Masjid dengan Kategori Masjid Agung
Masjid dengan Kategori Masjid Agung di KOTA PADANG
Gunakan form di bawah ini, untuk mempersempit pencarian
Tentang KOTA PADANG
Kota Padang adalah kota terbesar di pantai barat Pulau Sumatra sekaligus ibu kota provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini adalah pintu gerbang barat Indonesia dari Samudra Hindia. Secara geografi, Padang dikelilingi perbukitan yang mencapai ketinggian 1.853 mdpl dengan luas wilayah 694,337 km², lebih dari separuhnya berupa hutan lindung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 919.145 jiwa, dan pada pertengahan tahun 2024, penduduk Padang sebanyak 939.851 jiwa. Padang merupakan kota inti dari pengembangan wilayah metropolitan Palapa. Penduduk Kota Padang terus meningkat pada tahun 2024 yang berjumlah sebanyak 954.177 dengan laju pertumbuhan sebesar 1,26% per tahunnya.
Sejarah Kota Padang tidak terlepas dari peranannya sebagai kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari perkampungan nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah bendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hari jadi kota ditetapkan pada 7 Agustus 1669, yang merupakan hari penyerangan loji Belanda di Muara Padang oleh masyarakat Pauh dan Koto Tangah. Semasa penjajahan Belanda, kota ini menjadi pusat perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Memasuki abad ke-20, ekspor batu bara dan semen mulai dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Bayur. Saat ini, infrastruktur Kota Padang telah dilengkapi oleh Bandar Udara Internasional Minangkabau serta jalur kereta api yang terhubung dengan kota lain di Sumatera Barat.
Sentra perniagaan kota berada di Pasar Raya Padang, dan didukung oleh sejumlah pusat perbelanjaan modern dan 16 pasar tradisional. Padang merupakan salah satu pusat pendidikan terkemuka di luar Pulau Jawa, ditopang dengan keberadaan puluhan perguruan tinggi. Sebagai kota seni dan budaya, Padang dikenal dengan legenda Malin Kundang dan novel Sitti Nurbaya. Setiap tahunnya, berbagai festival diselenggarakan untuk menunjang sektor pariwisata. Di kalangan masyarakat Indonesia, nama kota ini umumnya diasosiasikan dengan etnis Minangkabau serta masakan khasnya dikenal sebagai masakan Padang.
Tidak ada data pasti siapa yang memberi nama kota ini Padang. Namun, kota ini pada awalnya diperkirakan berupa sebuah lapangan, dataran, atau gurun yang luas sehingga dinamakan Padang. Dalam bahasa Minang, kata padang juga dapat bermaksud pedang.
Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya merupakan bagian dari kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari Dataran Tinggi Minangkabau (darek). Tempat permukiman pertama mereka adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang. Kampung-kampung baru kemudian dibuka ke arah utara permukiman awal tersebut, yang semuanya termasuk Kenagarian Padang dalam adat Nan Dalapan Suku; yaitu suku-suku Sumagek (Chaniago Sumagek), Mandaliko (Chaniago Mandaliko), Panyalai (Chaniago Panyalai), dan Jambak dari Kelarasan Bodhi-Chaniago, serta Sikumbang (Tanjung Sikumbang), Balai Mansiang (Tanjung Balai-Mansiang), Koto (Tanjung Piliang), dan Malayu dari Kelarasan Koto-Piliang. Terdapat pula pendatang dari rantau pesisir lainnya, yaitu dari Painan, Pasaman, dan Tarusan. Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan sepanjang pesisir barat Sumatra berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung. Namun, pada awal abad ke-17, kawasan ini telah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
Kehadiran bangsa asing di Kota Padang diawali dengan kunjungan pelaut Inggris pada tahun 1649. Kota ini kemudian mulai berkembang sejak kehadiran bangsa Belanda di bawah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1663, yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak.
Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan permukiman baru di pesisir barat Sumatra untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau. Selanjutnya pada tahun 1668, VOC berhasil mengusir pengaruh Kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatra, sebagaimana diketahui dari surat Regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung yang berisi permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini. VOC berhasil mengembangkan Kota Padang dari perkampungan nelayan menjadi kota metropolitan pada abad ke-17. Padang menjadi kota pelabuhan yang ramai bagi perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 7 Agustus 1669 terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Meski dapat diredam oleh VOC, peristiwa tersebut kemudian diabadikan sebagai tahun lahir Kota Padang.
Beberapa bangsa Eropa silih berganti mengambil alih kekuasaan di Kota Padang. Pada 19 Agustus 1781, akibat rentetan Perang Inggris-Belanda Keempat, Inggris berhasil menguasai kota ini. Namun, setelah ditandatanganinya Perjanjian Paris pada tahun 1784 kota ini dikembalikan kepada VOC. Pada tahun 1793 kota ini sempat dijarah dan dikuasai oleh seorang bajak laut Prancis yang bermarkas di Mauritius bernama François Thomas Le Même, yang keberhasilannya diapresiasi oleh pemerintah Prancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan. Kemudian pada tahun 1795, Kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris. Namun, setelah peperangan era Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kembali kawasan ini yang kemudian dikukuhkan melalui Traktat London, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824.
Pada tahun 1837, pemerintah Hindia Belanda menjadikan Padang sebagai pusat pemerintahan wilayah Pesisir Barat Sumatra (Sumatra's Westkust) yang wilayahnya meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang. Selanjutnya kota ini menjadi daerah gemeente sejak 1 April 1906 setelah keluarnya ordonansi (STAL 1906 No.151) pada 1 Maret 1906. Hingga Perang Dunia II, Padang merupakan salah satu dari lima kota pelabuhan terbesar di Indonesia, selain Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Menjelang masuknya tentara Jepang pada 17 Maret 1942, Kota Padang ditinggalkan begitu saja oleh Belanda karena kepanikan mereka. Pada saat bersamaan Soekarno sempat tertahan di kota ini karena pihak Belanda waktu itu ingin membawanya turut serta melarikan diri ke Australia. Kemudian panglima Angkatan Darat Jepang untuk Sumatra menemuinya untuk merundingkan nasib Indonesia selanjutnya. Setelah Jepang dapat mengendalikan situasi, kota ini kemudian dijadikan sebagai kota administratif untuk urusan pembangunan dan pekerjaan umum.
Berita kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru sampai ke Kota Padang sekitar akhir bulan Agustus. Namun, pada 10 Oktober 1945 tentara Sekutu telah masuk ke Kota Padang melalui Pelabuhan Teluk Bayur, dan kemudian kota ini diduduki selama 15 bulan. Pada tanggal 9 Maret 1950, Kota Padang dikembalikan ke tangan Republik Indonesia setelah sebelumnya menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui surat keputusan Presiden RIS nomor 111. Kemudian, berdasarkan Undang-undang Nomor 225 tahun 1948, Gubernur Sumatra Tengah waktu itu melalui surat keputusan nomor 65/GP-50, pada 15 Agustus 1950 menetapkan Kota Padang sebagai daerah otonom. Wilayah kota diperluas, sementara status kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Wali Kota Padang. Pada 29 Mei 1958, Gubernur Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Nomor 1/g/PD/1958, secara de facto memindahkan ibu kota provinsi Sumatera Barat dari Bukittinggi ke Padang. Status ini baru dikukuhkan secara de jure lewat Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1979.
