Bagaimana Hukum Bangun Masjid di Atas Tanah Pribadi?
Ahmad subagja | Masjid At Taqwa
2024-06-11 08:19:29

Bagaimana Hukum Bangun Masjid di Atas Tanah Pribadi?

Masjid merupakan tempat umat Islam beribadah, terutama untuk menunaikan salat. Tidak sembarang tempat ibadah bisa disebut masjid karena ada ketentuan dan ada aturan menjadikan suatu tempat masjid, salah satunya harus merupakan benda wakaf.

Lantas, bagaimana dengan bangunan masjid yang berdiri di atas tanah pribadi atau non-wakaf?

Melansir dari laman NU Online, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran Ustaz M. Mubasysyarum Bih menjelaskan sebuah masjid sudah pasti benda wakaf. Berbeda halnya dengan musala yang belum tentu benda wakaf.

Bagaimana Hukum Bangun Masjid di Atas Tanah Pribadi?

"Para pakar fiqih menjelaskan bahwa masjid adalah tempat yang diwakafkan untuk salat dengan niat menjadikannya masjid. Sementara musala adalah tempat salat secara mutlak, baik berupa wakafan, milik pribadi, hibah dan lain sebagainya," ujar Mubasysyarum dikutip dari laman NU Online, Rabu (3/4/2024).

Ia menjelaskan wakaf masjid tidak wajib berupa tanah, tetapi bisa dalam bentuk benda yang dipermanenkan di sebuah tanah. Seperti halnya memasang keramik dengan dicor di sebuah tanah berpemilik, lalu diwakafkan sebagai masjid.

Selain itu, sajadah yang dipakai ke tanah pribadi untuk menjadikannya masjid, maka hukumnya tetap sah sebagai masjid. Bahkan, semua ketentuan masjid berlaku untuk keramik dan sajadah tersebut, seperti sahnya iktikaf, haramnya berdiam diri bagi orang junub, dan haramnya mengotori sajadah tersebut.

Selanjutnya, ia menyampaikan pendapat Imam al-Zayadi antara lain status masjid masih berlaku walaupun keramik atau sajadah sudah dicopot dari tanah oleh pemiliknya. Berbeda halnya dengan pendapat Imam al-Suyuthi sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi yang menyebut bila benda tersebut dicabut dari tanah, maka status masjidnya hilang.

"Sebuah permasalahan. Ketahuilah bahwa wakaf tidak sah di selain masjid. Dan tidak termasuk masjid sejenis sajadah di miliknya yang dipaku kemudian diwakafkan sebagai masjid kemudian dicongkel, sebab dengan sekedar mencongkelnya akan hilang dari sajadah tersebut hukum wakaf. Hal ini sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Qasim dalam Hawasyi al-Tuhfah mengutip dari beberapa fatwanya Imam al-Suyuthi. Adapun saat masih menetap di tanah, sajadah tersebut berlaku hukum-hukum masjid seperti keterangan dalam kitabnya Syekh al-Kurdi."

Sementara saat masih menetap di tanah, sajadah tersebut berlaku hukum-hukum masjid sebagaimana keterangan dalam kitab Syekh al-Kurdi.

"Dan Imam al-Zayadi berfatwa bahwa bila di miliknya memaku tikar, kain kulit atau sajadah, atau membangun di dalamnya teras, atau memaku kayu dan diwakafkan sebagai masjid, maka sah dan diberlakukan hukum-hukum masjid, sehingga sah i'tikaf di atasnya. Dan haram bagi orang junub dan sesamanya berdiam diri di atasnya dan hukum-hukum masjid lainnya, meski telah dihilangkan dari tanah. Referensi senada dalam kitab al-Bujairimi atas kitab al-Manhaj, tapi dibatasi dengan kondisi belum dihilangkan dari tanah. Syekh Ali Syibramalisi memberi alasan pendapatnya Syekh al-Zayadi bahwa hukum-hukum wakaf bila telah ditetapkan, tidak akan hilang. Guruku berkata; menguatkan statemen tersebut dengan sebuah kaidah bahwa dimaafkan saat kondisi di tengah apa yang tidak dimaafkan di permulaan" (Syekh Ali Bashabrin, Itsmid al-'Ainain fi ba'dli Ikhtilaf al-Syaikhaini, hal. 81).

Dengan demikian, bangunan masjid yang berada di tanah milik pribadi atau non-wakaf tetap sah sebagai masjid. Apabila sewaktu-waktu bangunan tersebut dipindah atau dirobohkan oleh pemilik tanah, maka ulama berbeda pendapat antara masih berlakunya status masjid pada benda tersebut.

Masjid merupakan tempat umat Islam beribadah, terutama untuk menunaikan salat. Tidak sembarang tempat ibadah bisa disebut masjid karena ada ketentuan dan ada aturan menjadikan suatu tempat masjid, salah satunya harus merupakan benda wakaf.

Lantas, bagaimana dengan bangunan masjid yang berdiri di atas tanah pribadi atau non-wakaf?

