Masjid dengan Kategori Masjid Agung

Masjid dengan Kategori Masjid Agung di KOTA PARE PARE

Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian

Tentang KOTA PARE PARE

Kota Parepare (Bugis: ᨀᨚᨈ ᨄᨑᨙᨄᨑᨙ ) adalah sebuah kota di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 99,33 km² dan berpenduduk sebanyak 154.854 jiwa (2022). Kota Parepare merupakan tempat kelahiran Presiden Republik Indonesia ke-3 yaitu B.J. Habibie.

Letak Kota Parepare berada di dalam kawasan Selat Makassar yang menghubungkan jalur lalu lintas transportasi dan perdagangan laut dari Jawa, Makassar, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Maluku di bagian utara Nusantara. Parepare merupakan daerah yang aman dari ombak laut karena berada di kawasan teluk. Parepare berada di dalam garis lintang 30o57’39” - 40o04’49” Lintang Selatan dan 119o36’24” - 1190 43’ 40” Bujur Timur. Kota pantai Parepare memiliki empat kecamatan, yakni Bacukiki, Bacukiki Barat, Ujung, dan Soreang. Jumlah total kelurahannya adalah 22. Wilayah administratif Parepare berbatasan dengan Kabupaten Pinrang di utara, Kabupaten Sidenreng Rappang di timur, Kabupaten Barru di selatan, dan Selat Makassar di barat.

Pada awal perkembangannya, perbukitan yang sekarang ini disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring sebagai tempat yang pada keseluruhannya tumbuh secara liar tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.

Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena memiliki hobi memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai Kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.

Kata Parepare ditengarai sebagian orang berasal dari kisah Raja Gowa, dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tunipallangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “(Pelabuhan di kawasan ini) di buat dengan baik”. Parepare ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.

Kata Parepare punya arti tersendiri dalam bahasa Bugis, kata Parepare bermakna " Kain Penghias " yg digunakan diacara semisal pernikahan, hal ini dapat kita lihat dalam buku sastra lontara La Galigo yang disusun oleh Arung Pancana Toa Naskah NBG 188 yang terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya 2851, kata Parepare terdapat dibeberapa tempat di antaranya pada jilid 2 hal baris no. 30 yang berbunyi " pura makkenna linro langkana PAREPARE" (KAIN PENGHIAS depan istana sudah dipasang).

Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.

Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda) dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru (Zelfbestuur Barru, Balusu, Tanete, dan Mallusetasi), Onder Afdeling Sidenreng Rappang (Zelfbestuur Sidenreng dan Zelfbestuur Rappang), Onder Afdeling Enrekang (Zelfbestuur Enrekang, Maiwa, Malua, Buntu Batu, dan Alla), Onder Afdeling Pinrang (Zelfbestuur Batulappa, Suppa, Sawitto dan Zelfbestuur Alitta) dan Onder Afdeling Parepare. Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini terdapat pula para penguasa lokal & pemerintah raja-raja bugis yang memiliki otonomi dalam melaksanakan pemerintahan di dalam Negerinya masing-masing para Arung dan Datu yang berkuasa tersebut terdapat pada Konfederasi Ajatappareng dan Konfederasi Massenrempulu pada masa Afdeling Parepare yakni: Addatuang Sidenreng La Sadapotto di Pangkadjene, Arung Batulappa Andi Tanri Manggabarani Petta ArungE Karaeng Lolo di Bungi, Arung Rappang Andi Tenri Fatimah di Rappang merangkap Addatuang Sawitto, Arung Enrekang Andi Ahmad di Enrekang, Addatung Sawitto (Andi Calo Sullewatang Sawitto) di Pinrang, Arung Alitta Andi Isa Lapananrang di Kariango, Datu Suppa Andi Makkasau Parenrengi-Manggabarani di Majennang, Arung Barru Andi Djonjo Kalimullah Karaeng Mangeppe di Barru, Arung Maiwa Andi Sassu di Maroanging, Arung Malua Andi Tambone di Malua, Arung Buntu Batu Andi Jalante di Pasui, Arung Alla Andi Patanrangi di Kalosi, Arung Mallusetasi Andi Tjalo di Palanro, Arung Balusu Andi Yusuf di Balusu, dan Arung Tanete Andi Baso Padippung di Tanete.