Seiring dengan statusnya sebagai ibu kota provinsi, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 menetapkan perubahan batas-batas wilayah Kota Padang dengan memasukkan sebagian wilayah Kabupaten Padang Pariaman seperti Pauh(termasuk wilayah Kuranji), Koto Tangah(termasuk wilayah Nanggalo), Lubuk Kilangan(termasuk wilayah Lubuk Begalung), dan Bungus Teluk Kabung. Berdasarkan Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional 2015–2019, pemerintah pusat menetapkan Kota Padang, bersama Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman untuk pengembangan wilayah metropolitan Palapa (Padang– Lubuk Alung–Pariaman).
Kota Padang terletak di pantai barat pulau Sumatra, dengan luas keseluruhan 1.414,96 km² atau setara dengan 3,36% dari luas provinsi Sumatera Barat. Lebih dari 60% dari luas Kota Padang berupa perbukitan yang ditutupi oleh hutan lindung. Hanya sekitar 205,007 km² wilayah yang merupakan daerah efektif perkotaan. Daerah perbukitan membentang di bagian timur dan selatan kota. Bukit-bukit yang terkenal di Kota Padang di antaranya adalah Bukit Lampu, Gunung Padang, Bukit Gado-Gado, dan Bukit Pegambiran. Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang 68,126 km di daratan Sumatra. Selain itu, terdapat pula 19 buah pulau kecil yang terdapat di kecamatan Bungus Teluk Kabung, Padang Selatan, dan Koto Tangah.
Pada tahun 1833, Residen James du Puy melaporkan terjadi gempa bumi yang diperkirakan berkekuatan 8.6–8.9 skala Richter di Padang yang menimbulkan tsunami. Sebelumnya pada tahun 1797, juga diperkirakan oleh para ahli pernah terjadi gempa bumi berkekuatan 8.5–8.7 skala Richter, yang juga menimbulkan tsunami di pesisir Kota Padang dan menyebabkan kerusakan pada kawasan Pantai Air Manis. Pada 30 September 2009, kota ini kembali dilanda gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter, dengan titik pusat gempa di laut pada 0.84° LS dan 99.65° BT dengan kedalaman 71 km, yang menyebabkan kehancuran 25% infrastruktur yang ada di kota ini.
Ketinggian di wilayah daratan Kota Padang sangat bervariasi, yaitu antara 0 m sampai 1.853 m di atas permukaan laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan. Suhu udaranya cukup tinggi, yaitu antara 23 °C–32 °C pada siang hari dan 22 °C–28 °C pada malam hari, dengan kelembabannya berkisar antara 78%–81%. Kota Padang memiliki banyak sungai, yaitu 5 sungai besar dan 16 sungai kecil, dengan sungai terpanjang yaitu Batang Kandis sepanjang 20 km. Tingkat curah hujan Kota Padang mencapai rata-rata 405,58 mm per bulan dengan rata-rata hari hujan 17 hari per bulan. Tingginya curah hujan membuat kota ini cukup rawan terhadap banjir. Pada tahun 1980 2/3 kawasan kota ini pernah terendam banjir karena saluran drainase kota yang bermuara terutama ke Batang Arau tidak mampu lagi menampung limpahan air tersebut.
Kota Padang memiliki karakteristik ruang perkotaan yang menghadap Samudra Hindia dan dikelilingi oleh jajaran Pegunungan Bukit Barisan. Perkembangan kawasan urban di Padang bergerak ke arah utara dan timur dari kawasan kota tua di muara Batang Arau. Sejalan dengan pembangunan kota yang berbasis mitigasi bencana, wilayah timur Padang dikembangkan sebagai kawasan permukiman dan pusat pendidikan, sedangkan wilayah barat yang berdekatan dengan pantai merupakan kawasan komersial perkotaan dan pusat bisnis.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang Tahun 2010–2030, kawasan pusat kota meliputi Kecamatan Padang Barat, Padang Utara, Padang Timur, dan Padang Selatan. Kantor-kantor pemerintahan Provinsi Sumatera Barat berada pada kawasan ini, lebih tepatnya di sepanjang jalur protokol Sudirman–Khatib. Selain kawasan pusat kota, terdapat pula empat kawasan subpusat kota, yaitu Lubuk Buaya di sisi utara, Air Pacah dan Bandar Buat di sisi timur, serta Bungus di sisi selatan. Kantor-kantor pemerintahan Kota Padang (termasuk balaikota) dipusatkan di Air Pacah.
Dari sisi arsitektur, bangunan yang ada di Kota Padang saat ini berada dalam transformasi penemuan kembali tradisi dalam bentuk ekspresi arsitektur modern tetapi tradisional. Kota ini secara umum mampu mengimbangi perkembangan bentuk arsitektur impor yang terus muncul di setiap kota di Indonesia dengan seni arsitektur tradisionalnya. Hal ini juga terlihat selain pada bangunan dijumpai juga bermacam gapura pada beberapa ruas jalan dengan ciri khas atap gonjong. Gonjong ini merupakan salah satu bagian simbol etnik, merepresentasikan makna filosofi Minangkabau yang terabstrasikan ke dalam bentuk bangunan. Walaupun saat ini telah terjadi pergeseran nilai budaya mengancam eksistensi nilai-nilai yang masih asli, masyarakat Minang pun merasa bahwa citra arsitektur vernakular mereka cukup terwakili oleh atap gonjong saja.
Sebelumnya dari hilir Batang Arau menuju Muara Pantai Padang terdapat beberapa bangunan tua dengan ciri arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan gaya model untuk daerah tropis antaranya NHM (Nederlansche Handels-Maatschappij), Padangsche Spaarbank, De Javansche Bank, dan NV Internatio yang didirikan sebelum 1920 dan menjadi saksi bisu jejak kolonial yang tertinggal.
Sejak tahun 1995, Pemerintah Kota Padang telah mulai mengembangkan hutan kota termasuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman dan indah, sekaligus sebagai salah satu sarana rekreasi terutama bagi warga kotanya. RTH yang ada di kota ini yaitu RTH Taman Melati dan RTH Imam Bonjol yang juga berfungsi sebagai alun-alun kota. Di kawasan Pantai Padang, terdapat Taman Muaro Lasak yang dilengkapi dengan Monumen Merpati Perdamaian. Monumen tersebut diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dalam rangka Multilateral Naval Exercise Komodo 2016.
Pada sehiliran Batang Kuranji terdapat Hutan Kota Delta Malvinas yang merupakan habitat bagi bangau dan buaya kecil putih. Sementara pada Kecamatan Lubuk Kilangan, terdapat Taman Hutan Raya Bung Hatta, yang merupakan kawasan konservasi pelestarian plasma nutfah flora hutan seluas 240 ha. Taman Hutan Raya ini berbatasan dengan Kabupaten Solok, dan telah dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam, sarana pendidikan dan penelitian serta juga berfungsi hidroorologi dan penangkal polusi khususnya bagi Kota Padang.
Kota Padang mendapat piala Adipura untuk pertama kalinya pada tahun 1986 dari Presiden Soeharto atas prestasinya menjadi salah satu kota terbersih di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1991 kota ini juga memperoleh Adipura Kencana. Hingga tahun 2009 Kota Padang telah mendapat 17 kali piala Adipura selama 4 periode penilaian. Delapan tahun setelah Gempa Bumi 2009 yang menghancurkan sarana dan prasarana kota, Padang kembali menerima piala Adipura untuk ke-18 kalinya pada tahun 2017.
