Jakarta (Kemenag) --- Menemani amaliyah Ramadan 1442 H, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman berbagi pengetahuan tentang Tangga Ruhani para sufi dalam mencari Rida Ilahi. Tangga ruhani ini disajikan pengasuh Kajian Ngariksa (Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara) dalam bentuk utas #100TanggaRuhani melalui akun twitternya @Ofathurahman.
Utas ini dipublis secara bertahap sejak 1 Ramadan 1442 H atau bertepatan 12 April 2021. Humas Kemenag mencoba untuk menghadirkan kembali dalam tulisan dengan tajuk Serial Tangga Ruhani.
“Sobat Ngariksa, untuk menemani amaliyah Ramadan, saya membuat utas tentang #100TanggaRuhani, yang saya sarikan dari manuskrip Tanbih al-Masyi karya ulama Nusantara Syekh Abdurrauf al-Sinkili. Setiap hari, akan ada penjelasan 3-4 #TanggaRuhani yang dilalui para sufi dalam mencari Ridla Ilahi,” demikian Oman Fathurahman mengawali utasannya pada awal Ramadan yang dikutip Humas Kemenag dengan penyesuaian seperlunya, terutama pada penulisan singkatan, Senin (19/4/2021).
100 Tangga Ruhani ini dibagi dalam beberapa bagian. Oman mengawalinya dengan bagian pertama atau Al-Bidayah dengan 10 Tangga Ruhani.
Pertama, al-yaqzhah (bangun, terjaga). Ini dipahami sebagai sikap selalu terjaga dan waspada, menjauh dari segala potensi perilaku yang bertentangan dengan ajaran Allah. “Hati dan fisik terjaga. Untuk urusan dosa, jangan coba-coba,” tulis Oman.
“Yuk, bangun wajah tersenyum dengan mata tersenyum,” sambungnya
Kedua, at-taubah (bertaubat). Ini bisa dipahami sebagai kembali kepada Allah. “Taubat seseorang dinilai tulus kalau disertai penyesalan (al-nadm), pengakuan kesalahan (al-i'tidzar), serta menjaga jarak dari penyebab dosa (al-iqla'),” jelas Oman.
Ketiga, al-inabah (kembali). Ini juga bisa dipahami sebagai kembali kepada Allah. Namun, kata Oman, inabah lebih dari sekadar menyesali perbuatan dosa. “al-Inabah berarti bekerja keras mengganti kesalahan dengan berbuat sebanyak mungkin kebaikan untuk kemaslahatan,” tuturnya.
Keempat, al-muhasabah (introspeksi). Menurut Oman, al-muhasabah bisa dipahami sebagai sikap membandingkan kebaikan dengan keburukan dalam diri; membandingkan anugerah yang diterima dengan keburukan atau kejahatan yang dilakukan. “Sekali-kali buruk sangkalah pada diri,” demikian Pengasuh Pesantren Al Hamidiyah Sawangan Depok ini memberi catatan.
Kelima, al-tafakkur (memikirkan/mengamati). Tangga ini, kata Oman bisa dipahami sebagai upaya batin untuk sampai pada pengetahuan hakikat, baik hakikat ke-Tuhan-an, hakikat ciptaan, maupun hakikat di balik tindakan. Bertafakur, tegas Oman, adalah kunci menjadi lebih baik.
Keenam, al-tadzakkur (mengingat). Kyai kelahiran Kuningan ini menjelaskan al-tadzakkur sebagai mengingat segala prinsip kebaikan yang sudah diketahui, agar jangan sampai hilang atau terlupakan lagi. “Tadzakkur lebih tinggi dari tafakkur, karena tafakkur masih proses mencari kebaikan, tadzakkur sudah menemukannya,” jelas Oman.
Ketujuh, al-firar (lari). Lari di sini dipahami sebagai upaya menjauh dari segala hal yang mengakibatkan adanya jarak dengan Al-Haq (Tuhan/Kebenaran), menuju amaliyah yang mendekatkan diri kepada-Nya. “(Termasuk) Juga firar dari kebodohan ke ilmu, firar dari malas ke rajin ibadah,” pesan Oman.
Kedelapan, al-sima’ (mendengarkan). Oman melihat tangga atau tahapan ini sebagai kunci untuk bisa menerima kebenaran. Menurutnya, “mendengarkan” merupakan gambaran sikap seseorang yang mengetahui, memahami, dan mau memenuhi ajakan kebenaran. “Banyak mendengar, lebih baik dari pada banyak bicara,” tuturnya.
Kesembilan, al-riyadhah (latihan). Ini bisa dipahami sebagai melatih jiwa untuk menerima kebenaran, dan menjadikan kebenaran sebagai imam. Riyadhah berarti mendidik akhlak dengan ilmu, membersihkan amal dengan keikhlasan, dan menunaikan Hak Allah.
Terakhir atau kesepuluh dari Bagian “Permulaan” (Al-Bidayat) adalah al-i’tisham (berpegang teguh). “Ini bisa dipahami sebagai selalu berpegang teguh pada al-Haq, menjaga diri agar tidak terjerumus pada hal buruk yang tidak DIA Sukai (al-makruhat),” tandasnya.
Semoga bermanfaat!