Melansir dari laman NU Online, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran Ustaz M. Mubasysyarum Bih menjelaskan sebuah masjid sudah pasti benda wakaf. Berbeda halnya dengan musala yang belum tentu benda wakaf.

Bagaimana Hukum Bangun Masjid di Atas Tanah Pribadi?

Gambar Ilustrasi Bagaimana Hukum Bangun Masjid di Atas Tanah Pribadi?

Bagaimana Hukum Bangun Masjid di Atas Tanah Pribadi?

"Para pakar fiqih menjelaskan bahwa masjid adalah tempat yang diwakafkan untuk salat dengan niat menjadikannya masjid. Sementara musala adalah tempat salat secara mutlak, baik berupa wakafan, milik pribadi, hibah dan lain sebagainya," ujar Mubasysyarum dikutip dari laman NU Online, Rabu (3/4/2024).

Ia menjelaskan wakaf masjid tidak wajib berupa tanah, tetapi bisa dalam bentuk benda yang dipermanenkan di sebuah tanah. Seperti halnya memasang keramik dengan dicor di sebuah tanah berpemilik, lalu diwakafkan sebagai masjid.

Selain itu, sajadah yang dipakai ke tanah pribadi untuk menjadikannya masjid, maka hukumnya tetap sah sebagai masjid. Bahkan, semua ketentuan masjid berlaku untuk keramik dan sajadah tersebut, seperti sahnya iktikaf, haramnya berdiam diri bagi orang junub, dan haramnya mengotori sajadah tersebut.

Selanjutnya, ia menyampaikan pendapat Imam al-Zayadi antara lain status masjid masih berlaku walaupun keramik atau sajadah sudah dicopot dari tanah oleh pemiliknya. Berbeda halnya dengan pendapat Imam al-Suyuthi sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi yang menyebut bila benda tersebut dicabut dari tanah, maka status masjidnya hilang.

"Sebuah permasalahan. Ketahuilah bahwa wakaf tidak sah di selain masjid. Dan tidak termasuk masjid sejenis sajadah di miliknya yang dipaku kemudian diwakafkan sebagai masjid kemudian dicongkel, sebab dengan sekedar mencongkelnya akan hilang dari sajadah tersebut hukum wakaf. Hal ini sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Qasim dalam Hawasyi al-Tuhfah mengutip dari beberapa fatwanya Imam al-Suyuthi. Adapun saat masih menetap di tanah, sajadah tersebut berlaku hukum-hukum masjid seperti keterangan dalam kitabnya Syekh al-Kurdi."

Sementara saat masih menetap di tanah, sajadah tersebut berlaku hukum-hukum masjid sebagaimana keterangan dalam kitab Syekh al-Kurdi.

"Dan Imam al-Zayadi berfatwa bahwa bila di miliknya memaku tikar, kain kulit atau sajadah, atau membangun di dalamnya teras, atau memaku kayu dan diwakafkan sebagai masjid, maka sah dan diberlakukan hukum-hukum masjid, sehingga sah i'tikaf di atasnya. Dan haram bagi orang junub dan sesamanya berdiam diri di atasnya dan hukum-hukum masjid lainnya, meski telah dihilangkan dari tanah. Referensi senada dalam kitab al-Bujairimi atas kitab al-Manhaj, tapi dibatasi dengan kondisi belum dihilangkan dari tanah. Syekh Ali Syibramalisi memberi alasan pendapatnya Syekh al-Zayadi bahwa hukum-hukum wakaf bila telah ditetapkan, tidak akan hilang. Guruku berkata; menguatkan statemen tersebut dengan sebuah kaidah bahwa dimaafkan saat kondisi di tengah apa yang tidak dimaafkan di permulaan" (Syekh Ali Bashabrin, Itsmid al-'Ainain fi ba'dli Ikhtilaf al-Syaikhaini, hal. 81).

Dengan demikian, bangunan masjid yang berada di tanah milik pribadi atau non-wakaf tetap sah sebagai masjid. Apabila sewaktu-waktu bangunan tersebut dipindah atau dirobohkan oleh pemilik tanah, maka ulama berbeda pendapat antara masih berlakunya status masjid pada benda tersebut.

Tentang Penulis
 Ahmad subagja  | Masjid At Taqwa

Ahmad subagja | Masjid At Taqwa

| Citra Raya, Tangerang

At Taqwa dibangun pada tahun -. At Taqwa merupakan kategori Masjid Raya. At Taqwa beralamat di Citra Raya, Tangerang . At Taqwa memiliki luas tanah , luas bangunan dengan status tanah . At Taqwa memiliki jumlah jamaah orang jumlah muazin orang jumlah remaja orang dan Jumlah Khotib orang .

Tenda & Kanopi Membrane Untuk Masjid. Delivery & Pemasangan sampai di Kota Antum

Wujudkan Kenyamanan Masjid Anda, dengan Kanopi Membrane, Awet sampai 15 tahun!

kanopi-untuk-masjid ciptakonstruksi