ratu Kota Waringin maatur kepada Ratu Agung hendak mantuk ke Kota Waringin. Maka Raden Buyut Kasuma Matan itu dibawa oleh Ratu Kota Waringin, dibawa ke Kota Waringin. Maka Ratu Agung menyerahkan akan desa-desa sebelah barat Banjar hingga Jelai. Maka Ratu Kota Waringin pergilah, maka masuk Jelai berbuat tempat itu dinamakan Sukamara. Maka kata Ratu Kota Waringin: "Ini aku namakan Sukamara karena sebab sukanya ada maranya ada." Maka beberapa lamanya diam di sana maka Ratu Kota Waringin mendarat ke Kota Waringin itu, lalu diamlah di Kota Waringin menetapkan tahta perintah di Kota Waringin.
Pada sekitar tahun 1800, datanglah perantau bernama Datok Nakhoda Muhammad Taib dan istrinya ke suatu tempat yang pada saat itu masih belum berpenghuni dan dia membuka permukiman pada saat itu, Asal dia dari kampung Sungai Kedayan, Brunei Darussalam. Wilayah tersebut masih termasuk dalam kekuasaan dari kerajaan kotawaringin maka diutuslah seorang mentri kerajaan untuk menata kehidupan di daerah tersebut,mentri kerajaan tersebut bernama Pangeran Prabu wijaya, kemudian diadakan musyawarah antara pangeran prabuwijaya dengan masyarakat untuk membuat nama kampung tersebut,setelah ada kesepakatan maka nama kampung tersebut menjadi Jelai kerta jaya Memasuki tahun 1920 keadaaan kampung sudah semakin berkembang dan masyarakatnya sudah bertambah banyak di ambilah sebuah keputusan untuk mengubah nama kampung dengan nama Soekamara, Soeka artinya senang dan Mara artinya maju berarti masyarakat yang suka dengan kemajuan.
Berdasarkan Contract Met Den Sultan Van Bandjermasin 4 Mei 1826./B 29 September 1826 No.10, yang dibuat Sultan Adam dari Banjar dengan pihak kolonial Belanda, wilayah Kutaringin atau Kotawaringin dan Jelai (Sukamara) diserahkan kepada pihak kolonial Hindia Belanda.
Sri Paduka Sultan Adam salinkan kepada radja dari Nederland segala negeri jang tersebut di bawah ini : Pulau Tatas dan Kuin sampai di subarang kiri Antasan Ketjil dan pulau Burung mulai dari kuala Bandjar subarang kanan sampai di Pantuil dan di Pantuil subarang pulau Tatas lantas ke timur Rantau Kuliling dengan segala sungai2nja Kelajan Ketjil Kelajan Besar dan kampung jang di subarang pulau Tatas sampai di sungai Messa di ulu kampung Tjina lantas ke darat sampai di sungai Baru sampai di sungai Lumbah dan pulau Bakumpai mulai dari kuala Bandjar subarang kiri mudik sampai di kuala Andjaman di kiri milir sampai kuala Lopak dan segala tanah Dusun semuanja desa2 kiri kanan mudik ka ulu mulai Mengkatip sampai terus negeri Siang dan di ilir sampai di kuala Marabahan dan tanah Dajak Besar-Ketjil dengan semuanja desa2nja kiri kanan mulai di kuala Dajak mudik ka ulu sampai terus ke ilir sungai Dajak dengan segala tanah di daratan jang takluk padanja dan tanah Mendawai Sampit Pembuang semuanja desa2nja dengan segala tanah jang takluk padanja dan tanah Kutaringin Sintang Lawey Djelei semuanja desa2nja dengan segala tanah jang takluk padanja. Dan Taboniou dan segala tanah Laut sampai di Tandjung Silatan dan ke timur sampai watas dengan Pagatan dan ka oetara sampai di kuala Maluka mudik sungai Maluka Selingsing Lijang Anggang Banju Irang lantas ke timur sampai di gunung Pamaton sampai watas dengan tanah Pagatan dan negeri jang di pasisir timur Pagatan Pulau Laut Batu Litjin Pasir Kutai Barau semuanja dengan tanah2 jang takluk padanja.
Kotawaringin (termasuk di dalamnya Jelai alias Sukamara) termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8.
Luas wilayah Kabupaten Sukamara adalah 3.827 km². Letak geografis Kabupaten Sukamara pada titik koordinat 2°19' – 3°07' Lintang Selatan dan 110°25' – 111°9'50" Bujur Timur.
Kondisi/Kawasan di Kabupaten Sukamara, yaitu meliputi sebelah barat dan utara merupakan daerah daratan dengan ketingian antara 7-100 meter dari atas permukaan laut, sedangkan wilayah selatan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa merupakan daratan rendah yang cukup potensial untuk sektor perikanan dan pertanian terutama padi sawah. Kabupaten Sukamara dapat dikatakan termasuk daerah rendah dengan ketinggian berkisar antara 0–100 m serta kemiringan 0-15 derajat. Sebagian besar wilayahnya berada disekitar laut dan sungai. Bagian selatan Kabupaten Sukamara, yaitu Kecamatan Jelai dan Pantai Lunci mempunyai elevasi 0–25 meter dpl, demikian juga bagian tengah yaitu Kecamatan Sukamara mempunyai elevasi yang relatif sama. Bagian utara yaitu Kecamatan Balai Riam dan Kecamatan Permata Kecubung berada pada ketinggian 25–100 meter dpl. Ketinggian tempat yang berada pada bagian utara lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah bagian selatan, ini terlihat dari fisiografi wilayah bagian utara yang merupakan daerah berombak hingga pegunungan.
