Masjid dengan Kategori Masjid Bersejarah

Masjid dengan Kategori Masjid Bersejarah di KAB. GIANYAR

Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian

Tentang KAB. GIANYAR

.mw-parser-output .geo-default,.mw-parser-output .geo-dms,.mw-parser-output .geo-dec{display:inline}.mw-parser-output .geo-nondefault,.mw-parser-output .geo-multi-punct,.mw-parser-output .geo-inline-hidden{display:none}.mw-parser-output .longitude,.mw-parser-output .latitude{white-space:nowrap}8°28′S 115°17′E / 8.467°S 115.283°E / -8.467; 115.283

Kabupaten Gianyar (bahasa Bali: aksara Bali: ᬕ᭄ᬬᬜᬃ, translit. gyañaŕ) adalah sebuah wilayah kabupaten yang terletak di provinsi Bali, Indonesia. Ibu kota Gianyar berada di kecamatan Gianyar. Gianyar berbatasan dengan Kota Denpasar di Barat Daya, Kabupaten Badung di Barat, Kabupaten Bangli di Utara dan Kabupaten Klungkung di Timur. Pada pertengahan tahun 2024, jumlah penduduk Gianyar sebanyak 507.746 jiwa. Kabupaten ini merupakan pusat budaya ukiran di Bali.

Sejarah Kabupaten Gianyar ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 9 tahun 2004 tanggal 2 April 2004 tentang Hari jadi Kabupaten Gianyar.

Sejarah 2,5 abad lebih, tepatnya 252 tahun yang lalu, 19 April 1771, ketika Gianyar dipilih menjadi nama sebuah keraton, Puri Agung yaitu Istana Raja (Anak Agung) oleh Ida Dewa Manggis Sakti maka sebuah kerajaan yang berdaulat dan otonom telah lahir serta ikut pentas dalam percaturan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Bali. Sesungguhnya berfungsinya sebuah keraton, yaitu Puri Agung Gianyar yang telah ditentukan oleh syarat sekala niskala yang jatuh pada tanggal 19 April 1771 adalah tonggak sejarah yang telah dibangun oleh raja (Ida Anak Agung) Gianyar I, Ida Dewata Manggis Sakti memberikan syarat kepada kita bahwa proses menjadi dan ada itu bisa ditarik ke belakang (masa sebelumnya) atau ditarik ke depan (masa sesudahnya).

Berdasarkan bukti arkeologis di wilayah Gianyar, diperkirakan bahwa munculnya pemukiman manusia di Gianyar terjadi sudah sejak 2.000 tahun yang lalu dengan ditemukannya situs perkakas (artefak) berupa batu, logam perunggu berupa nekara (Bulan Pejeng), relief-relief yang menggambarkan kehidupan candi-candi atau goa-goa di tebing-tebing sungai (tukad) Pakerisan.

Setelah bukti-bukti tertulis ditemukan berupa prasasti di atas batu atau logam terindetifikasi situs pusat-pusat kerajaan dari dinasti Warmadewa di Keraton Singamandawa, Bedahulu. Setelah ekspedisi Gajah Mada (Majapahit) dapat menguasai Pulau Bali maka di bekas pusat markas laskarnya didirikan sebuah Keraton Samprangan sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang dipegang oleh Lima Raja Bali, yaitu:

Dua Raja Bali yang terakhir yaitu Ida Dalem Segening dan Ida Dalem Dimade telah menurunkan cikal bakal penguasa di daerah-daerah. Ida Dewa Manggis Kuning (1600-an) penguasa di Desa Beng adalah cikal bakal Dinasti Manggis yang muncul setelah generasi II membangun Kerajaan Payangan (1735-1843). Salah seorang putra raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe yang bernama Ida Dewa Agung Anom muncul sebagai cikal bakal dinasti raja-raja di Sukawati (1711-1771) termasuk Peliatan dan Ubud. Pada periode yang sama, yaitu periode Gelgel muncul pula penguasa-penguasa daerah lainnya, yaitu I Gusti Ngurah Jelantik menguasai Blahbatuh dan kemudian I Gusti Agung Maruti menguasai daerah Keramas yang keduanya adalah keturunan Arya Kepakisan.

Dinamika pergumulan antara elit tradisional dari generasi ke generasi telah berproses pada momentum tertentu, salah seorang di antaranya sebagai pembangunan kota keraton atau kota kerajaan pusat pemerintahan kerajaan yang disebut Gianyar. Pembangunan Kota kerajaan yang berdaulat dan memiliki otonomi penuh adalah Ida dewa Manggis Sakti, generasi IV dari Ida Dewa Manggis Kuning.