sedangkan Parepare merupakan bagian dari Kedatuan Suppa yang Datu Suppa berkedudukan di Majennang. Tetapi setelah berdirinya Kerajaan Mallusetasi pada tahun 1905, maka wilayah Parepare yang terdiri dari negeri kecil, Kerajaan Soreang dan Kerajaan Bacukiki tergabung dalam Kerajaan Mallusetasi (meliputi Nepo, Bojo, Bacukiki, dan Soreang). Sejak saat itu wilayah Parepare merupakan bagian dari Kerajaan Mallusetasi. Keempat kerajaan ini tergabung dalam satu ikatan atau konfederasi yang disebut Lilipassiajing. Lili artinya kelompok, Passiajing artinya hubungan kekerabatan. Lilipassiajing adalah suatu ikatan kesatuan berdasarkan hubungan darah atau turunan. Hal ini dapat dilihat bahwa raja yang berkuasa pada keempat kerajaan tersebut mempunyai garis turunan yang berasal dari Addatuang Sidenreng.

Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942. Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, di mana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.

Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedangkan Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, maka status Kotamadya berganti menjadi “KOTA” sampai sekarang ini.

Didasarkan pada tanggal pelantikan dan pengambilan sumpah Wali Kotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.

Kota Parepare terletak di sebuah teluk yang menghadap ke Selat Makassar. Di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Pinrang, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru. Meskipun terletak di tepi laut tetapi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit.

Berdasarkan catatan stasiun klimatologi, rata-rata temperatur Kota Parepare sekitar 28,5 °C dengan suhu minimum 25,6 °C dan suhu maksimum 31,5 °C. Kota Parepare beriklim tropis dengan dua musim, yaitu musim kemarau pada bulan Maret sampai bulan September dan musim hujan pada bulan Oktober sampai bulan Februari.

Hasil pertanian dari daerah pertanian Parepare adalah biji kacang mete, biji kakao, dan palawija lainnya serta padi. Wilayah pertanian Parepare tergolong sempit, karena lahannya sebagian besar berupa bebatuan bukit cadas yang banyak dan mudah tumbuh rerumputan. Daerah ini sebenarnya sangat cocok untuk peternakan.

Banyak penduduk di daerah perbukitan beternak ayam potong dan ayam petelur, padang rumput juga dimanfaatkan penduduk setempat untuk menggembala kambing dan sapi. Sedangkan penduduk di sepanjang pantai banyak yang berprofesi sebagai nelayan. Ikan yang dihasilkan dari menangkap ikan atau memancing masih sangat berlimpah dan segar. Biasanya selain dilelang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), para nelayan menjualnya ikan -ikan yang masih segar di pasar malam 'pasar senggol' yang menjual aneka macam buah - buahan, ikan, sayuran, pakaian sampai pernak-pernik aksesoris.

Wali Kota Parepare memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kota Parepare. Jabatan pertama dipegang oleh Andi Mannaungi pada tahun 1960. Didasarkan pada tanggal pelantikan dan pengambilan sumpah Wali Kotamadya Pertama pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan SK. DPRD Kotamadya Parepare No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.

Sebelum tahun 2005, Wali Kota Parepare dipilih melalui mekanisme yang diatur oleh DPRD Kota Parepare. Setelah itu, Wali Kota Parepare bersama Wakil Wali Kota Parepare dipilih secara langsung oleh warga kota melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk pertama kalinya pada tanggal 28 Agustus 2008.

Kota Parepare terdiri dari 4 kecamatan dan 22 kelurahan. Pada tahun 2017, kabupaten ini memiliki luas wilayah 99,33 km² dan jumlah penduduk sebesar 177.651 jiwa dengan sebaran penduduk 1.788 jiwa/km².

Berdasarkan data BPS pada tahun 2022, jumlah penduduk Parepare ada 154.854 jiwa yang terdiri dari etnis Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Tionghoa, dan lainnya.

Keragaman budaya dan suku bangsa memengaruhi keragaman agama yng dianut masyarakat Parepare. Data Badan Pusat Statistik Parepare mencatat bahwa mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Adapun banyaknya penduduk Parepare menurut agama yang dianut, yakni Islam sebanyak 94,29%, kemudian Kekristenan sebanyak 4,71% dengan rincian Protestan sebanyak 3,37% dan Katolik sebanyak 1,34%. Agama lainnya yang dianut yakni Hindu sebanyak 0,51%, dan Buddha sebanyak 0,48%. Untuk sarana rumah ibadah, terdapat 203 masjid, 37 musholah, 22 gereja Protestan, 2 gereja Katolik, dan 4 vihara.

Bahasa resmi instansi pemerintahan di Kota Parepare adalah bahasa Indonesia. Menurut Statistik Kebahasaan 2019 oleh Badan Bahasa, terdapat satu bahasa daerah di Kota Parepare, yaitu bahasa Bugis (khususnya dialek Parepare).