Terdapat 2 Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah Kabupaten Sukamara, yaitu DAS Jelai sepanjang 200 km dan DAS Maram. Daerah Aliran Sungai Jelai meliputi lebih dari 40 anak sungai yang tersebar hampir di seluruh wilayah kabupaten ini.
Untuk air tanah, berdasarkan hasil studi “Potensi Air Baku Kabupaten Sukamara dan Kabupaten Lamandau” yang dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan umum Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2004, potensi air tanah di Kabupaten Sukamara dibagi 3 zona untuk potensi air tanahnya yaitu:
Wilayah Kabupaten Sukamara beriklim hutan hujan tropis (Af) dengan curah hujan yang cenderung tinggi sepanjang tahun. Suhu udara di wilayah kabupaten ini terbilang konstan pada rentang 23°–34° C dengan tingkat kelembapan relatif yang cenderung tinggi antara 70%–90%.
Saat ini, penjabat bupati Sukamara diberikan kepada Kaspinor. Ia dilantik gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, pada 25 September 2023. Sebelumnya, jabatan bupati dan wakil bupati Sukamara yakni Windu Subagio dan Ahmadi. Mereka adalah pemenang pada pilkada 2018, dan masa tugas mereka berahkir pada 24 September 2023. Saat ini, penjabat bupati Sukamara dijabat oleh Rendi Lesmana, ia dilantik pada 11 Agustus 2024.
Kabupaten Sukamara terdiri dari 5 kecamatan, 3 kelurahan, dan 29 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 58.143 jiwa dengan luas wilayah 3.827,00 km² dan sebaran penduduk 15 jiwa/km².
Kabupaten Sukamara termasuk yang paling sedikit jumlah penduduknya di Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan luas wilayah 3.827 km², jumlah penduduknya hanya 44.952 jiwa atau kepadatan hanya 11.0 00jiwa/km2.
Komoditas pertanian unggulan daerah ini adalah padi, palawija dan hortikultura. Sementara untuk usaha perkebunan adalah kelapa sawit dan karet. Potensi perkebunan daerah ini masih cukup besar dan terbuka bagi investor. Disamping itu potensi usaha budidaya perikanan masih tersedia 19 ribu ha dan tambak udang bandeng 13 ribu ha (yang telah digarap baru 913 ha).
Sedangkan hasil pertambangan terutama adalah batu kecubung, pasir kuarsa yang berkadar 98% sebagai bahan baku industri gelas dan kaca yang terdapat di Kecamatan Jelai dengan total cadangan yang diperkirakan mencapai 1.191.840.000 m³.
Kabupaten Sukamara Banyak Dipengaruhi Oleh Budaya Melayu Kalimantan Barat Dan Sumatra Seperti Makanan Yaitu Kerupuk Basah Yang Mirip Dengan Makanan Khas Sumatera Selatan Yaitu Pempek. Dan Dalam Pengaruh Pakaian Juga Mirip Dengan Pakaian Melayu . Sukamara Mempunyai Bahasa Yang Mirip Dengan Bahasa Melayu Kalimantan Barat Seperti Penambahan Kata Yang Berakhiran-E Seperti: "Kemane","Siape","Sembile","Kite","Te",Dan "Saye".
Pakaian Dayak Darat Biasa Ditemukan Di Wilayah Bukit Sukamara Seperti Kecamatan Balai Riam Dan Kecamatan Permata Kecubung. Sama Seperti Pakaian Dayak Lainnya, Pakaian Dayak Darat Juga Memiliki Baju Kayu,Kepala Enggang,Taring,Dan Lain-lain.
Rumah Adat Dayak Darat Adalah Rumah Betang. Rumah Adat Di Sukamara Dapat Dijumpai Di Kecamatan Balai Riam Dan Kecamatan Permata Kecubung
Ritual Suku Dayak Darat Sukamara Adalah Ritual Tiwah Yaitu Mengantar Roh Orang Meninggal Ke Lewu Liau Dan Manetek Pantan Yaitu Memotong Pantan Atau Batang Jarau Pada Pesta Perkawinan.
Budaya Banjar Banyak Masuk Ke Sukamara Akibat Pengaruh Kerajaan Kotawaringin. Budaya Banjar Yang Banyak Ditemukan Adalah Makanan Seperti Lontong dan Nasi Kuning. Sukamara Juga Banyak Dipengaruhi Bahasa Banjar Seperti Kata: "Ulun","Pian","Enggih",Dan "Pon".
Berita dari Masjid
Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.