Sejak berdirinya Puri Agung Gianyar 19 April 1771 sekaligus ibu kota Pusat Pemerintah Kerajaan Gianyar adalah tonggak sejarah. Sejak itu dan selama periode sesudahnya Kerajaan Gianyar yang berdaulat, ikut mengisi lembaran sejarah kerajaan-kerajaan di Bali yang terdiri atas sembilan kerajaan di Klungkung, Karangasem, Buleleng, Mengwi, Bangli, Payangan, Badung, Tabanan dan Gianyar. Namun sampai akhir abat ke-19, setelah runtuhnya Payangan dan Mengwi di satu pihak dan munculnya Jembrana dilain pihak maka Negara): Klungkung, Karangasem, Bangli dan Gianyar (ENI, 1917).

Ketika Belanda telah menguasai seluruh Pulau Bali, ke-8 bekas kerajaan tetap diakui keberadaannya oleh Pemerintah Guberneurmen namun sebagai bagian wilayah Hindia Belanda yang dikepalai oleh seorang raja (Selfbestuurder) di daerah swaprajanya masing-masing. Selama masa revolusi, ketika daerah Bali termasuk dalam wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) otonomi daerah kerjaan (Swapraja) ke dalam sebuah lembaga yang disebut Oka, Raja Gianyar diangkat sebagai Ketua Dewan Raja-raja menggantikan tahun 1947.

Selain itu pada periode NIT dua tokoh lainnya yaitu Tjokorde Gde Raka Sukawati (Puri Kantor Ubud) menjadi Presiden NIT dan Ida A.A. Gde Agung (Puri Agung Gianyar) menjadi Perdana Menteri NIT, Ketika Republik Indonesia Serikat (RIS) kembali ke Negara Kesatuan (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, maka daerah-daerah diseluruh Indonesia dengan dikeluarkan Undang-undang N0. I tahun 1957, yang pelaksanaannya diatur dengan Undang-Undang No. 69 tahun 1958 yang mengubah daerah Swatantra Tingkat II (Daswati II). Nama Daswati II berlaku secara seragam untuk seluruh Indonesia sampai tahun 1960. Setelah itu diganti dengan nama Daerah Tingkat II (Dati II).

Namun Bupati Kepala Derah Tingkat II untuk pertama kalinya dimilai pada tahun 1960. Bupati pertama di DATI II Gianyar adalah Tjokorda Ngurah (1960-1963). Bupati berikutnya adalah Drh. Tjokorda Anom Pudak (1963-1964) dan Bupati I Made Sayoga, BA (1964-1965). Ketika dilaksanakannya Undang-Undang No. 18 tahun 1965, maka DATI II diubah dengan nama Kabupaten DATI II. Kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1974 yang menggantikan nama Kabupaten. Kepala daerahnya tetap disebut Bupati.

Dari sisi otonomi jelas tampak bahwa proses perkembangan yang terjadi di Kota Gianyar. Otonomi dan berdaulat penuh melekat pada Pemerintah kerjaan sejak 19 April 1771 kemudian berproses sampai otonomi Daerah di Tingkat II Kabupaten yang diberlakukan sampai sekarang.

Berbagai gaya kepemimpinan dan seni memerintah dalam sistem otonomi telah terparti di atas lembaran Sejarah Kota Gianyar. Proses dinamika otonomi cukup lama sejak 19 April 1771 sampai 19 April 2023 saat ini, sejak kota keraton dibangun menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang otonomi sampai sebuah kota kabupaten, nama Gianyar diabadikan. Sampai saat ini telah berusia 252 tahun, para pemimpin wilayah kotanya, dari raja (kerajaan) sampai Bupati (Kabupaten), memiliki ciri dan gaya serta seni memerintah sendiri-sendiri di bumi seniman. Seniman yang senantiasa membumi di Gianyar dan bahkan mendunia.

Bupati Gianyar adalah pemimpin tertinggi di lingkungan pemerintah Kabupaten Gianyar. Bupati Gianyar bertanggungjawab kepada gubernur provinsi Bali. Saat ini, bupati atau kepala daerah yang menjabat di Kabupaten Gianyar ialah I Made Agus Mahayastra, didampingi wakil bupati Anak Agung Gde Mayun. Mahayastra dan Mayun, maju dalam Pemilihan umum Bupati Gianyar 2018, dan menang, kemudian dilantik pada 20 September 2018, hingga masa jabatan tahun 2023. Selanjutnya, pada 20 September 2023, I Dewa Tagel Wirasa dilantik menjadi penjabat bupati Gianyar.

Kabupaten Gianyar terdiri dari 7 kecamatan, 6 kelurahan, dan 64 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 492.757 jiwa dengan luas wilayah 368,00 km² dan sebaran penduduk 1.339 jiwa/km².

Sebagian besar suku penduduk yang ada di Gianyar adalah suku Bali. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, sebanyak 95,27% dari 496.777 jiwa penduduk kabupaten Gianyar adalah suku Bali. Kemudian suku Jawa sebanyak 3,26%, dan beberapa lainnya seperti suku Sasak, Sunda, Madura, dan suku lainnya.

Berita dari Masjid

Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.