Kota Padang merupakan kota dengan jumlah penduduk paling banyak di provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Kota Padang adalah sebanyak 833.584 jiwa. Jumlah tersebut menunjukan penurunan yang signifikan dari data kependudukan tahun 2008 (856.815 jiwa) akibat peristiwa gempa bumi 2009. Pada akhir tahun 2014, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Padang melaporkan jumlah penduduk sebanyak 1.000.096 jiwa dengan rincian 273.915 Kepala Keluarga yang terdiri dari 507.785 orang laki-laki dan 492.306 perempuan. Pada tahun 2009 kota ini bersama dengan kota Makassar, Denpasar, dan Yogyakarta, ditetapkan oleh Kemendagri sebagai empat kota proyek percontohan penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Indonesia.
Penduduk Padang sebagian besar berasal dari etnis Minangkabau. Etnis lain yang juga bermukim di sini adalah Jawa, Tionghoa, Nias, Mentawai, Batak, Aceh, dan Tamil. Orang Minang di Kota Padang merupakan perantau dari daerah lainnya dalam Provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 1970, jumlah pendatang sebesar 43% dari seluruh penduduk, dengan 64% dari mereka berasal dari daerah-daerah lainnya dalam provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 1990, dari jumlah penduduk Kota Padang, 91% berasal dari etnis Minangkabau.
Orang Nias sempat menjadi kelompok minoritas terbesar pada abad ke-19. VOC membawa mereka sebagai budak sejak awal abad ke-17. Sistem perbudakan diakhiri pada tahun 1854 oleh Pengadilan Negeri Padang. Pada awalnya mereka menetap di Kampung Nias, namun kemudian kebanyakan tinggal di Gunung Padang. Cukup banyak juga orang Nias yang menikah dengan penduduk Minangkabau. Selain itu, ada pula yang menikah dengan orang Eropa dan Tionghoa. Banyaknya pernikahan campuran ini menurunkan persentase suku Nias di Padang.
Belanda kemudian juga membawa suku Jawa sebagai pegawai dan tentara, serta ada juga yang menjadi pekerja di perkebunan. Selanjutnya, pada abad ke-20 orang Jawa kebanyakan datang sebagai transmigran. Selain itu, suku Madura, Ambon dan Bugis juga pernah menjadi penduduk Padang, sebagai tentara Belanda pada masa perang Padri. Penduduk Tionghoa datang tidak lama setelah pendirian pos VOC. Orang Tionghoa di Padang yang biasa disebut dengan Cina Padang, sebagian besar sudah membaur dan biasanya berbahasa Minang. Pada tahun 1930 paling tidak 51% merupakan perantau keturunan ketiga, dengan 80% adalah Hokkian, 2% Hakka, dan 15% Kwongfu.
Suku Tamil atau keturunan India kemungkinan datang bersama tentara Inggris. Daerah hunian orang Tamil di Kampung Keling merupakan pusat niaga. Sebagian besar dari mereka yang bermukim di Kota Padang sudah melupakan budayanya. Orang-orang Eropa dan Indo yang pernah menghuni Kota Padang menghilang selama tahun-tahun di antara kemerdekaan (1945) dan nasionalisasi perusahaan Belanda (1958).
Mayoritas penduduk Kota Padang memeluk agama Islam. Kebanyakan pemeluknya adalah orang Minangkabau. Agama lain yang dianut di kota ini adalah Kristen, Buddha, dan Khonghucu, yang kebanyakan dianut oleh penduduk bukan dari suku Minangkabau. Beragam tempat peribadatan juga dijumpai di kota ini. Selain didominasi oleh masjid, gereja dan klenteng juga terdapat di Kota Padang.
Data Kementerian Dalam Negeri pertengahan tahun 2023 mencatat, 96,82% penduduk kota Padang menganut agama Islam. Selebihnya menganut agama Kristen sebanyak 2,85% dengan rincian Protestan sebanyak 1,53% dan Katolik sebanyak 1,32%. Penduduk yang menganut agama Buddha sebanyak 0,32%, dan selebihnya 0,01% termasuk agama Hindu, Konghucu, dan agama kepercayaan.
Masjid Raya Ganting merupakan masjid tertua di kota ini, yang dibangun sekitar tahun 1700. Sebelumnya masjid ini berada di kaki Gunung Padang sebelum dipindahkan ke lokasi sekarang. Beberapa tokoh nasional pernah salat di masjid ini di antaranya Soekarno, Hatta, Hamengkubuwana IX dan A.H. Nasution. Bahkan Soekarno sempat memberikan pidato di masjid ini. Masjid ini juga pernah menjadi tempat embarkasi haji melalui pelabuhan Emmahaven (sekarang Teluk Bayur) waktu itu, sebelum dipindahkan ke Asrama Haji Tabing sekarang ini.
Gereja Katholik dengan arsitektur Belanda telah berdiri sejak tahun 1933 di kota ini, walaupun French Jesuits telah mulai melayani umatnya sejak dari tahun 1834, seiring bertambahnya populasi orang Eropa waktu itu.
Dalam rangka mendorong kegairahan penghayatan kehidupan beragama terutama bagi para penganut agama Islam pada tahun 1983 untuk pertama kalinya di kota ini diselenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat nasional yang ke-13.
Pertumbuhan beberapa kawasan yang sedemikian pesat telah menimbulkan masalah baru bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meskipun mekanisme dan kegiatan pemerintahan telah bertambah maju, namun pemerintahan Hindia Belanda yang mencakup kepulauan yang terpencar-pencar dan saling berjauhan itu tidak dapat terawasi secara efektif. Keadaan tersebut akhirnya menyebabkan warga kolonial menginginkan pemodelan urusan pemerintahannya sebagaimana model di negeri Belanda sendiri, yaitu sistem kekotaprajaan yang diperintah oleh seorang wali kota dan bertanggung jawab kepada Dewan Kotapraja. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka pada tanggal 1 Maret 1906, berdasarkan ordonansi (STAL 1906 No.151) yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz sistem pemerintahan desentralisasi mulai diperkenalkan di Hindia Belanda.
Sejak 1 April 1906 termasuk Kota Padang telah berstatus gemeente (kota), yang kemudian diiringi dengan pembentukan Dewan Kotapraja. Tugas utamanya adalah perbaikan tingkat kesehatan masyarakat dan transportasi, termasuk penanganan masalah-masalah bangunan, pemeliharaan jalan dan jembatan serta penerangan jalan-jalan, begitu pula pengontrolan sanitasi, kebersihan selokan dan sampah-sampah, pengelolaan persediaan air, pengelolaan pasar dan rumah potong, perluasan kota dan kawasan permukiman, tanah pekuburan, dan pemadam kebakaran.
Pada tahun 1928 Mr. W.M. Ouwerkerk dipilih sebagai Burgemeester (wali kota) yang memerintah Kota Padang hingga tahun 1940. Ia kemudian digantikan oleh D. Kapteijn sampai masuknya tentara pendudukan Jepang tahun 1942. Dalam meningkatkan layanan pemerintahan pada tahun 1931 dibangunlah gedung Gemeente Huis (Balai Kota) dengan arsitektur gaya balai kota Eropa berciri khas sebuah menara jam yang berlokasi di Jalan Raaffweg (sekarang Jalan Mohammad Yamin, Kecamatan Padang Barat).
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai wali kota pertama Kota Padang dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak zaman Belanda, yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara. Pada tanggal 15 Agustus 1946 dipilih Bagindo Azizchan sebagai wali kota kedua, atas usulan Residen Mr. St. M. Rasjid, seiring dengan keadaan negara dalam situasi darurat perang akibat munculnya agresi Belanda. Kemudian pada tanggal 19 Juli 1947, Belanda melancarkan sebuah serangan militer dalam Kota Padang. Bagindo Azizchan yang waktu itu berada di Lapai ikut tewas terbunuh sewaktu menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan Kota Padang.