Data Badan Pusat Statistik tahun 2020 mencatat jumlah Sekolah Dasar yang ada di Parepare sebanyak 92 sekolah. Sementara untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama sebanyak 23 sekolah, dan Sekolah Menengah Atas sederajat sebanyak 23 sekolah.

Untuk tingkat perguruan tinggi, beberapa yang ada di kota Parepare seperti Institut Teknologi Bacharuddin Jusuf Habibie, Institut Agama Islam Negeri Parepare, Universitas Muhammadiyah Parepare, Universitas Negeri Makassar kampus Parepare, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Amsir, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Amsir (STIH), Akademi Sekretari Manajemen Amsir, Akademi Keperawatan Fatima, dan Akademi Kebidanan Andi Makkasau.

Kota Parepare bisa dicapai dengan transportasi darat atau laut. Parepare terletak di jalur utama lalu lintas ke Sulawesi Barat, Tana Toraja dan Palopo. Pelabuhan Nusantara menghubungkan Parepare dengan kota-kota di pesisir Kalimantan, Surabaya dan kota-kota pelabuhan di Indonesia bagian timur. Parepare juga merupakan pelabuhan bagi orang - orang di daerah Ajatappareng.

Parepare mempunyai akses transportasi darat yang terdiri dari Pete-Pete, Bus, Taksi, Becak dan Kereta. Pete-Pete merupakan sebutan umum penduduk Sulawesi Selatan untuk angkutan umum dan angkutan kota. Ada 5 trayek pete-pete Parepare di antaranya Jalur Soreang, Jalur Lapadde, Jalur Lumpue, Jalur Tipe-C dan Jalur Lemoe.

Kereta Api yang menghubungkan Kota Parepare dan Kota Makassar, saat ini masih dalam proyek. Proyek kereta api jalur lintas Makassar-Parepare yang merupakan pembangunan tahap pertama Trans Sulawesi diestimasi akan menelan anggaran hingga Rp9,65 triliun dengan panjang trase sekitar 145 km. Menteri Koordinator Perkonomian Chairul Tanjung dan Menteri Perhubungan Evert Erenst Mangindaan meletakkan batu pertama untuk proyek tersebut di Desa Fiaung KM 104, Kabupaten Barru pada 12 Agustus 2014.

Jalur laut, terdapat 4 pelabuhan di Parepare, yakni Pelabuhan Nusantara, Pelabuhan Cappa Ujung, Pelabuhan Lontange, dan Pelabuhan Cempae.

Pantai yang sering dijadikan pusat rekreasi oleh masyarakat Parepare, yaitu pantai Lumpue. Pantai ini berada di Kecamatan Bacukiki Barat Lokasinya dekat dengan fasilitas umum seperti masjid dan puskesmas. Kebun Raya Jompie, hutan kota Parepare yang dijadikan tempat pariwisata, yang dibangun sejak tahun 1920, dengan luas 13,5 hektar. Jarak dari pusat Kota Parepare yakni sekitar 3,5 km. Kebun Jompie juga sangat strategis karena mudah dijangkau, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.

Keaneragaman tumbuhan di Kebun Raya Jompie menurut analisis dari Tim Analisis Vegetasi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terdiri dari 90 jenis yang berasal dari 81 marga tumbuhan. Sebanyak 7 jenis di antaranya telah teridentifikasi secara lengkap. Sepuluh jenis baru diketahui marganya, dan tiga jenis baru teridentifikasi sampai pada tingkat suku. Beberapa di antaranya diketahui sebagai tumbuhan langka.

Pantai Mattirotasi, terletak di Jalan Mattirotasi mengarah ke Teluk Parepare. Pantai ini dapat dimanfaatkan warga untuk berolahraga. Terumbu Karang Tonrangeng, tempat wisata pelestarian terumbu karang di Parepare. River Ladoma, wisata alam Sungai Ladoma yang terletak di kecamatan Bacukiki. Tempat wisata lainnya di Parepare yakni Sumur Jodoh Soreang, Goa Tompangeng, desa Wisata Wattang Bacukiki, Salo Karajae, Museum Gandaria, Bendungan Lappa Angin, dan Pantai Torangeng .

Beberapa rumah sakit yang ada di Parepare yakni Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau, Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Sumantri, Rumah Sakit Fatima, Rumah Sakit Ibu dan Anak Ananda Trifa, dan Rumah Sakit Regional dr. Hasri Ainun Habibie.

Berita dari Masjid

Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.