Untuk menghindari kekosongan pemerintahan, Said Rasad dipilih sebagai pengganti, dan menjadi Wali kota ketiga. Kemudian ia memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Padangpanjang. Namun, pada bulan September 1947, Belanda menunjuk Dr. A. Hakim, untuk menjadi wali kota Padang.
Pada awal tahun 1950-an, sewaktu Dr. Rasidin menjadi wali kota Padang, ia mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan becak sebagai sarana transportasi angkutan umum di Kota Padang, karena dianggap kurang manusiawi. Kemudian pada tahun 1956 B. Dt. Pado Panghulu, seorang penghulu dari Kota Bukittinggi, terpilih sebagai wali kota Padang berikutnya. Tidak lama kemudian, pecah ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Ketegangan memuncak pada tanggal 15 Februari 1958, dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan. Selanjutnya, PRRI yang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah pusat dihancurkan dengan pengiriman kekuatan militer terbesar yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Akibat peristiwa ini juga, terjadi eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain.
Setelah PRRI pada tanggal 31 Mei 1958, Z. A. St. Pangeran dilantik menjadi wali Kota Padang yang ketujuh, dengan setumpuk beban berat. Selain melanjutkan pembangunan, ia juga harus memulihkan kondisi psikologis masyarakat yang tercabik akibat perang saudara. Namun pada pertengahan tahun 1966, dia dipaksa mundur dari jabatannya oleh para mahasiswa.
Setelah runtuhnya demokrasi terpimpin pasca Gerakan 30 September, dan kemudian muncul istilah Orde Baru, pada tahun 1966, Drs. Azhari ditunjuk menjadi wali kota oleh pihak militer menggantikan wali kota sebelumnya yang dianggap cendrung berpihak kepada PKI waktu itu. Pada tahun 1967, ia digantikan oleh Drs. Akhiroel Yahya sebagai wali kota berikutnya.
Pada tahun 1971, Drs. Hasan Basri Durin ditunjuk menjadi pejabat wali kota mengantikan wali kota sebelumnya. Tahun 1973 dia terpilih menjadi wali kota definitif, memimpin Kota Padang selama dua periode sampai tahun 1983, sebelum digantikan oleh Syahrul Ujud S.H., yang menjadi wali Kota Padang selama dua periode berikutnya. Selanjutnya, pada tahun 1993, terpilih seorang mantan wartawan Drs. Zuiyen Rais, M.S., yang juga memimpin Kota Padang selama dua periode sampai pada tahun 2003.
Dalam suasana reformasi pemerintahan dan era otonomi daerah, Dr. Fauzi Bahar, M.Si, terpilih kembali pada tahun 2009 untuk masa jabatan kedua kalinya sebagai wali Kota Padang dalam pemilihan langsung pada kali pertama, sedangkan pada masa jabatan sebelumnya pada tahun 2004 dia masih dipilih melalui sistem perwakilan di DPRD kota.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011 pada tanggal 18 April 2011, pusat pemerintahan Kota Padang secara resmi dipindahkan dari Kecamatan Padang Barat ke Kecamatan Kototangah. Di samping untuk mengurangi konsentrasi masyarakat di kawasan pantai dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat di timur dan utara kota, pemindahan ini juga dilakukan mengingat lokasi pusat pemerintahan kota sebelumnya berada pada zona yang dikategorikan bahaya terhadap kemungkinan terjadinya bencana tsunami. Kompleks pusat pemerintahan dibangun di kawasan eks Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Air Pacah dan mulai diresmikan penggunaannya pada 30 September 2013.
Sesuai dengan konstitusi yang berlaku, DPRD kota merupakan perwakilan rakyat. Jumlah anggota DPRD kota berjumlah 45 orang. Pengaruh reformasi politik dan pemerintahan telah membawa perubahan peta politik di Kota Padang. Pada pemilu periode 1999-2004, anggota DPRD Kota Padang masih didominasi oleh partai Golkar. Namun, sejak pemilu 2004, PKS, PAN, Demokrat, dan belakangan Gerindra tampil mengerogoti dominasi partai Golkar dan secara bersama menguasai parlemen kota.
Kota Padang memiliki 11 kecamatan dan 104 kelurahan. Luas wilayahnya mencapai 693,66 km² dan penduduk 883.767 jiwa (2017) dengan sebaran 1.274 jiwa/km².
Secara adat, Kota Padang meliputi 10 nagari, namun berbeda dengan pemerintahan kabupaten di Sumatera Barat, status nagari tidak menjadi bagian dari perangkat daerah dalam pemerintahan kota. Kecamatan Koto Tangah merupakan kecamatan dengan luas wilayah terbesar, sedangkan Kecamatan Padang Barat memiliki wilayah terkecil.
Kota Padang sejak dari zaman kolonial Belanda telah menjadi pusat pendidikan di Sumatera Barat. Tercatat pada tahun 1864, jumlah pelajar yang terdaftar di sekolah yang ada di kota ini sebanyak 237 orang.
Untuk memberikan pelayanan dan kemudahan bagi siswa dan orang tua murid, pemerintah kota bekerja sama dengan UNP dan Telkom sejak 1 Juli 2010 kembali menyelenggarakan Penerimaan Siswa Baru (PSB) Online untuk sekolah negeri jenjang SMP dan SMA, dengan perbaikan pola dan sistem dibandingkan tahun sebelumnya. Sistem yang telah diterapkan sejak tahun 2006 ini, akan memotivasi sekaligus memudahkan seluruh siswa yang akan melanjutkan pendidikannya di masing-masing tingkatan pendidikan. Mereka dapat memilih sekolah favoritnya berdasarkan rangking nilai yang mereka dapat dan diketahui secara langsung dan transparan.
Kota Padang memiliki puluhan perguruan tinggi, sepuluh di antaranya berbentuk universitas. Universitas Andalas (Unand) yang belokasi di Limau Manis diresmikan oleh Wakil Presiden pertama Mohammad Hatta pada tahun 1955 sebagai universitas tertua di luar Jawa. Pada tahun 2014, Unand menjadi universitas pertama di Sumatra yang mendapatkan peringkat A untuk akreditasi perguruan tinggi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Perguruan tinggi negeri lainnya yang ada di Kota Padang yakni Universitas Negeri Padang (UNP) di Air Tawar, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol (UIN-IB) di Lubuk Lintah, Politeknik Negeri Padang di Limau Manis, Politeknik Kesehatan Padang di Siteba, dan Politeknik ATI Padang di Tabing. Beberapa perguruan tinggi swasta juga berada di kota ini, seperti Universitas Bung Hatta, Universitas Baiturrahmah, Universitas Ekasakti, Universitas Tamansiswa Padang, Universitas Putra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Institut Teknologi Padang, dan Universitas Dharma Andalas.
Perpustakaan Daerah Sumatera Barat terletak di Kota Padang termasuk salah satu perpustakaan terbaik di Indonesia, dengan jumlah koleksi yang mencapai 30.000 judul, termasuk fasilitas dan pengelolaan yang maksimum, serta jumlah pengunjung pustaka yang tinggi. Setelah gempa bumi kegiatan Perpustakaan Daerah Sumatera Barat sejak 1 Februari 2010 untuk sementara dipindahkan ke Tabing, menunggu pembangunan gedung baru yang sebelumnya mengalami kerusakan parah. Sekarang perpustakaan telah kembali ke lokasi semula yang berada di Jalan Diponegoro Nomor 4.
Sementara Perpustakaan Kota Padang sendiri atau Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang terletak di Jalan Batang Anai GOR H. Agus Salim Padang, setelah sebelumnya berlokasi di dekat SMA Negeri 1 Padang yang kemudian berganti menjadi gedung Dukcapil. Peresmian pindahnya Perpustakaan Kota Padang ini dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2018.
Sebagai salah satu pusat kesehatan di Pulau Sumatra, Kota Padang telah memiliki fasilitas kesehatan yang cukup lengkap. Selain memiliki beberapa rumah sakit yang bertaraf nasional dan internasional, rumah sakit tersebut juga telah didukung oleh beberapa perguruan tinggi yang berkaitan dengan kesehatan. Rumah Sakit Umum Dr. M. Djamil yang didirikan oleh pemerintah pusat pada tahun 1953 merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah Sumatra bagian tengah. Rumah sakit ini telah berafiliasi dengan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan Politeknik Kesehatan Padang. Setelah gempa 30 September 2009, kondisi bangunan dan peralatan rumah sakit ini memprihatinkan. Rumah Sakit M. Djamil saat ini tengah berusaha memperbaiki program Hospital Disaster untuk mengantisipasi kejadian serupa nantinya.
Pemerintahan Kota Padang sendiri juga telah memiliki rumah sakit yang bernama Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Rasidin. Untuk memberikan pelayanan yang maksimal, pemerintahan Kota Padang juga telah mendirikan sebanyak 20 buah puskesmas dan 58 buah puskesmas pembantu pada wilayah kecamatan di kota ini. Untuk tahun 2007, satu puskesmas di Kota Padang rata-rata melayani 41.000 orang. Angka ini lebih tinggi dari konsep ideal wilayah puskesmas yang hanya untuk melayani 30.000 orang saja, sehingga jika ditinjau dari penyebaran, sarana kesehatan sudah memadai. Namun jika ditinjau dari aspek mutu pelayanan kesehatan masih jauh dari yang diharapkan.
Selain itu, di kota ini juga terdapat sejumlah rumah sakit yang dikelola oleh BUMN, Kepolisian, TNI AD dan pihak swasta. Pada tahun 2013, PT Semen Padang meresmikan Semen Padang Hospital yang merupakan rumah sakit bertaraf internasional pertama di Sumatera Barat. Rumah Sakit Tentara Dr. Reksodiwiryo yang dikelola oleh TNI AD terletak pada kawasan cagar budaya Ganting. Rumah sakit ini berdiri pada komplek bangunan peninggalan zaman Belanda dan sebelumnya merupakan tempat peristirahatan para tentara kolonial. Rumah Sakit Selasih merupakan rumah sakit swasta yang dikelola secara bersama dengan pihak Kumpulan Perubatan Johor (KPJ) Sdn Bhd dari Malaysia, namun akibat gempa bumi 30 September 2009 rumah sakit ini mengalami kerusakan berat.
Untuk melayani kebutuhan akan air bersih, pemerintah kota melalui PDAM Kota Padang sampai tahun 2007 telah memiliki 13 unit sumur bor dan Instalasi Pengolahan Air Lengkap (IPAL) di wilayah Gunung Pangilun dan Instalasi Pengolahan Air (IPA) di wilayah Lubuk Minturun, Ulu Gadut, Pegambiran dan Bungus. Sekitar 60% akan kebutuhan air bersih dipasok dari perusahaan pemerintah daerah ini. Adapun untuk mengantisipasi kebutuhan akan energi listrik, Padang mengandalkan PLTU Teluk Sirih unit I yang terletak di Kecamatan Bungus Teluk Kabung dengan kapasitas 1x112 MW. Untuk jaringan telekomunikasi, hampir di setiap kawasan dalam kota telah terjangkau jaringan telepon genggam. Layanan gratis internet tanpa kabel Wi-Fi atau dikenal dengan hotspot telah disebar pada beberapa perguruan tinggi, pusat perbelanjaan, hotel, sampai kantor polisi.
Dalam menangani masalah sampah, pemerintah kota memfungsikan lahan pada Kecamatan Koto Tangah di TPA Air Dingin seluas 30.3 ha yang berjarak 17 km dari pusat kota atau berada pada radius 7 km dari kawasan permukiman. TPA ini hanya mengelola 800 m³ sampah per hari dari total 1.432 m³ sampah yang dihasilkan dalam kota. Mengawali tahun 2015, Pemerintah Kota Padang memberlakukan Perda Nomor 21 tahun 2012 tentang denda dan larangan membuang sampah sembarangan. Kebijakan ini terintegrasi dalam Program Padang Bersih yang diluncurkan pada 25 Oktober 2014. Pada tingkat kelurahan, terdapat Lembaga Pengelolaan Sampah (LPS) yang mengawasi disiplin kebersihan warga. Pemerintah Kota Padang saat ini memiliki 90 unit becak motor pengangkut sampah dan 300 kontainer yang telah disebar ke seluruh Lembaga Pengelola Sampah (LPS). Ada 10 kawasan bebas sampah di Kota Padang yang dilindungi oleh Perda Nomor 21 tahun 2012. Dimulai dari sepanjang Jalan Sudirman hingga ke Khatib Sulaiman; Jalan S. Parman hingga Jalan Pemuda; Jalan Ratulangi dan Belakang Olo; Jalan A Yani; Jalan Ujung Gurun; Jalan Raden Saleh; Jalan M. Yamin. Selebihnya, adalah kawasan wisata meliputi Pantai Padang, Pantai Air Manis, dan Pantai Pasir Jambak.
Untuk kebutuhan Tempat Pemakaman Umum (TPU) bagi masyarakat, Pemerintah Kota Padang telah menyediakan lahan pada beberapa kawasan, di antaranya TPU Tunggul Hitam dan TPU Air Dingin.
Sejak dahulu, Kota Padang sangat rawan terhadap banjir. Pemerintah kolonial Hindia Belanda telah mencoba menanggulangi di antaranya dengan memperbaiki tata ruang kota serta memperbaiki beberapa bantaran sungai yang membelah kota. Pada 1918, aliran Batang Arau dibagi melalui banjir kanal sepanjang 6,8 km dan lebar 20 meter. Sejak kemerdekaan Indonesia, banjir besar yang terjadi tercatat pada tahun 1972, 1979, 1980, 1981, dan 1986. Belakangan, banjir cukup sering terjadi dan merendam beberapa kawasan di Kota Padang. Sebelumnya, beberapa kawasan terutama di Kecamatan Koto Tangah merupakan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air namun pemerintah kota menetapkan kawasan tersebut sebagai daerah perkembangan perumahan sehingga menjadi daerah permukiman padat penduduk. Perubahan fungsi ini berdampak jika curah hujan cukup tinggi (>223,03 mm/jam) maka terjadi banjir yang menggenangi kawasan seluas 44.09 Ha dengan tinggi genangan air mencapai 60 cm selama lebih dari 6 jam. Sementara sistem jaringan drainase Kota Padang terdiri dari 19 areal dengan luas cakupan 3.986 Ha, yang kesemuanya mengalir ke arah sungai utama yaitu Batang Arau, Batang Kuranji dan Batang Air Dingin.
Kota Padang termasuk kota di Indonesia yang berada pada kawasan berkategori rawan gempa bumi dan tsunami. Untuk mengantisipasi hal itu pemerintah setempat telah membangun beberapa kawasan tertentu sebagai lokasi evakuasi terhadap kemungkinan bencana alam tersebut. Namun belajar dari pengalaman gempa bumi 30 September 2009, beberapa jalur jalan evakuasi yang telah dirancang sejak tahun 2005 belum dapat memberikan sistem penyelamatan massive yang baik bagi masyarakat yang umumnya berada di zona merah bahaya tsunami. Tingginya tingkat kekacauan lalu lintas, serta kurangnya koordinasi pada masyarakat waktu itu, membuat pemerintah setempat perlu memikirkan mitigasi bencana yang tepat dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi pada masa depan.
Pada 2011, Padang memiliki gudang regional Palang Merah Indonesia (PMI) yang ketiga di Indonesia. Sebagai basis penanggulangan bencana alam terutama di wilayah Sumatra, gudang ini memiliki kapasitas untuk menampung 2.000 paket family kit, 2.000 paket terpal, 2.000 kotak hygiene kit, 4.000 paket matras, 4.000 kelambu, 8.000 jerigen, dan 1.000 kantung mayat.
Pada masa lalu, rute utama yang menghubungkan kawasan rantau (Kota Padang) dengan darek (pedalaman Minangkabau) adalah jalur yang pernah ditempuh Raffles pada tahun 1818 untuk menuju Pagaruyung melalui kawasan Kubung XIII di Kabupaten Solok sekarang. Saat ini ada tiga ruas jalan utama yang menghubungkan Kota Padang dengan kota-kota lain di Sumatra. Jalan ke utara menghubungkan kota ini dengan Kota Bukittinggi, dan di sana bercabang ke Kota Medan dan Pekanbaru. Terdapat pula cabang jalan di dekat Lubuk Alung ke arah Kota Pariaman. Jalan ke timur menuju Kota Solok, yang tersambung dengan Jalan Raya Lintas Sumatra bagian tengah. Sebelumnya, di Arosuka terdapat persimpangan menuju Kota Jambi melalui Kabupaten Solok Selatan. Jalan ke selatan yang menyusuri pantai barat Sumatra menghubungkan Kota Padang dengan Kota Bengkulu melalui Kabupaten Pesisir Selatan.
Penemuan cadangan batubara di Kota Sawahlunto mendorong Pemerintah Hindia Belanda membangun rel kereta api serta rute jalan baru melalui Kota Padang Panjang sekarang, yang diselesaikan pada 1896. Jalur kereta api ini juga menghubungkan Kota Padang dengan kota-kota lain seperti Kota Pariaman, Kota Solok, Kota Bukittinggi, dan Kota Payakumbuh. Saat ini rel kereta api yang aktif hanyalah jaringan Komuter Padang–Pariaman menggunakan kereta api Sibinuang, jalur Indarung–Bukitputus untuk pengangkutan semen ke pelabuhan, serta jalur Pulau Aie–Bandara menggunakan kereta api Minangkabau Ekspres.
Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Air Pacah selesai dibangun tahun 1999 untuk menggantikan Terminal Lintas Andalas di Olo Ladang. Penggunaan TRB ini tidak seperti yang diharapkan, dan sampai beberapa tahun sesudahnya belum juga dapat menggantikan terminal lama. Setelah gempa tanggal 30 September 2009 dan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011, TRB dialihfungsikan menjadi kawasan pusat pemerintahan kota. Terminal Anak Air mulai beroperasi pada tahun 2021 untuk melayani bus antarkota dalam provinsi (AKDP) dan bus antarkota antarprovinsi (AKAP).
Angkutan dalam kota dilayani oleh bus kota, mikrolet dan taksi. Sementara saat ini di pusat kota masih dapat ditemukan bendi (sejenis kereta kuda), sedangkan ojek biasanya beroperasi di perumahan dan pinggiran kota. Pada awal tahun 2014, pemerintah mulai mengoperasikan bus massal Trans Padang. Dari enam koridor yang dirancang untuk sistem transportasi ini, baru dua koridor yang beroperasi yaitu rute Pasar Raya–Lubuk Buaya (batas kota) dan rute Anak Air–Teluk Bayur.
Kota Padang memiliki beberapa kawasan pelabuhan. Tercatat sejak tahun 1770 diberangkatkan dari pelabuhan kota ini 0,3 miliar pikul lada dan 0,2 miliar gulden emas per tahunnya. Pelabuhan Muara melayani transportasi laut bagi kapal ukuran sedang terutama untuk tujuan ke atau dari Kabupaten Kepulauan Mentawai dan kawasan sekitarnya. Sementara itu, Pelabuhan Teluk Bayur melayani pengangkutan laut untuk ukuran kapal besar baik ke kota-kota lain di Indonesia maupun ke luar negeri. Pelabuhan ini mulai beroperasi pada tahun 1892 dengan nama Emmahaven. Sekarang kedua pelabuhan tersebut dikelola oleh PT Pelindo II. Selain itu juga terdapat Pelabuhan Bungus yang tediri dari pelabuhan perikanan samudera (PPS) yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pelabuhan penyeberangan yang dikelola oleh Kementerian Perhubungan.
Sampai tahun 2005, Bandar Udara Tabing melayani perhubungan udara Padang dengan kota-kota lain. Bandar udara ini tidak dapat didarati oleh pesawat berbadan besar, dan karena itu tidak dapat mengimbangi naiknya jumlah calon penumpang. Pengembangannya terbatas karena posisinya yang terhalang Gunung Pangilun dan Bukit Sariak. Maka tanggal 23 Juni 1999 ditetapkan lokasi baru pengganti bandar udara ini. Dengan selesainya pembangunan Bandar Udara Internasional Minangkabau di Ketaping, Kabupaten Padang Pariaman, penerbangan sipil dialihkan ke bandara baru tersebut. Penerbangan domestik yang dilayani saat ini yakni ke seluruh kota besar di Sumatra (kecuali Banda Aceh dan Pangkal Pinang), seluruh kota besar di Jawa (kecuali Semarang), dan satu kota di Sulawesi yaitu Makassar. Sementara untuk pernerbangan internasional saat ini yakni ke Singapura, Kuala Lumpur, Jeddah (haji), dan Madinah (umrah).
Kota Padang sebagai kota pelabuhan sejak abad ke-19 telah mengalami pertumbuhan ekonomi cepat yang didorong oleh tingginya permintaan kopi dari Amerika. Akibatnya pada tahun 1864 telah berdiri salah satu cabang Javaansche Bank yakni bank yang bertanggung jawab terhadap mata uang di Hindia Belanda serta telah mengikuti standar selaras dengan yang ada di negara Belanda. Seiring itu pada 1879 juga telah muncul bank simpan pinjam. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat peredaran uang di kota ini.
Kota ini menempatkan sektor industri, perdagangan dan jasa menjadi andalan dibandingkan dengan sektor pertanian dalam mendorong perekonomian masyarakatnya. Hal ini terjadi karena transformasi ekonomi kota cenderung mengubah lahan pertanian menjadi kawasan industri. Walaupun di sisi lain industri pengolahan di kota ini telah memberikan kesempatan lapangan pekerjaan yang cukup berarti.
Di kota ini terdapat sebuah pabrik semen yang bernama PT Semen Padang dan telah beroperasi sejak didirikan pada tahun 1910. Pabrik semen ini berlokasi di Indarung dan merupakan pabrik semen yang pertama di Indonesia, dengan kapasitas produksi 5.240.000 ton per tahun. Hampir 63% dari produksinya (baik dalam bentuk kemasan zak maupun curah) didistribusikan melalui laut dengan memanfaatkan pelabuhan Teluk Bayur. Selepas reformasi politik dan ekonomi, masyarakat Minang umumnya menuntut pemerintah pusat untuk melaksanakan spin off (pemisahan) PT Semen Padang dari induknya PT Semen Gresik, yang mana sejak tahun 1995 telah di merger (penggabungan) secara paksa oleh pemerintah pusat, walau tuntutan akuisisi PT Semen Padang menjadi perusahaan yang mandiri lepas dari PT Semen Gresik telah dikabulkan Pengadilan Negeri Padang, namun penyelesaian persoalan tersebut masih belum jelas sampai sekarang. Apalagi ditengarai terjadi kemerosotan kinerja perusahaan sejak penggabungan tersebut. Hal ini karena pemerintah pusat masih menganggap restrukturisasi beberapa BUMN melalui pembentukan holding terhadap beberapa BUMN yang memiliki keterkaitan atau kesamaan usaha merupakan penyelesaian terbaik untuk membangun keunggulan daya saing BUMN tersebut agar lebih menjamin perolehan laba di atas rata-rata perusahaan pesaing lainnya.
Pusat perdagangan di Kota Padang adalah Pasar Raya Padang yang dibangun pada zaman kolonial Belanda oleh seorang kapiten Cina bernama Lie Saay. Dalam perkembangannya, pasar tradisional ini pernah menjadi sentra perdagangan bagi masyarakat di Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Bengkulu pada era 1980-an. Selain itu, aktivitas perniagaan di Padang juga didukung oleh 16 pasar satelit yang tersebar di seluruh pelosok kota, sembilan di antaranya dimiliki oleh Pemerintah Kota Padang yaitu Pasar Alai, Pasar Bandar Buat, Pasar Belimbing, Pasar Bungus, Pasar Lubuk Buaya, Pasar Simpang Haru, Pasar Siteba, Pasar Tanah Kongsi, dan Pasar Ulak Karang.
Tidak seperti kebanyakan kota besar di Indonesia, pertumbuhan pusat perbelanjaan modern di Kota Padang terbilang cukup lamban. Pada tahun 1990-an terdapat setidaknya lima permohonan izin pendirian mal di Kota Padang yang ditolak oleh Zuiyen Rais, wali kota Padang saat itu, karena mengambil lokasi di pusat kota. Pusat perbelanjaan modern yang beroperasi saat ini di Kota Padang di antaranya yaitu Plaza Andalas, Basko Grand Mall, Rocky Plaza, dan SPR Plaza. Untuk melindungi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), Pemerintah Kota Padang juga tidak memberi izin jaringan ritel waralaba berbentuk minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang sudah menjamur di berbagai kota di Indonesia. Sebagai gantinya, jaringan minimarket Minang Mart dibentuk oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Grafika Jaya Sumbar yang bekerja sama dengan PT Sentra Distribusi Nusantara.
Perekonomian Kota Padang juga ditopang oleh sektor pariwisata dan industri MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition atau Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran). Hal ini didukung oleh keberadaan sederet hotel dan gedung pertemuan di kota ini. Hingga saat ini Kota Padang telah memiliki puluhan hotel berbintang, termasuk di antaranya sembilan hotel bintang 4. Minangkabau International Convention Center (MICC) yang saat ini dalam tahap konstruksi.com">Konstruksi akan menjadi gedung pertemuan terbesar di Kota Padang.
Kota Padang yang terkenal akan legenda Sitti Nurbaya dan Malin Kundang saat ini sedang berbenah ke arah pembangunan kepariwisataan. Kota ini memiliki sebuah museum yang terletak di pusat kota yang bernama Museum Adityawarman, yang memiliki gaya arsitektur berbentuk rumah adat Minangkabau (Rumah Gadang), model Gajah Maharam. Di halaman depan museum terdapat dua lumbung padi. Museum ini mengkhususkan diri pada sejarah dan budaya suku Minangkabau, suku Mentawai dan suku Nias. Museum ini memiliki 6.000 koleksi.
Di kawasan pelabuhan Muara banyak dijumpai beberapa bangunan peninggalan sejak zaman Belanda. Beberapa bangunan di kawasan tersebut ditetapkan pemerintah setempat sebagai cagar budaya. Di antaranya adalah Masjid Muhammadan bertarikh 1843, yang merupakan masjid berwarna hijau muda yang dibangun oleh komunitas keturunan India. Cagar budaya lain, Klenteng Kwan Im yang bernama See Hin Kiong tahun 1861 kemudian direnovasi kembali tahun 1905 setelah sebelumnya terbakar. Dari sehiliran Batang Arau, terdapat sebuah jembatan yang bernama jembatan Sitti Nurbaya. Jembatan itu menghubungkan sebuah kawasan bukit yang dikenal juga dengan nama Gunung Padang. Pada bukit ini terdapat Taman Sitti Nurbaya yang menjadi lokasi kuburan Sitti Nurbaya. Kawasan bukit ini juga dahulunya menjadi tempat permukiman awal masyarakat etnis Nias di Kota Padang.
Kemudian di pelabuhan Teluk Bayur terdapat beberapa kawasan wisata seperti pantai Air Manis, tempat batu Malin Kundang berdiri. Selain itu, terus ke selatan dari pusat kota juga terdapat kawasan wisata pantai Caroline, dan pantai Bungus, serta sebuah resort wisata sekelas hotel berbintang tiga yang terletak di Pulau Sikuai. Sedangkan ke arah Kecamatan Koto Tangah, terdapat kawasan wisata pantai Pasir Jambak, serta kawasan wisata alam Lubuk Minturun, yang populer dalam tradisi balimau dan ramai dikunjungi oleh masyarakat terutama sehari sebelum masuk bulan Ramadan.
Kota ini juga terkenal akan masakannya. Selain menjadi selera sebagian besar masyarakat Indonesia, masakan ini juga populer sampai ke mancanegara. Makanan yang populer di antaranya seperti Gulai, Rendang, Ayam Pop, Terung Balado, Gulai Itik Cabe Hijau, Nasi Kapau, Sate Padang dan Karupuak Sanjai. Restoran Padang banyak terdapat di seluruh kota besar di Indonesia. Meskipun begitu, yang dinamakan sebagai "masakan Padang" sebenarnya dikenal sebagai masakan etnis Minangkabau secara umum.
Dalam mendorong pariwisata di Kota Padang, pemerintah kota menggelar Festival Rendang untuk pertamakalinya pada tahun 2011, setelah sebelumnya Rendang dinobatkan oleh CNN International sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia). Festival yang dipusatkan di RTH Imam Bonjol tersebut diikuti oleh kelurahan se-Kota Padang dan berhasil memasak 5,2 ton daging, sehingga tercatat dalam Museum Rekor Indonesia sebagai perlombaan memasak dengan daging dan peserta terbanyak. Pada tahun yang sama pemerintah kota juga mulai menyelenggarakan Festival Sitti Nurbaya, pergelaran tahunan yang mengangkat adat dan tradisi Minangkabau.
Beberapa klub utama sepak bola, di antaranya PS Semen Padang, PSP Padang, dan Minangkabau FC, bermarkas di kota ini. Ketiga kesebelasan ini menggunakan Stadion Agus Salim sebagai tempat untuk pertandingan laga kandang. Stadion ini terletak pada kawasan gelanggang olahraga (GOR) yang mulai dibangun sejak tahun 1957.
Kota ini juga memiliki lapangan pacuan kuda. Setiap tahunnya diadakan lomba pacu kuda pada kawasan Tunggul Hitam yang memiliki panjang lintasan 1.600 m. Perlombaan pacu kuda ini sudah menjadi tradisi dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Minangkabau khususnya. Saat ini terdapat rangkaian perlombaan dengan beberapa kota/kabupaten lain di Sumatera Barat yang mendapat kesempatan menjadi tuan rumah satu kali tiap tahunnya. Sementara pesertanya juga ada dari luar Sumatera Barat.
Perlombaan selaju sampan atau dikenal dengan nama lomba perahu naga biasanya diadakan setiap tahunnya di sungai Banda Bakali. Lomba perahu naga ini kemungkinan dipengaruhi oleh etnis Tionghoa, termasuk kesenian tarian tradisional Barongsai yang pernah mewakili Kota Padang pada beberapa perlombaan tingkat internasional.
Kota Padang termasuk kota yang menjadi bagian dari tahapan kejuaraan balap sepeda Tour de Singkarak. Kejuaraan yang secara resmi telah menjadi agenda perhelatan tahunan Union Cycliste Internationale (UCI) tersebut telah diselenggarakan sejak tahun 2009. Memasuki tahun ke-4 Kota Padang tidak lagi menjadi titik dimulainya Tour de Singkarak, melainkan menjadi titik akhir yang sebelumnya ditempatkan di Danau Singkarak.
Dalam memperingati hari jadinya, kota ini setiap tahunnya menyelenggarakan pesta telong-telong, berupa perayaan pada malam hari yang dimeriahkan dengan pemasangan obor atau lampion. Sementara itu menjelang masuk bulan Ramadhan beberapa masyarakat muslim di kota ini menyelenggarakan tradisi balimau yaitu mandi keramas, biasanya dilakukan pada kawasan tertentu yang memiliki aliran sungai dan tempat pemandian.
Salah satu tradisi adat Minangkabau yaitu persembahan (pasambahan) dalam upacara pemakaman masih dilaksanakan pada Kecamatan Kuranji. Sementara pada Kecamatan Pauh dikenal dengan tradisi silat Pauh (silek Pauah), yang memiliki pengaruh sampai mancanegara serta juga digunakan dalam mengembangkan beberapa aliran tarekat di Padang.
Perpaduan budaya berbagai etnis dapat dilihat pada tari Balanse Madam yang berasal dari komunitas Nias di Padang. Tari yang diciptakan pada abad ke-16 ini dipengaruhi oleh budaya Portugis, Minangkabau dan budaya Nias sendiri. Pada masa kini tari ini juga ditampilkan oleh masyarakat etnis lain, seperti Minangkabau dan Tamil.
Kota ini juga menjadi sumber inspirasi bagi para seniman untuk menuangkan kreasinya, beberapa karya seni yang berkaitan dengan kota ini antara lain roman/novel berjudul Sitti Nurbaya berkisah tentang wanita yang dipaksa kawin dengan lelaki bukan pilihannya dan diracun sampai meninggal, karya Marah Rusli, yang kemudian pada tahun 1990 TVRI mengangkat cerita ini menjadi film layar kaca/sinetron dengan judul Sitti Nurbaya yang dibintangi oleh Novia Kolopaking, Gusti Randa dan HIM Damsyik. Begitu juga dengan roman Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, mengambil latar Kota Padang dan suasana Minangkabau tempo dulu. Roman ini menceritakan pengembaraan seorang tokoh utamanya bernama Midun, yang kemudian juga diangkat oleh TVRI tahun 1991 menjadi film layar kaca/sinetron dengan judul yang sama, serta dibintangi oleh Sandy Nayoan dan Desy Ratnasari. Sementara lagu berjudul Teluk Bayur diciptakan oleh Zainal Arifin dan dinyanyikan oleh Ernie Djohan menjadi lagu cukup populer di masyarakat tahun 60-an. Di kota Padang juga terdapat puluhan studio rekaman yang banyak disewa oleh para produser dari Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Selain itu, Kota Padang dan Kota Bukittinggi merupakan basis bagi industri musik pop Minang.
Kota Padang sudah menjadi tempat penerbitan surat kabar sejak zaman Hindia Belanda. Sumatra Courant merupakan koran pertama yang terbit di Pulau Sumatra sekitar tahun 1859. Di saat bersamaan juga muncul Padangsche Nieuws en Advertentieblad pada 17 Desember 1859 oleh R.H. Van Wijk Rz. Setelah itu, Kota Padang banyak menerbitkan koran-koran berbahasa Melayu, Belanda, dan Tionghoa, di antaranya Padangsche Handelsblad (1871) oleh H.J. Klitsch & Co, Bentara Melayu (1877) oleh Arnold Snackey, Pelita Kecil (1 Februari 1886) oleh Mahyuddin Datuk Sutan Marajo, Pertja Barat (1892) di bawah pimpinan Dja Endar Moeda, Tjahaya Soematra (1897) oleh Mahyuddin Datuk Sutan Marajo, De Padanger (1900) oleh J. van Bosse, Warta Berita (1901) oleh Mahyuddin Datuk Sutan Marajo. Banyaknya surat kabar yang dipimpin Mahyuddin Datuk Sutan Marajo serta aktivitasnya di dunia pers, menyebabkan di kemudian hari ia dianggap sebagai perintis pers di Sumatra. Selanjutnya, pada tahun 1911, muncul surat kabar Soenting Melajoe yang merupakan surat kabar khusus perempuan, yang dikelola oleh Rohana Kudus. Pada tahun yang sama juga muncul surat kabar dua mingguan yang bernama al-Munir. Berikutnya tahun 1914 muncul Sinar Soematra, kemudian dikelola oleh Liem Koen Hian seorang tokoh nasionalis Tionghoa, yang menjadi redaksi tahun 1918-1921. Pada tahun yang sama, muncul Bintang Tionghoa, Soeara Rakjat, Warta Hindia, Sri Soematra, Soematra Tengah, dan Oetoesan Melajoe. Hingga saat ini Kota Padang masih menjadi kota penerbitan surat kabar, di antaranya yang cukup terkenal adalah Harian Haluan dan Singgalang. Kedua surat kabar ini masih konsisten menyediakan rubrik dalam bahasa Minang.
Beberapa stasiun radio juga terdapat di kota ini, seperti RRI Padang, Radio Classy FM. Pronews 90 FM. Radio Sushi 99.1 FM. Stasiun radio ini memainkan peranan penting, terutama dalam kasus gempa bumi 30 September 2009. Di saat beberapa media komunikasi dan informasi tidak dapat diakses oleh masyarakat, stasiun radio ini dapat mengudara dan menyampaikan informasi dari pemerintah setempat kepada seluruh masyarakat, 30 menit setelah gempa bumi tersebut. Sedikit banyaknya stasiun radio mengurangi kepanikan yang timbul di masyarakat saat itu.
TVRI Sumatera Barat, stasiun televisi daerah milik pemerintah, berkedudukan di Kota Padang. Setelah bergulirnya otonomi daerah, TVRI Sumatera Barat yang pendanaannya dibebankan kepada APBD kota/kabupaten di Sumatera Barat sempat dipertanyakan oleh beberapa pemerintah kota dan kabupaten yang menuntut komitmen TVRI Sumatera Barat untuk memberikan kontribusi yang jelas kepada mereka. Selain TVRI Sumatera Barat, juga terdapat beberapa stasiun TV swasta yang beroperasi di kota ini, diantaranya Padang TV, iNews Padang (dahulu bernama Minang TV) dan NET. Padang (dahulu bernama Favorit TV).
0°57′2.76″S 100°21′41.64″E / 0.9507667°S 100.3615667°E / -0.9507667; 100.3615667
Berita dari Masjid
Artikel pilihan untuk peningkatan pengetahuan dan berbagi dari seluruh masjid di Indonesia.